Oleh TARIQ KHALIL, Kompas, 24/12/2016
Saya datang ke Indonesia pertama kali saat liburan tahun 2005, lebih dari 10 tahun lalu. Musik dangdut menjadi bagian dari liburan itu, musik yang menemani perjalanan. Terpukau, saya menganalisis musik baru itu dalam pikiran. Vokalisasi khas Asia, ketukan rasa Bollywood, liak-liuk seruling, dan suara kencang gitar elektrik menggiring ingatan pada gaya rambut heboh dan semarak suasana. Saat saya mulai tenang dan menghayati, dangdut berubah menjadi musik yang luar biasa, sesuatu yang sangat khas Indonesia.
Beberapa tahun kemudian, sekitar tahun 2008 saya pindah ke Jakarta. Saat berkunjung di Bandung, Jawa Barat, saya melihat bangunan-bangunan tua dari era 1950 dan 1960 yang mengingatkan saya pada pengalaman mendengarkan dangdut. Penggabungan antara elemen-elemen khas yang menghasilkan sesuatu yang menakjubkan. Arsitektur yang berkarakter, dan bangunan khas Amerika di alam tropis Indonesia.
Diawali dengan ketidaktahuan tentang arsitektur, saya memulai sebuah misi. Misi untuk menemukan kembali dan memperkenalkan kepada awam kisah menarik, melebihi sekadar soal arsitektur, tentang bangunan di era 1950-1960-an.
Setiap akhir pekan saya bertemu dengan pelajar, sejarawan, dan aktivis budaya yang mengantarkan saya ke bangunan-bangunan indah. Saya menggunakan pesona saya untuk memasuki berbagai rumah, bahkan sempat mengajarkan seorang pembantu rumah tangga di daerah Tebet, Jakarta, cara memasak masakan india.
Bulan demi bulan, perjalanan demi perjalanan, koleksi bangunan saya, yang ditandai oleh garis tebal dan sudut tak lazim, bertambah. Namun, seakan ada lubang hitam menatap saya, perasaan kosong misterius yang mengisap segala cerita yang mungkin ada dari situs-situs itu, meninggalkan kekosongan budaya. Saya kembali menggunakan pesona dan bahasa Indonesia yang pas-pasan agar bisa memasuki gedung-gedung tersebut dengan segala ceritanya yang menghanyutkan. Pintu-pintu yang tak terhitung banyaknya pun terbuka seiring sang pemilik, entah penjaga atau seseorang dari warung, berbagi cerita tentang masa lalu yang menakjubkan.
Jejak 1950-an
Cerita dimulai sekitar tahun 1950, persis pada pertengahan abad. Insinyur-insinyur dan arsitek-arsitek Belanda sedang menjalankan bisnis besar, mengalirkan berbagai macam proyek atas nama untuk pembangunan negara, tanpa menyadari suasana pasca revolusi Soekarno.
Art Deco khas tropis dan hibridisasi Indo-Eropa, gaya Indische-yang populer pada era 1920 dan 1930-kembali marak. Arsitek Belanda datang kembali dan memulai revitalisasi arsitektur: gaya empire akhir, seperti yang dicontohkan di Kebayoran Baru, Jakarta.
Mulai tahun 1948 sampai 1957, walaupun tidak semua arsitek Belanda sibuk membuat gaya tua-baru Indonesia, beberapa arsitek, seperti Ger Boom dan Gmelig Meyling mengambil langkah lebih maju untuk menggabungkan gaya arsitektur. Mereka menggabungkan bentuk geometris dan ekspresionisme dari akhir tahun 1940-an khas California selatan. Inilah semangat pasca perang Amerika yang bertanggung jawab dalam memperkenalkan kultur mobil, masakan cepat saji, dan motel flamboyan ke dunia. Pada pertengahan abad, arsitektur modern telah tumbuh di Jawa yang sekarang dikenal sebagai gaya jengki.
Hasil-hasil pertama dari eksperimen modern tropis itu ditampilkan di dalam film Usmar Ismail, Tiga Dara, 1956. Adegan-adegan ikoniknya mulai dari Kebayoran Baru sekitar tahun 1956, melambangkan puncak dari inovasi arsitektur dan masa depan yang glamor. Art Deco dan gaya Indies "dibumbui" dengan geometris miring dan pengerjaan ulang yang serba bermain-main. Gaya Twilight Indies ini akan mengalami revolusi kedua.
Optimisme film itu tampak tidak peduli dengan ketidakstabilan perjalanan geopolitik Soekarno menuju kemakmuran dan kemandirian ekonomi. Pada akhir 1957, masyarakat sedang berada dalam arus perubahan, terlepas dari Belanda sedang dipaksa untuk Dexit dan aset-aset mereka dijadikan milik negara (nasionalisasi). Pengusiran mereka memancing terbukanya ketegangan sosial. Di bawah sadar, ketimpangan, dan keretakan sosial mulai meletus. Konflik tak terselesaikan ini tecermin, misalnya dalam jejaring intrik novel Senja di Djakarta karya Mochtar Lubis. Ditulis di penjara, nada gelap novel itu menggambarkan situasi kemasyarakatan yang kejam, yang gagal menyebarkan kemakmuran dan peluang, seperti dijanjikan poros Asia-Afrika Soekarno.
Dexit tahun 1957-1958 bagai durian runtuh yang menciptakan jutawan dalam semalam, menyegarkan kembali elite-elite dunia masa lalu, dan membantu mendanai institusi negara baru. Suasana politik baru terbuka diamdiam, sekaligus membangkitkan dorongan kreatif. Gaya Twilight Empire Belanda mengalami revolusi, dipimpin oleh kontraktor bangunan atau Aannemer. Yang dulu hanya dipimpin oleh arsitek elite, sekarang dipegang oleh tangan-tangan baru dan lokal.
