John Kerry : Kedaulatan Energi Terletak di Energi Baru Terbarukan



Utusan Khusus Presiden Amerika Serikat untuk Urusan Iklim John Kerry.



Usaha mengurangi emisi menghadapi tantangan lebih besar belakangan menyusul sejumlah tantangan. Bagaimana pandangan Utusan Khusus Presiden Amerikat Serikat untuk Urusan Iklim John Kerry? Kompas mewawancarainya.


Panel Lintas Pemerintahan untuk Urusan Perubahan Iklim pada laporan per Februari 2022 menyebutkan, agregasi pengurangan emisi dari kontribusi yang ditetapkan oleh setiap negara saat ini hingga 2030 tak akan mampu membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat celsius dari masa sebelum Revolusi Industri pada abad ke-19.

Angka yang lebih realistis ialah membatasi kurang dari 2 derajat celsius. Ini pun hanya bisa tercapai jika upaya pengurangan dilakukan lebih progresif dan masif.

Suhu Bumi naik 1,5 derajat celsius saja sudah menimbulkan perubahan iklim yang menyebabkan cuaca ekstrem, apalagi jika tembus 2 derajat celsius atau bahkan 3 derajat celsius. Emisi gas rumah kaca—penyebab pemanasan global—terutama berasal dari ketergantungan dunia pada bahan bakar fosil.

Dalam Konferensi Tingkat Tinggi Ke-26 Urusan Iklim (COP26) di Skotlandia tahun lalu, dunia menyepakati, pada 2050, Bumi harus tidak lagi menghasilkan emisi sama sekali. Caranya, beralih ke energi baru terbarukan (EBT).

Suasana sidang pleno COP26 Pertemuan Puncak Iklim PBB di Glasgow, Skotlandia, Sabtu (13/11/2021). (AP Photo/Alberto Pezzali)

Namun, situasi dunia mutakhir justru menunjukkan, tantangan makin besar, terutama karena negara-negara adidaya makin konfrontatif dengan lawan mereka sehingga menciptakan hambatan-hambatan.

Kompas berkesempatan mewawancarai Utusan Khusus Presiden Amerikat Serikat (AS) untuk Urusan Iklim John Kerry guna membicarakan tantangan itu. Berikut petikan wawancara melalui telepon dari Jakarta, Kamis (1/9/2022), saat Menteri Luar Negeri AS periode 2013-2017 itu berada di Nusa Dua, Bali, untuk menghadiri Pertemuan Menteri Lingkungan Hidup G20.

Aktivitas nelayan di Pasar Ikan Ciwaru, Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Jumat (5/8/2022). Pemerintah berencana memperluas wilayah konservasi laut menjadi 30 persen dari total luas lautan Indonesia. Perluasan kawasan konservasi itu bertujuan meningkatkan populasi ikan dan serapan karbon. KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS) 5-8-2022


Bagaimana kelanjutan misi mewujudkan nirkarbon di kawasan ini?
Pertama-tama, saya meluruskan bahwa Eropa tidak kembali ke energi fosil. Mereka tetap memegang komitmen nirkarbon per 2030. Memang situasi kini sangat pelik. Rusia baru saja menghentikan aliran gas di pipa Nord Stream 1 dan Eropa tengah memasuki musim dingin.

Eropa terpaksa untuk sementara waktu memperpanjang pemakaian energi fosil, terutama batubara. Akan tetapi, hal itu tidak untuk jangka waktu lama, hanya demi memenuhi kebutuhan mendesak sekarang. Pada saat bersamaan, upaya pengalihan energi sepenuhnya ke EBT terus berjalan.

Setelah krisis keamanan ini berakhir, kita semua tetap harus mengejar target dekarbonisasi. Nanti Eropa, AS, dan negara-negara maju lain harus bekerja berkali-kali lipat guna memenuhi komitmen pada 2030 tersebut.

Bagaimana dengan China? Ketegangan dengan negara ini membuat kerja sama dekarbonisasi dengan AS berhenti.

Saya tidak memakai istilah berhenti. Istilah yang tepat ialah ditangguhkan. Artinya, suatu saat—diharapkan secepatnya—kerja sama bilateral ini kembali berjalan.
Di dalam negeri, China terus mewujudkan target dekarbonisasi. Bahkan, mereka sekarang merupakan produsen EBT terbanyak di dunia. (Dalam wawancara dengan Financial Times di Athena, Yunani, 30 Agustus 2022, Kerry mengungkapkan penjajakan dengan China terus dilakukan agar kerja sama peralihan energi bisa berlangsung kembali sebelum COP27 di Mesir, November mendatang).

