Oleh IGNATIUS NAWA TUNGGAL
Kompas, 26 Juni 2022
Bentuk keberpihakan Intan Wibisono (37) terhadap seniman terbilang sederhana. Ia hanya peduli dengan penghargaan hak atas kekayaan intelektual seniman beserta jenjang karier seniman yang ternyata begitu mudah serta otomatis bisa diwujudkan melalui teknologi rantai blok non-fungible token.
Belum lama ini, antara 9-17 April 2022, Intan sebagai kolektor muda ikut memelopori sebuah pameran hasil aktivitas seniman dengan medium non-fungible token (NFT) di Galeri RJ Katamsi, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Ia menghimpun 238 seniman atau kreator dari sejumlah daerah di Indonesia untuk menghadirkan karya masing-masing yang pernah diunggah di NFT. Jadilah, sebuah festival yang dinamai Indo NFT Festiverse di galeri tersebut.
Intan ingin ambil andil dalam menumbuhkan gairah seniman untuk beradaptasi dengan teknologi NFT yang terbilang baru. Karena kebaruannya itulah, Intan menyebutkan, tidak jarang yang terdengar hanyalah noise atau kesimpangsiuran informasi teknologi baru NFT. NFT sebagai media seni kripto di semesta internet atau metaverse masih terus mengalami pertumbuhan. Perkembangannya juga menuju titik tertentu yang memiliki berbagai kemungkinan.
Kesimpangsiuran itu sekarang diimbuhi terjadinya kejatuhan nilai mata uang kripto untuk transaksi di NFT ketika akan dikonversi ke nilai mata uang konvensional. Mata uang kripto sebagai alat transaksi nilainya mengalami fluktuasi. Mungkin saja ini hal penting untuk mempertimbangkan masuk ke dunia NFT atau tidak. Akan tetapi, Intan melihat sisi lain dari dunia NFT.
Bagi Intan, NFT bisa mendatangkan manfaat tidak hanya bagi seniman yang bisa memiliki kejelasan karier dan pendapatan royalti. Publik pencinta seni atau pencinta daya kreativitas seni yang tidak terbatas, juga bisa memperoleh manfaat tersendiri. Karena itulah, Intan melihat ada masa depan bagi NFT.
Biji digital
Intan menceritakan pengalaman mengoleksi sebuah karya seni kripto berupa biji digital yang pernah ditawarkan oleh sebuah galeri seni di Singapura, tahun 2021. Satu biji digital ketika itu ditawarkan dengan harga minting atau unggahan pertama oleh senimannya senilai 0,2 ethereum (ETH).
”Saya membelinya. Pada waktu itu harga 0,2 ETH setara antara Rp 6 juta-Rp 7 juta. Kemudian saya dikirimi satu paket biji digital, tetapi bukan biji tanaman asli, serta akses untuk menyimak animasi pertumbuhan biji tersebut secara digital selama enam bulan,” ujar Intan dalam sebuah percakapan di Jakarta, Selasa (21/6/2022).
Intan menunjukkan lewat layar gawainya berupa foto paket biji digital tersebut. Di kemasannya tertera tulisan harvested on 02.2022, yang seolah-olah biji itu akan nyata bisa tumbuh dan bisa dipanen pada Februari 2022.
Semua yang ditawarkan itu ternyata dalam bentuk animasi. Intan membeli biji digital dan dibawa ke dunia khayalan, dunia fantasi yang seolah-olah bisa secara nyata menanam biji tumbuhan tersebut di semesta internet. Ini sebagai karya seni kripto di dunia NFT yang tidak pernah disangka-sangka Intan.
Wajah Intan terlihat begitu riang, tatkala menceritakan pengalamannya di hari-hari pertama menikmati pertumbuhan biji digitalnya tersebut. Oleh seniman atau kreatornya, ia tidak pernah diberi tahu jenis tanaman tersebut.
Intan menunjukkan foto hasil akhir pertumbuhan biji digitalnya selama enam bulan. Terlihat satu batang pokok dengan ranting enam lembar daun sirip jemari. Sebatang pohon kecil itu ditanam di sebuah pot berwarna putih.
Dari sinilah perbincangan tentang NFT menemukan pijakan baru dan nyata dialami Intan. Selama ini jamak ditemukan karya-karya seni kripto tak ubahnya seperti karya seni rupa berupa citra atau gambar sesuatu.
Karya-karya seni kripto berupa citra digital yang jamak itu juga dikoleksi Intan. Dari karya seni kripto biji digital, Intan ingin mengemukakan kemungkinan-kemungkinan capaian lain dari sebuah karya seni kripto di NFT.
”NFT tidak hanya medium yang diperuntukkan bagi distribusi karya seni rupa,” ujar Intan, yang menekankan pada dasarnya, NFT itu untuk menandai apa yang dimiliki dan oleh siapa.
