Integritas di bidang pemberantasan korupsi tak diragukan. Berpengalaman di area mineral, tapi kurang jam terbang di bidang gas dan minyak.
ERRY Riyana Hardjapamekas memang tak setegap jenderal. Namun, soal disiplin kerja dan kepemimpinan, dia tak kalah. ”Dia sangat taat aturan dan target. Seperti bekerja dengan tentara,” kata pengamat militer, Jaleswari Pramodhawardani.
Bekerja dengan Erry adalah hal tak terlupakan bagi Jaleswari. Keduanya berkomunikasi intensif selama Erry, 60 tahun, menjadi Ketua Tim Pelaksana Tim Nasional Pengalihan Aktivitas Bisnis Tentara Nasional Indonesia, April-November 2008.
Selama delapan bulan itu Erry bekerja ekstrakeras. Bersama 150 anggota tim, Erry mendatangi berbagai kota untuk mendata dan memverifikasi bisnis tentara. Pekerjaan itu tidak gampang lantaran ada berbagai resistensi di kalangan militer. ”Resistensi datang dari prajurit di lapangan sampai perwira. Tapi dia jalan terus,” kata Jaleswari. Jempol dia acungkan untuk Erry.
Taufiequrachman Ruki, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, mengapresiasi sepak terjang Erry sejak lembaga pemberantasan korupsi ini baru terbentuk, pada 2003. Saat itu Komisi belum memiliki fasilitas apa pun. Tak ada gedung, bahkan tak ada kursi untuk rapat. ”Pak Erry membawa sekretaris pribadinya saat bekerja di PT Timah dan membayarnya dengan uang sendiri,” kata Ruki.
Erry dinilai memiliki kekuatan berpikir kreatif dan jauh ke depan. Menurut Ruki, sumbangan pikiran Erry cukup besar bagi pembangunan sistem birokrasi Komisi. ”Dia menciptakan sistem yang baik,” kata Ruki.
Sarjana akuntansi dari Universitas Padjadjaran, Bandung, tahun 1978 ini memiliki karier cemerlang di korporasi. Pada 1979-1982, Erry menjabat Direktur PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk. Masih di bidang mineral, Erry menjadi Direktur Utama PT Timah periode 1994-2002.
Bapak empat anak ini pun aktif menjadi komisaris. Tercatat dia pernah menempati posisi komisaris di PT Kaltim Prima Coal, PT Semen Cibinong, dan Bank BNI. Mei lalu, Erry meninggalkan kursi komisaris BNI untuk mengikuti uji kelayakan dan kepatutan calon anggota dan ketua Badan Pemeriksa Keuangan.
Integritas, diramu pengalaman berkecimpung di bidang energi, membuat Erry dinilai pantas menjabat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Namun penerima Bung Hatta Anti-Corruption Award pada 2003 ini emoh berkomentar mengenai pencalonannya oleh Tempo. ”Saya sudah lama meninggalkan dunia energi. Itu pun cuma di bidang mineral,” ujarnya.
Seorang menteri, kata Erry, mestinya sosok yang memiliki penguasaan konsep sekaligus teknis. Seorang menteri wajib membela kepentingan publik. Sikap ini harus tecermin dalam keseharian. Di jalanan macet, Erry memberikan contoh, seorang menteri tidak boleh membawa tim pembuka jalan atau voorrijder. ”Kalau di jalanan begitu, bagaimana bisa dia memihak dan memenangkan kepentingan publik?” ujarnya.
Khusus Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Erry menilai permasalahan utama yang dihadapi adalah kebutuhan energi. ”Perlu percepatan untuk mengatasi kekurangan dan tambahan kebutuhan energi yang terus meningkat, ” kata Erry.
Taufiequrachman Ruki (mantan ketua KPK) dan Erry Riyana Hardjapamekas (wakil Ketua KPK) memimpin deklarasi dan pentas musik CICAK (Cinta Indonesia Cintai KPK),diadakan di Tugu Proklamasi (12/07/2009). Sebuah bentuk dukungan dari masyarakat terhadap pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK.
Menurut Firdaus Ilias, Ketua Koordinasi Divisi Pusat Data dan Analisis Indonesia Corruption Watch, pemimpin yang memiliki sikap tegas dan komitmen dalam penegakan antikorupsi sungguh diperlukan di bidang energi. Terutama karena indikasi praktek korupsi dari kegiatan pengelolaan minyak, gas bumi, dan mineral terus menanjak. Audit Badan Pemeriksa Keuangan menunjukkan kerugian negara dari kegiatan pengelolaan sektor energi dan mineral sebesar Rp 345,996 triliun selama rentang 2000-2008. Ini berarti rugi Rp 38,444 triliun saban tahun.
Hal senada diungkapkan Sekretaris Jenderal Badan Kerja Sama Pemerintah Daerah Penghasil Batu Bara, Ryad Chairil. Lemahnya penegakan hukum adalah sumber berbagai praktek haram, dari pertambangan ilegal, ekspor ilegal, penghindaran pajak, sampai manipulasi nilai cost recovery. ”Departemen pengelola sumber penerimaan negara ini memerlukan sosok tegas yang mampu meminimalisasi praktek curang yang merugikan negara,” kata Ryad.
Suara lain muncul dari Kurtubi, pengamat energi, yang menilai Erry belum layak menjadi menteri. ”Pak Erry hanya memiliki pengalaman di bidang mineral. Padahal dominasi sektor minyak dan gas sangat besar dibanding mineral,” kata Kurtubi. Sebagai perbandingan, penerimaan negara dari sektor minyak dan gas bumi tahun lalu Rp 203 triliun, sedangkan penerimaan dari tambang mineral sekitar Rp 42 triliun.
Kurtubi juga menyoroti persoalan yang krusial, menggenjot produksi sektor minyak dan gas bumi. Selama kepemimpinan Menteri Purnomo Yusgiantoro, produksi minyak dan gas berada di bawah 1 juta barel per hari, anjlok dari kapasitas 1,5 juta barel per hari di masa Abdurrahman Wahid. ”Akibatnya, Indonesia keluar dari OPEC karena menjadi net importer,” katanya. Hingga 2030, Kurtubi yakin, peran minyak dan gas masih sangat dominan.
Sosok Erry, menurut Kurtubi, juga punya catatan khusus saat memimpin PT Timah. Erry pernah melakukan langkah rasionalisasi karyawan besar-besaran yang kontroversial. Dia juga pernah diduga terlibat dalam markup pembelian kapal keruk bekas oleh PT Timah. Namun, saat uji kelayakan dan kepatutan calon anggota Komisi Pemberantasan Korupsi, Erry membantah tudingan itu. Ia menjelaskan, pihaknya mengembangkan kapal keruk dengan membeli kapal keruk bekas dari Malaysia dengan rujukan kepemilikan PT Koba Tin. ”Dalam perbandingannya, ternyata kami lebih efisien,” kata Erry di hadapan para anggota Dewan.
Soal rasionalisasi PT Timah, Ryad membenarkan bahwa itu adalah kebijakan kontroversial. Namun justru langkah itulah yang membuat Timah bisa berbenah secara ekonomis. ”Karier Erry juga makin melambung,” kata Ryad.
Sumber: Majalah Tempo Edisi 19-25 Oktober 2009
No comments :
Post a Comment