Bertolak dari Milan, kami mendarat di Paris untuk bertemu kembali dengan Mala yang telah mengambil cuti beberapa hari sampai hari Minggu. Tanggal 1 Mei menjadi hari libur nasional di Prancis, dan rupanya orang Prancis juga punya kebiasaan meliburkan hari kejepit.
Secara kebetulan, di bandara Charles de Gaulle, kami bertemu dengan teman lama, Bapak Sofyan Djalil dan Ibu Ratna Megawangi. Mereka mampir di Paris setelah menghadiri Konferensi Keuangan Islam di Kuwait. Kami lalu makan bersama di restoran Léon de Bruxelles (Leon of Brussel), di kawasan Champs Elysées. Sebuah restoran franchise dari Belgia yang mengkhususkan pada menu masakan kerang hijau.
(Alex Rusli-Ratna Megawangi-Sofyan Djalil-Dedi Panigoro) |
Esok harinya, kami bersama-sama berkunjung ke Istana Versailles nan megah, yang berada 17 km dari kota Paris.
Istana tersebut memperlihatkan dengan jelas kejayaan sekaligus keborosan para rajanya. Puncaknya adalah pada masa pemerintahan Raja Louis XVI, bersama istri cantiknya yang berdarah Austria, Marie Antoinette.
Istana tersebut memperlihatkan dengan jelas kejayaan sekaligus keborosan para rajanya. Puncaknya adalah pada masa pemerintahan Raja Louis XVI, bersama istri cantiknya yang berdarah Austria, Marie Antoinette.
Hingga pada abad 18, para filsuf modern bermunculan yang banyak melontarkan ide sosial yang akhirnya menjadi pemicu Revolusi Prancis 1789. Diawali dengan penyerangan penjara Bastille, disusul kemudian dengan penyerbuan oleh rakyat ke Istana Versaille yang digerakkan oleh semangat Liberté, Egalité dan Fraternité.
Beberapa tahun kemudian dilakukanlah eksekusi mati bagi sang Raja Louis, dengan menggunakan mesin guillotine dan disaksikan rakyat beramai-ramai di lokasi yang kini bernama Place de la Concorde. Maka seketika berakhirlah masa-masa kekuasaan monarki absolut itu.
Zaman Batu Berakhir Bukan Karena Batunya Sudah Habis
Di sepanjang perjalanan kami berdiskusi mengenai saat manusia meninggalkan zaman batu, itu bukan karena batunya sudah tidak ada lagi, melainkan karena manusia dengan akal pikirannya menemukan cara hidup yang lebih efisien.
Jika melihat perkembangan dunia saat ini, maka sebaiknya bangsa Indonesia jangan menunggu sampai minyak bumi habis. Tapi segeralah mencari sumber-sumber energi pengganti, misalnya berbahan nuklir, sampah, alang-alang, pelepah jagung, atau seperti yang populer di Brazil adalah tebu.
(Meninjau Ladang Colza) |
Prancis kini tengah membudidayakan Rapa atau Rapeseed (Inggris) atau Colza (Prancis) sebagai pengganti BBM masa depan. Rapa adalah tanaman dari jenis kubis yang bunganya berwarna kuning cerah yang biasa dipergunakan sebagai makanan ternak dan juga minyak goreng. Satu hektar tanaman Rapa di sini dapat menghasilkan sekitar satu ton biofuel.
Sedang di tanah air, Medco tahun ini akan membuka pabriknya yang pertama, yang berlokasi di Lampung, yaitu pabrik ethanol, dengan bahan baku singkong beracun. Yang juga tidak kalah penting adalah sumber energi potensial dari ganggang laut (algae) yang dalam berbagai percobaan –antara lain yang dilakukan oleh Ugama Yogyakarta— telah memperlihatkan hasil yang menggembirakan.
Bangsa Indonesia, untuk dapat maju, tidak cukup hanya dengan bekerja keras, tetapi juga harus berpikir keras.
Demikianlah tulisan ini menutup catatan perjalanan kami di Eropa selama lima minggu. Dan alhamdulillah pada Senin malam, 5 Mei 2008, dengan pesawat Emirates, kami mendarat dengan selamat di Bandara Soekarno-Hatta.
Wassalam.
No comments :
Post a Comment