Catatan tentang apa yang dimiliki dan oleh siapa, itu terekam di dalam sistem teknologi blockchain atau rantai blok NFT. Sistem itu menawarkan keterbukaan informasi, dimulai dari siapa penciptanya beserta perjanjian-perjanjian yang dibuat jika karya itu nantinya terbeli.
Perjanjian mencakup persoalan pembagian royalti kepada pemegang hak atas kekayaan intelektual karya jika pada akhirnya karya tersebut diperjualbelikan kembali ke pihak lain lewat rantai blok internet. Bisa pula dinyatakan di dalam perjanjian bahwa tidak hanya karya digital yang akan diperolehnya. Jika karya seni kripto yang digital itu berbasis lukisan secara fisik, seniman bisa pula mencantumkan perjanjian bagi pembeli karya di NFT bisa memperoleh karya fisik aslinya.
Rantai blok internet menyimpan dan memberikan informasi perjalanan karya. Ini berguna bagi upaya membangun sebuah pengakuan sosial terhadap seniman dan pengakuan pasar terhadap karya-karyanya.
Intan menyebutkan, sistem rantai blok internet berpihak pada jenjang karier seniman. Publik bisa merunut informasi perjalanan sang seniman melalui perjalanan karya-karyanya di NFT.
Seniman atau siapa pun kreator seni kripto juga bisa bekerja tidak hanya ditujukan kepada dirinya sendiri. Mereka bisa menawarkan karya seni kripto sebagai usaha memberikan kontribusi sosial terhadap masyarakat marjinal.
Intan mencontohkan suatu pengoleksian karya seni kripto lewat NFT. Hasil penjualannya oleh sang kreator ditujukan untuk membantu keberlangsungan suatu komunitas petani jahe di suatu tempat. Lewat NFT, ternyata bisa pula untuk menggalang solidaritas dan perjuangan kebersamaan.
Perjalanan hidup
Intan lahir di Paris, Perancis, pada 6 Oktober 1985. Ia terlahir dari sebuah keluarga asal Indonesia yang bekerja di perusahaan perminyakan berbasis di Perancis.
Tidak seberapa lama, sekitar satu hingga dua tahun kemudian, Intan dibawa orangtuanya pulang ke Tanah Air dan bertugas di Balikpapan. Intan memasuki kuliah di Inholland University of Applied Sciences, Belanda, pada 2003. Ia memilih studi komunikasi dan menuntaskannya pada 2007.
Semasa kuliah di Belanda, mulai terbit ketertarikan Intan terhadap karya-karya seni rupa tanpa sengaja. Selama perjalanan kaki menuju kampus, misalnya, ia tidak jarang menjumpai patung-patung di taman.
”Ketika bekerja di Jakarta melihat koleksi lukisan di rumah atasan kerja saya, dan di situ saya mulai berpikir bahwa lukisan ternyata bisa dikoleksi siapa saja,” ujar Intan, yang kemudian mulai turut mengoleksi lukisan.
Setelah lulus kuliah di Belanda, Intan sempat bekerja hampir dua tahun di sana. Mulai Januari 2008 hingga November 2009, Intan bekerja di Nuffic Den Haag, Belanda.
Ia kemudian pindah ke Jakarta dan merintis perjalanan hidupnya di Jakarta. Sejak November 2021 sampai sekarang, Intan mendirikan usaha rintisan dan melahirkan situs Artopologi.com. Ini sebuah situs internet yang berusaha mengenalkan beragam pengetahuan karya seni.
”Ketertarikan saya terhadap lukisan hingga akhirnya berujung ke karya seni kripto di NFT,” ujar Intan, yang menyukai sisi kebaruan teknologi NFT.
Secara perlahan Intan berusaha makin mengenali NFT. Ia lalu membenamkan diri pada usaha-usaha mendorong seniman atau siapa pun di Indonesia untuk mengembangkan diri lewat NFT.
Biodata
Nama: Intan Wibisono
Lahir: Paris, 6 Oktober 1985
Pendidikan: Bachelor, InHolland University of Applied Sciences, Belanda (2003-2007)
Pekerjaan:
- Pendiri dan CEO Artopologi.com (November 2021-sekarang)
- Head of Branding & Corporate Communication, Sompo Insurance Indonesia (Oktober 2020-November 2021)
- Head of Corporate Communication, Bukalapak (Februari 2019-Agustus 2020)
- Independent Consultant (Januari 2018-Januari 2019)
- Business Director, Edelman Indonesia (November 2011-Desember 2017)
- Account Executive, IndoPacific PR (Maret 2010-Oktober 2011)
- Project Assistant, Nuffic Den Haag (Januari 2008-November 2009)
Editor:
MOHAMMAD HILMI FAIQ
No comments :
Post a Comment