TOKOH MUDA INSPIRATIF (1)
KOMPAS, 28 Oktober 2009
Myrna Ratna
Hari-harinya diisi dengan jadwal superpadat. Mengajar, memberikan ceramah, menjadi panelis, memenuhi undangan ke luar kota dan luar negeri, mengisi unjuk bincang, dan banyak lagi. Anies Baswedan memang demikian energik.
Dalam percakapan dengan Kompas awal Oktober lalu, Anies mengungkapkan optimismenya sekaligus keprihatinannya terhadap beragam persoalan negeri ini, khususnya menyangkut aset bangsa yang paling utama, sumber daya manusia.
Berikut petikan wawancara:
Semangat apa yang harus terus dihidupkan terkait Sumpah Pemuda?
Mereka orang-orang muda yang berkumpul saat itu adalah yang berani melawan status quo pada zamannya. Apakah kita membayangkan anak-anak muda yang berkumpul di Kramat itu pulang ke kampung halamannya disambut dengan sukacita? Tidak, mereka diterima dengan tentangan. ”Hey, bahasa nenek moyang kita kau kemanakan?”
Mereka adalah anak-anak muda pemberani yang mengantisipasi perubahan zaman bahwa fondasi dari suku bangsa kepulauan diletakkan bahkan sebelum negara itu ada. Kesadaran satu nusa satu bangsa itu baik, tetapi yang paling sulit dan paling fantastis adalah satu bahasa. Eropa yang katanya modern, sudah jauh melewati fase industri, tidak bisa untuk setuju satu bahasa.
Relevansinya dengan kondisi bangsa kita saat ini?
Kemampuan mengantisipasi perubahan. Kalau tahun 1928 seorang Jawa atau Sunda menjadi Indonesia tanpa kehilangan Jawa atau Sundanya, sekarang kesadaran itu adalah bahwa kita juga warga dunia.
Kaum muda tahun 1928 mengantisipasi ”dunia baru” yang muncul 17 tahun kemudian. Sekarang, dunia baru itu makin hari makin terlihat wajahnya. Mampu tidak kita menjadi pemain dominan di tanah kita sendiri dengan adanya globalisasi?
Untuk sampai ke situ kita harus punya kesadaran bahwa kita ”warga dunia” sehingga kita melihat ke depan. Sebagai contoh, kepada mahasiswa saya tanyakan siapa kompetitor kalian: Mereka menjawab sejumlah universitas terkemuka di Tanah Air.
Saya katakan bukan. Kompetitor mereka adalah lulusan Melbourne, AS, Tokyo, dan lain-lain yang memiliki kemampuan bahasa, ilmu pengetahuan, dan jaringan internasional. Jadi, saat ini harus ada kesadaran melampaui Indonesia, beyond Indonesia.
Kalau dahulu yang dibangun adalah fondasi persatuan, sekarang bukan pada fondasinya, tapi preservasi persatuan. Ini lebih sulit karena di situ ada lintas kepentingan, negosiasi, tarik-menarik.
Tantangan hari ini adalah apakah kita bisa merawat persatuan. Di situ harus ada kedewasaan yang dibangun lewat pendidikan. Kesadaran akan keberagaman itu seharusnya ditanamkan sejak sekolah dasar, jadi di fase universitas mereka tidak lagi belajar keberagaman, tapi sudah melakukan exercise tentang perbedaan itu.
Saat ini apa yang menjadi pembatas?
Dulu etnisitas menjadi pembatas, sekarang religius (agama). Inilah yang oleh Samuel Huntington kemudian dianggap ”benturan”. Karena menurut dia, kalau ideologi saja, orang bisa berganti, tapi kalau agama tidak.
Padahal, kenyataannya selama ratusan tahun (di Indonesia) garis agama itu ada, tapi tidak menjadi pembeda. Nah, sekarang ini era pasca-rezim otoritarian, karakter agama menjadi kuat, itu harus dijawab dengan sebagaimana karakter etnisitas pada tahun 1920-an. Anak-anak pemberani yang mau melewati batas-batas identitas itu sama dengan anak-anak pemberani pada tahun 1928. Mereka telah mengantisipasi masa depan.
Generasi kedua
Anies mengingatkan tentang sekitar 40.000 anak Indonesia yang bersekolah di luar negeri. Ia ingin pemerintah berbicara kepada mereka dan mengajak mereka membangun Indonesia. ”Lakukan call for duty, tapi jangan jadikan mereka sebagai pegawai negeri. Mereka sangat potensial untuk berkompetisi di tataran internasional,” katanya.
