Berpengalaman menangani bank dalam krisis, ia dinilai mampu menjadi komandan seratusan perusahaan pelat merah. Tantangannya, menepis intervensi politik.
JIKA diumpamakan sebagai salah satu warga langit, Agus Martowardojo adalah sebuah meteor. Dia melesat, bergerak begitu cepat, melebihi kecepatan penduduk langit lainnya dan tiba-tiba saja dia sudah bersinar-sinar di pucuk.
Karena masyarakat Indonesia tak cepat percaya akan kemampuan meteorik seseorang, tak aneh di hadapan 21 anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Agus dicecar habis-habisan hingga separuh hari. Maklum, nama Agus memang telanjur digadang-gadang menjadi kandidat Gubernur Bank Indonesia pada 2008. Dukungan ini—meski tidak terlalu terbuka, telanjur diketahui umum—malah merugikan dirinya, karena Agus Martowardojo sebetulnya sosok yang sangat kompeten. Buktinya, meski dia ditembak ratusan peluru pertanyaan dari berbagai arah di parlemen, Agus bisa menjawab dengan baik. Tentu saja sejarah mencatat, posisi Gubernur BI tak berhasil ia raih. Tapi Agus termasuk segelintir tokoh perbankan Tanah Air yang sangat profesional. Itu semua terbukti dari prestasi dalam melakukan restrukturisasi dan transformasi good corporate governance di sejumlah bank papan atas yang dinilai cemerlang.
Lahir di Amsterdam, 24 Januari 1956, Agus Dermawan Wintarto Martowardojo menempuh pendidikan di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan lulus pada 1984. Ia mengawali kariernya di Bank of America. Hanya setahun di situ, ia pindah ke Bank Niaga sebagai Vice President Corporate Banking Group dan menetap di sana selama delapan tahun. Pada 1995, Agus pertama kalinya menjadi Direktur Utama, yakni di Bank Bumiputera.
Setahun kemudian, Agus memimpin Bank Ekspor Impor Indonesia, sebelum mulai masuk Bank Mandiri pada 1999. Tiga tahun berturut-turut Agus menempati posisi penting yang variatif: Managing Director for Risk Management & Credit Restructuring (1999), Managing Director for Retail Banking and Operation Coordinator (2000), dan Managing Director for Human Resources and Support Services (2001). Pada 2002-2005, Agus keluar dari Bank Mandiri untuk memimpin Bank Permata.
Tiga tahun menjadi orang nomor satu di Bank Permata—hasil merger lima bank pasca-Reformasi: Bank Bali, Bank Universal, Bank Prima Express, Bank Patriot, dan Bank Artha Media—Agus menghadapi beban berat menutup kerugian Permata Rp 808,2 miliar. Dengan mengelola aset produktif serta mengendalikan operasi secara efisien dan efektif, Permata berhasil membukukan laba Rp 102,29 miliar tahun berikutnya.
Sugiharto, Menteri Negara Urusan Badan Usaha Milik Negara saat itu, pun melirik Agus untuk tantangan yang lebih besar lagi, yakni merestrukturisasi Bank Mandiri, hasil merger empat bank pelat merah kelas kakap: Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Ekspor Impor Indonesia, dan Bank Pembangunan Indonesia. Situasi Mandiri sedang buruk saat itu. Tingkat kredit bermasalahnya sampai 25 persen: lima kali lipat dari semestinya. Belum ditambah hawa ketidakpercayaan yang demikian tinggi: Direktur Utama sebelumnya terperosok ke bui. Labanya pun hanya Rp 600-an miliar, jauh dari keuntungan badan usaha milik negara lainnya yang mencapai triliunan rupiah.
Menurut Lin Che Wei, staf khusus Sugiharto saat itu, Agus bukan kandidat yang mengajukan diri. Ia diminta bergabung. Karena itu, membujuknya tidak gampang. Sejumlah prasyarat yang ia ajukan, antara lain, restrukturisasi Bank Mandiri harus bebas dari intervensi politik. Syarat lain, Agus meminta empat orang profesional untuk menjadi komisaris, satu paket dengan dirinya. ”Kalau tidak didukung total, sulit melakukan transformasi,” kata Agus, seperti dikutip Che Wei. Keempatnya diketahui kemudian adalah Goenarni Suworo, Pradjoto, Yap Tjay Soen, dan Edwin Gerungan.
Ketika syarat-syarat itu dipenuhi, ”tangan Midas” Agus pun beraksi. Ia menyulut spirit korporasi dalam membangun kepercayaan, integritas, fokus pada nasabah, dan profesionalismew. Agus juga mengembangkan segmen terpilih serta membuat program aliansi, pengelolaan kredit bermasalah, dan penerapan manajemen risiko. Salah satu langkah pertama: ia membongkar partisi ruang-ruang eksekutif menjadi dinding-dinding kaca. Silakan melongok, semua bisa melihat semua.
Dan karyawan pun menyatukan langkah. Tak ada lagi kesan angkuh dan angker. Relasi antarbank dan nasabah berlangsung hangat. Setelah tiga tahun, Bank Mandiri menunjukkan prestasi keren: kredit macet di bawah lima persen dan keuntungan setelah pajak melonjak ke angka Rp 5,3 triliun pada akhir 2008. ”Dia mampu memenuhi ekspektasi kami,” kata Sugiharto.
Agus Martowardojo saat menerima Leadership Achievement Award for the Financial Services Industry in Indonesia (2009)
Che Wei mengatakan, Agus layak menjadi nakhoda BUMN setidaknya karena empat hal: pertama, Agus tak terlampau ekstrem bertindak. Dengan kata lain, ia tak keberatan melakukan perubahan perlahan-lahan. Kedua, Agus mengerti pasar dengan baik. Ketiga, selama empat tahun terakhir di Bank Mandiri Agus dinilai berhasil menepis kepentingan politik. Yang terakhir, Agus menjadikan dirinya teladan. ”Hidupnya bisa dijadikan contoh,” kata bekas Presiden Direktur PT Danareksa ini. Ini semua kelebihannya, meski ada juga yang berpendapat ia bisa terlampau kaku. Pada 2007, Agus pernah dilaporkan sekelompok karyawan atas nama Serikat Pegawai Bank Mandiri ke polisi atas tuduhan union busting (menentang aksi serikat pekerja).
Menurut Sugiharto, politik adalah tantangan terbesarnya. Di kursi Menteri BUMN, Agus harus pandai-pandai meniti buih: bermain cantik menghadapi politik politikus dan birokrasi. ”Bahkan kolega sesama menteri pun kadang bisa ikut mempengaruhi keputusan,” kata Sugiharto.
Sumber: Majalah Tempo Edisi 19-25 Oktober 2009
No comments :
Post a Comment