Sultan Hamengku Buwono IX: Sosok Humanis Nan Cerdik

Saat itu, 2 Oktober 1988, hujan turun di Yogyakarta setelah tiga bulan kota kering tanpa hujan. Konon itulah yang biasa terjadi bila ada anggota keluarga keraton Yogya meninggal. Sultan Hamengku Buwono IX telah mangkat di kamar suite 316-317 Hotel Embassy Row persis di depan KBRI di Washington, AS. Hujan juga tumben turun di kota Washington, ketika jenazah Sang Raja disemayamkan di KBRI dan ketika diberangkatkan ke Jakarta. Ratusan ribu rakyat Yogya pun telah menanti dan antri berdesak-desakan untuk sungkem terakhir kalinya.

Sumber foto: Majalah Tempo

Hamengku Buwono IX adalah sosok yang fenomenal. Tak hanya berperan secara kultural, ia juga berperan penting dalam perkembangan politik dan ekonomi Indonesia khususnya pada awal-awal kemerdekaan. Ia pernah menjadi Menteri Pertahanan RIS, Menteri Ekonomi, Keuangan dan Industri, kemudian juga menjadi Wakil Presiden RI. John Monfries dalam bukunya A Prince in a Republic (2015) menyebut Sultan sebagai penyelamat Republik di belakang layar.

Belanda pun salah kira dalam memperkirakan nasionalisme Sultan. Meskipun sejak kecil ia dididik oleh keluarga Belanda, serta meneruskan pendidikan tinggi di Rijksuniversiteit (sekatang Universitas Leiden), namun sikap politik Sultan tetaplah nasionalis. Saat Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan, sebagai Raja Yogyakarta Sultan sebenarnya bisa menolak bergabung dengan Indonesia dan membentuk pemerintahan sendiri. Namun itu tidak dilakukannya. dengan cepat ia menyatakan Yogyakarta dan Keraton berada di bawah Republik Indonesia. Ia orang kedua di Yogyakarta sesudah Ki Hadjar Dewantara yang mengucapkan selamat kepada Soekarno-Hatta.


Sosok Humanis yang Cerdik

Pada saat Jepang kalah dan para pemuda radikal di berbagai kota menyita senjata Jepang, Yogyakarta adalah wilayah yang aman. Sultan mencegah terjadinya kekerasan terhadap warga Eropa, Cina dan Ambon. Ia mengevakuasi orang Belanda yang ditawan Jepang.

Tindakan kemanusiaan lainnya yang ia lakukan adalah pada saat menyelamatkan rakyat Yogya dari keharusan kerja paksa untuk Jepang (menjadi romusha). Kewajiban yang ditetapkan Jepang ini membuat penduduk di sejumlah daerah menderita luar biasa. Mereka dipaksa menyetorkan bahan makanan. Mereka pergi menjadi romusha untuk membangun proyek-proyek seperti jalan, rel kereta api, lapangan terbang, dan menggali batubara. Mereka mendapatkan gaji, tapi tak sebanding dengan pekerjaannya yang berat. Alhasil, ribuan nyawa menjadi korban. Sultan, dengan segala cara, berusaha keras untuk melindungi rakyatnya dari kekejaman fasisme Jepang.

“Mengelakkan permintaan Jepang sama sekali tak akan mungkin, tetapi Sultan Hamengku Buwono IX cukup pandai ‘mengelabui’ tentara Jepang,” demikian tertulis dalam bunga rampai Takhta Untuk Rakyat, yang dihimpun Mohamad Roem dkk.

Sultan menyembunyikan statistik yang sebenarnya, baik perihal penduduk maupun hasil panen padi dan populasi ternak. Dia berhasil meyakinkan Jepang bahwa daerahnya tak mampu menghasilkan bahan pangan untuk mencukupi kebutuhan penduduk. Alasannya, wilayah Yogyakarta terlalu sempit dan hanya sedikit tanah yang dapat ditanami karena sebagian selalu tergenang air pada musim hujan. Sementara wilayah lainnya kering dan tak subur untuk pertanian.

Maka agar daerahnya dapat menyetorkan hasil bumi kepada Jepang, Sultan meminta dana untuk membangun irigasi. John Monfries dalam bukunya menulis bahwa Jepang rupanya mengabulkan permintaan tersebut dan bahkan memberikan 1 juta Gulden untuk mendanai proyek tersebut. Saluran dan pintu air yang dibangun tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Selokan Mataram. Dan dengan ide cerdik tersebut maka sebagian besar warga Yogya pun membangun saluran air tersebut dengan sistem kerja shift sehingga terbebaslah warga Yogya tersebut dari keharusan menjadi romusha. Meski tetap masih ada sebagian warga Yogya yang harus menjadi romusha tapi jauh lebih sedikit dari daerah lain. Dan akhirnya, upaya tersebut menghasilkan produktivitas pangan dan mengarah pada kemakmuran warga Yogya.


Perannya pada Pembentukan Fondasi Ekonomi Orde Baru



Pada awal-awal pemerintahan Orde Baru Sultan Hamengku Buwono IX berada di barisan terdepan dalam pembentukan fondasi ekonomi Republik Indonesia. Menjelang keruntuhan Demokrasi Terpimpin, ia tengah menjabat sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam posisinya itu ia melihat banyak kesalahan dalam manajemen keuangan Soekarno. Pada akhir 1965 Sultan pun bertemu dengan Widjojo Nitisastro untuk membicarakan pemulihan ekonomi. Pada saat itu Sultan juga disebut mempersiapkan blueprint ekonomi Orde Baru. Ia percaya pada pentingnya swasta dan modal asing.

Di hari-hari terakhir Soekarno, Sultan memimpin delegasi ke Jepang mencari pinjaman uang. Ia juga berkeliling Eropa dan Amerika mengadakan pertemuan dengan berbagai lembaga seperti IMF, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia.

Setelah Soeharto secara resmi menjadi Presiden pada tahun 1968, Sultan kemudian dipercaya menjadi Menteri Keuangan dan Industri. Lalu pada tahun 1973 Sultan diangkat menjadi Wakil Presiden. Namun konon hubungannya dengan Soeharto merenggang dan wewenangnya dibatasi. Ia pun mengundurkan diri dari jabatannya dengan alasan kesehatan.

"Hamengku Buwono was a politically astute, non-idelogical pragmatist who cleverly used his ascribed status as Sultan not only to support the Republican cause during the Revolution, but also to ensure his political survival and, ultimately, to preserve his principality."

(John Monfries, A Prince in a Republic)


~ o 0 o ~

Sumber:

- Majalah Tempo edisi khusus Hari Kemerdekaan, Agustus 2015
- Historia.id
- John Monfries. A prince in a republic : the life of Sultan Hamengku Buwono IX of Yogyakarta. Singapore: ISEAS, 2015


No comments :