Dalam COP26 negara-negara berkembang dan miskin mengajukan keberatan mengenai target dekarbonisasi. MMereka keberatan karena tidak punya dana, teknologi, dan sumber daya manusia untuk beralih ke EBT dalam waktu cepat. Ada pula alasan peralihan ke EBT ini menghalangi pertumbuhan ekonomi. Bagaimana menurut Anda?

Justru krisis energi ini menunjukkan kepada kita betapa ketergantungan terhadap energi fosil sama sekali tak menguntungkan siapa pun. Begitu energi fosil tidak bisa diekspor atau terkendala sedikit saja, kita semua lumpuh dan harga komoditas meroket. Kedaulatan energi suatu negara hanya bisa dicapai melalui EBT.

Saya sekarang berada di Bali, menikmati sinar matahari yang cerah. Ini adalah sumber energi yang masif dan gratis. Kenapa tidak bisa dimanfaatkan? Apabila alasannya adalah biaya yang mahal, sejatinya menunda peralihan energi akan memakan biaya jauh lebih banyak dibandingkan dengan melakukan investasi sekarang.

Setiap negara sejatinya memiliki potensi berdikari secara energi. Ada negara seperti Indonesia yang dikaruniai sinar matahari sepanjang tahun. Ada negara-negara dengan embusan angin kencang. Banyak pula negara dengan panas bumi. Setiap negara, bahkan wilayah, memiliki potensi kemandirian energi masing-masing.

Tanpa ada aksi nyata, semua komitmen dekarbonisasi ini bagi negara-negara berkembang dan miskin terkesan seolah negara-negara maju menggurui mereka. Seperti apa cara menjembataninya?

Betul. Prinsip harus diikuti dengan penerapan nyata. Negara-negara berkembang silakan melihat bahwa negara-negara maju melakukan kesalahan. Perekonomian dan industri kami maju dengan mengorbankan alam.

Sekarang, negara maju menjadi produsen 80 persen gas rumah kaca global. Biaya yang dikeluarkan negara-negara maju untuk peralihan ke EBT jauh lebih besar daripada wilayah lain di dunia.

Negara-negara berkembang dan miskin secara kolektif menghasilkan 20 persen emisi global, tetapi jika dipecah-pecah, emisi per negara relatif kecil. Kita harus melihatnya sebagai kesempatan untuk membangun ketahanan energi masing-masing dengan mengedepankan target nirkarbon per 2050. Kerja sama antara negara maju dan berkembang- miskin wajib dilakukan. Kuncinya terletak pada kemauan politik kedua belah pihak.

Teknologi berkembang luar biasa. Baterai, misalnya, kini dapat menyimpan lebih banyak energi dalam waktu yang lebih lama dan melepaskannya dalam kekuatan lebih besar. Ada teknologi hidrogen biru ataupun hijau. Ada pula teknologi penangkapan karbon. Kajian-kajian global ataupun lokal terus berjalan. Saya optimistis ini semua bisa mewujudkan Bumi bebas karbon.

Bagi negara-negara berkembang, hal itu memberikan pilihan yang banyak karena mereka masih harus membangun banyak pembangkit listrik. Sekarang landasan pemikirannya bukan hanya pembangkit listrik yang bisa menyediakan energi secara masif, tetapi juga harus melihat aspek ramah lingkungan, harga terjangkau, bisa diakses oleh semua kelompok masyarakat, dan bekelanjutan.

Artinya, negara-negara berkembang memiliki kemerdekaan memetakan potensi EBT di setiap wilayah mereka. Pendekatannya beragam, mungkin ada daerah yang memerlukan pembangkit-pembangkit listrik kecil, tapi ada daerah yang pas untuk membangun pembangkit listrik berkapasitas besar.

Keputusan berada di tangan setiap negara dan wilayah. Kerja sama dengan negara-negara maju sangat penting. Selain mengenai sponsor dan pembiayaan, kerja sama juga terkait peningkatan kapasitas sumber daya manusia, transfer teknologi, dan penelitian bersama.

Bagaimana pendapat Anda mengenai komitmen dekarbonisasi dari Indonesia?
Saya melihat, dari sisi komitmen, pemerintahan Presiden Joko Widodo sudah baik. Ada berbagai kerja sama dengan negara-negara lain untuk mewujudkan Indonesia nirkarbon yang diturunkan dalam misi untuk pulih dari pandemi Covid-19. Selama empat tahun terakhir, ada perkembangan pengurangan deforestasi di Indonesia.

Saya juga akan berbicara dengan sejumlah menteri serta wakil-wakil kementerian/lembaga lainnya. Semoga dapat tercapai kesepakatan. AS dengan senang hati menawarkan pendanaan, teknologi, serta peningkatan kapasitas bersama untuk dekarbonisasi.


No comments :