Ketua MPR-RI, Dr. H.M. Hidayat Nur Wahid (kiri) dan Rektor Universitas Paramadina, Dr. Anies Baswedan disambut oleh Duta Besar AS Cameron R. Hume (tengah)
Hal-hal apa yang membuat Anda optimistis dengan perjalanan bangsa ini?
Saya selalu optimistis dalam melihat bangsa ini. Dalam waktu kurang dari 60 tahun sudah 90 persen bangsa Indonesia melek baca. Hal lain yang membuat saya optimistis adalah size matters. Bangsa ini ukurannya besar, 240 juta. Kualitas angka pendidikan kita dibandingkan negara lain mungkin rendah, tapi coba diambil yang 10 persen teratas, sangat cerdas. Di setiap kampus juga begitu. Dan, siswa Indonesia yang 10 persen teratas itu jumlahnya jauh lebih banyak dari seluruh siswa di Malaysia.
Ketiga, bangsa ini sangat ulet (resilient). Dalam 10 tahun terakhir, kita dihantam krisis ekonomi, politik, serangan teroris, dan bencana. Sebagai bangsa kita terguncang karena tak ada pemimpin karismatik yang dapat membimbing seperti Nelson Mandela. Efeknya, ada upaya kolektif semua orang. Jadi, meski tidak terorkestrasi dengan baik, bangsa ini sangat tangguh.
Keempat, pusat untuk berkegiatan ekonomi, politik, budaya, mulai terfasilitasi di daerah-daerah. Indonesia itu bukan Jakarta, tapi perspektif kita sangat Jakarta. Ruangan itu mulai terbuka. Dan, ketika ruangan mulai terbuka memang muncul banyak konflik karena untuk pertama kali mereka bisa menegosiasikan kepentingan lokal.
Jadi, hari ini mungkin akan banyak friksi, tapi tak perlu khawatir. Karena begitu ruangan berekspresi terbuka di tingkat lokal, hal-hal yang memberikan manfaat langsung terhadap kepentingan lokal akan tumbuh. Kalau tidak, semuanya berkompetisi untuk bisa tumbuh di Jakarta dan itu yang selama beberapa dekade terjadi.
Tak khawatir kebablasan?
Tidak. Bagi saya justru itu memperkuat persatuan. Disinsentifnya akan terlalu besar untuk pemisahan diri. Pemisahan diri tidak akan ada artinya kalau masyarakat internasional tidak memberikan dukungan. Dan, tidak ada satu negara pun saat ini yang mendukung adanya pemisahan wilayah di Indonesia.
Persoalan apa yang bisa menggagalkan optimisme di atas?
Korupsi. Itu kanker terbesar yang bisa menghancurkan kita. Saya merasa ngeri kalau bicara korupsi karena sudah menjadi budaya korupsi (the culture of corruption). Bahkan, untuk masuk dalam kekuasaan pun kita harus berkompromi dengan korupsi, padahal masuk kekuasaan itu salah satu agendanya ialah mengeliminasi korupsi.
Tapi, ya, we can fix it. Jadikan sekolah sebagai zona bebas korupsi, dari mulai TK sampai universitas. Itu adalah permulaannya, jangan sampai ada korupsi di institusi pendidikan. Jika tugas KPK untuk memberantas korupsinya, maka ada tugas lebih mulia, yaitu memangkas potensi suplai koruptor, yaitu melalui sekolah.
Di Paramadina, misalnya, ada mata kuliah wajib Antikorupsi. Yang diajarkan mulai kerangka teoretis sampai laporan investigatif tentang praktik korupsi.
Anda setuju bahwa tahun 2014 sudah seharusnya terjadi regenerasi kepemimpinan secara luas?
Kalau tonggak lintas generasi itu memakai tonggak politik, memang 2014. Alasannya, generasi baru Indonesia yang relatif berjarak dengan Orde Baru tidak pernah punya kesempatan untuk masuk dan dominan di politik era reformasi karena proses pergantian Orba ke Reformasi itu pergantian yang nonrevolusioner. Itu merupakan hasil negosiasi antardua kelompok moderat.
Kalau kita kategorikan pada tahun 1998 dan sebelumnya ada empat kelompok, dua di pemerintah, yaitu hardliner yang tidak mau berubah dan reformis yang mau berubah terbatas. Di luar juga ada dua kelompok, yang radikal dan reformis. Yang terjadi, dua yang di tengah itu yang menegosiasikan perubahan.
Efek dari kerja sama dua kelompok ini adalah ruang gerak bagi generasi yang berjarak dengan Orba untuk berperan menjadi minim. Sesudah 15 tahun, generasi baru yang saat itu tidak bisa berperan mengalami pendewasaan. Mereka masuk dalam fase di mana mereka mampu meraih kepemimpinan. Jadi, saya merasa asumsi tadi tidak keliru.
No comments :
Post a Comment