Lebih dari 35 tahun bergerak di bidang penegakan hukum dan hak asasi manusia, Todung dinilai bisa membenahi Kejaksaan Agung. Pernah dinilai melanggar kode etik dalam sebuah kasus pembelaan.
TODUNG Mulya Lubis adalah pencatat yang setia. Tak peduli jadwalnya berjejal-jejal, dia selalu menyisihkan waktu untuk mencatat pada setiap akhir hari. Yang dia catat adalah apa-apa yang dianggapnya paling menarik, unik, dan istimewa tentang peristiwa, atau tokoh, yang bertalian dengan politik pada hari itu. Todung menyebutnya ”Diari Politik” dan berniat menerbitkannya sekali waktu. ”Belum tahu kapan, tapi saya ingin menerbitkannya kelak,” ujarnya kepada Tempo pada September lalu.
Di dalam ”Diari Politik” itu, boleh jadi, Todung mencatatkan banyak hal tatkala dia menjadi anggota Tim Lima. Inilah tim bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menjaring tiga nama pejabat pelaksana tugas pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Awal Oktober lalu, tugas itu rampung. Tim Lima memilih Mas Achmad Santosa, Tumpak Hatorangan Panggabean, dan Waluyo sebagai pimpinan KPK sementara.
Barangkali pula, Todung mencatat aneka kritik—termasuk dari rekan sejawat—tatkala dia dan koleganya di Tim Lima menyetujui terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Pimpinan KPK. Sikap ini bertentangan dengan banyak temannya di lembaga swadaya masyarakat. Todung mengaku punya alasan pribadi kenapa dia sudi masuk Tim Lima: ”Karena saya melihat ada stagnasi dan demoralisasi di tubuh KPK,” katanya. ”Dan itu tidak bisa dibiarkan,” dia menambahkan.
Todung adalah tokoh kawakan dalam penegakan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia. Malang melintang di bidang ini selama 35 tahun lebih, lobi dan jaringannya amat luas, termasuk dengan lembaga-lembaga hukum internasional. Sampai kini dia aktif di Dewan Hak Asasi Manusia Regional Asia, International Bar Association, International Chamber Commerce, dan Komisi Hak Asasi Manusia Asia.
Lelaki kelahiran Muara Botung, Tapanuli Selatan, pada 1949 ini mengawali kariernya di dunia hukum dengan magang di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Saat itu ia masih tercatat sebagai mahasiswa hukum Universitas Indonesia. Mahir menuntaskan perkara-perkara yang dibebankan kepadanya, karier Todung segera melesat. Dia naik jenjang menjadi Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Belakangan, ia menjabat Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Di lembaga ini, dia mencatatkan prestasi sebagai pengacara terkemuka dalam membela hak-hak orang miskin.
Bersama sejumlah rekannya yang peduli terhadap masalah penegakan hukum dan hak asasi manusia, Todung mendirikan sejumlah lembaga. Di antaranya Imparsial, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, dan Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia.
Mengajar di sejumlah perguruan tinggi hanyalah sebagian kecil aktivitas Todung. Namanya tercatat sebagai Ketua Indonesian International Crisis Group, Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia, dan Kepala Dewan Etik Indonesia Corruption Watch. Bolehlah dicatat bahwa hampir sepanjang usianya Todung berkecimpung di organisasi yang selalu berkaitan dengan soal penegakan hukum.
Dengan reputasi seperti inilah Todung dinilai sebagai sosok paling tepat duduk di pucuk pimpinan kejaksaan. Institusi kejaksaan mensyaratkan pemimpin yang bersih, berani, dan berkomitmen memberantas korupsi. ”Dari sisi penegakan hukum, dia tak diragukan lagi,” kata Mas Achmad Santosa, pengamat hukum dan bekas anggota Tim Pembaruan Kejaksaan Agung. Jaleswari Pramodhawardani, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, menilai Todung orang paling tepat mengisi kursi Jaksa Agung. Menurut Jaleswari, amat sedikit orang yang memiliki pengalaman dan kemampuan seperti Todung. ”Dia termasuk orang terbaik di bidangnya,” kata Jaleswari.
Kejaksaan Agung sendiri bukan lembaga baru untuk Todung. Ia pernah tergabung dalam tim audit tata kelola Kejaksaan Agung, saat lembaga itu dipimpin Marzuki Darusman. Pengalaman itu tentu memberi Todung pengetahuan tentang bolong-bolong kejaksaan yang perlu ditambal dan diperbaiki. Termasuk meningkatkan kinerja kejaksaan.
Banyak pengalaman bukan berarti serba sempurna. Todung punya sejumlah kekurangan. Pada Mei 2008, pemilik firma hukum Lubis, Santosa, dan Maulana ini tersandung masalah dengan Persatuan Advokat Indonesia (Peradi). Dewan Kehormatan Peradi mencabut izin praktek advokatnya. Peradi menilai Todung melanggar kode etik advokat saat menjadi pengacara Salim Group dalam kasus ”Sugar Group” di Lampung.
Todung menyatakan, putusan itu tidak adil dan semata-mata bertujuan menghabisi kariernya. Dia kini tercatat sebagai anggota Kongres Advokat Indonesia, organisasi advokat ”saingan” Peradi. Nah, pada 2005, Todung juga pernah bermasalah dengan Serikat Pekerja Acehkita. Saat itu, sebagai salah satu pengurus Yayasan Acehkita, ia dinilai tidak transparan dalam hal keuangan.
Yayasan Acehkita sendiri saat itu bergiat menghimpun dan menyalurkan bantuan korban tsunami. Juga menerbitkan surat kabar Acehkita dan media online Acehkita. ”Tapi, alih-alih mendengar laporan kami, ia justru membela teman-temannya yang bersalah itu,” kata Dandhy Dwi Laksono, pendiri dan bekas Pemimpin Redaksi Acehkita.com. Di mata Dandhy, dengan rekam jejak seperti itu, Todung dinilai tak layak menjadi Jaksa Agung.
Todung sendiri mengakui tak semua orang menyukai apa yang ia lakukan. Menurut dia, hidupnya ibarat buku terbuka. ”Orang bisa melihat apa saja yang telah saya lakukan selama 35 tahun di bidang hukum,” kata doktor hukum ini. Dia menyelesaikan studinya di perguruan tinggi Amerika yang amat terkemuka: Boalt Law School, University of California di Berkeley, dan Harvard Law School di Cambridge, Massachusetts.
Sumber: Majalah Tempo Edisi 19-25 Oktober 2009
No comments :
Post a Comment