Pemimpin-pemimpin yang baru ditunjuk ini mulai memonopoli desain serta membangun proyek sederhana dan prestise. Sedikit hal yang dianggap pakem atau sakral kepada masa estetika merdeka: insinyur, pembangun, asisten, beberapa arsitek -dan kadang pemilik-menambah corakjengki ke vila, hotel, kantor, pabrik, ruko, gereja-bahkan kuburan.
Situs-situs itu menghadirkan kecanggihan dan daya tarik modern pada kota. Bagi kebanyakan orang, ini adalah zaman atom, saat ambisi Indonesia, kepercayaan diri menuju modernitas berdering keras. Melompat ke masa depan, beberapa generasi kemudian, yang tersisa adalah vila-vila yang terabaikan di kota-kota dan desa serta penginapan-penginapan di pegunungan yang ditinggalkan. Itulah warisan kultural dari masa ultra kreatif selama 15 tahun yang kini terserak.
Retronesia
Perjalanan saya mewujud Proyek Retronesia. Dengan bantuan ahli-ahli atau terkadang hanya dengan perjumpaan di jalan, saya menemukan lebih dari sekadar gedung-gedung elegan, tetapi aneh. Gedung-gedung itu ternyata adalah monumen budaya yang terkubur, tidak oleh bumi atau abu, tetapi karena ketidakacuhan.
Setelah misi selama 7 tahun menggali lapisan budaya ini, bangunan kuno terus bermunculan dan sejarah lisan yang terlupakan disatukan kembali. Kisah tentang keberanian dan memilih mengambil risiko yang mendefinisikan kehidupan para pemimpi, petualang, dan institusi publik mereka. Mulai dari pengusaha batik dari Solo, kehidupan puitis para elite dan vila-vila mahal mereka di pegunungan, hingga institusi yang bertransformasi, seperti Akademi Ilmu Pengetahuan Alam milik Belanda pendahulu LIPI serta klub yang didirikan oleh pemilik perkebunan Belanda di Bandung tahun 1956.
Meskipun para pembangkit budaya itu telah lama pergi, keanehan mereka yang luar biasa entah bagaimana tetap bertahan-bahkan di Jakarta yang cepat berubah. Bangunan tempo dulu, alternatif di era tahun 1950-1960-an Indonesia ini terus dikalahkan oleh periode kolonial dan kolonial tempo dulu. Namun, meski hanya sebentar, era yang kental penanda budaya zamannya itu berhasil menginspirasi seni, desain, dan kreativitas masa kini.
Sejalan dengan waktu, Retronesia telah menjadi "urban archeology 101". Arkeologi perkotaan tidak membutuhkan ekspedisi mahal ke wilayah terpencil, tidak perlu membeli berbagai peralatan baru-ataupun pakaian mahal untuk segala cuaca dan tidak memerlukan latihan khusus. Hanya minat dan semangat yang dibutuhkan untuk menemukan sesuatu yang sangat menakjubkan.
Harmoni Rasa di Ujung Tenggara
Post by
DSP
Matahari menyengat di sebagian besar wilayah Desa Liya Togo. Cuaca terik pada Senin (19/9/2016) yang melanda desa di Kecamatan Wangiwangi Selatan, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, itu membuat perjalanan mengelilingi desa cukup melelehkan bulir-bulir keringat.
Tubuh terasa seperti didekatkan dengan kobaran api unggun bersuhu relatif konstan. Seluruh tubuh terpapar dan membuat topi atau lilitan kain sebagai pelindung penting bagi wajah dan leher.
Sejumlah jurnalis mengelilingi sebagian wilayah Liya Togo atas undangan Swisscontact, lembaga berbentuk yayasan berorientasi bisnis pada bidang ekonomi, sosial, dan lingkungan. Kunjungan itu merupakan bagian dari perjalanan ke sejumlah lokasi di Wakatobi yang dilangsungkan pada 14-20 September lalu.
Akan tetapi, perjalanan dengan terik matahari yang seperti ”menggigit” permukaan kulit itu berakhir manis atau lebih tepatnya berakhir asam-manis.
Ini dikarenakan sajian minuman ringan bernama sampalu yang disajikan penduduk setempat. Minuman ini terbuat dari campuran buah asam (tamarind) yang dijadikan cairan berwarna coklat pekat untuk lantas diblender dengan susu kental manis dan es batu.
Penampilannya secara visual jika dilihat dari penampang depan gelas terbagi dua. Coklat muda di bagian tengah hingga dasar gelas. Buih putih dari batas tengah gelas ke permukaan.
Rasanya asam, manis, dan dingin yang meledak hingga ke langit-langit mulut di tengah hawa panas matahari.
Sejumlah pohon asam yang rimbun di perkampungan, selain mengurangi intensitas sorotan matahari, turut pula memastikan pasokan buah asam yang konstan. Tentu saja segelas tidak cukup, oleh karena itulah berlanjut pada gelas kedua.
Sajian kedua adalah penganan dari bahan tepung singkong yang menyelimuti buah pisang di dalamnya. Parutan kelapa menambah rasa gurih, selain manis yang diberikan pisang dan kelegitan tepung singkong yang membungkusnya.
Itu masih ditambah dengan sajian ubi goreng yang diambil tak jauh dari sana. Sebagian wilayah Liya Togo, dengan bebatuan memenuhi sebagian permukaannya, memang digunakan untuk menanami sejumlah jenis komoditas.
Beberapa di antaranya delima, srikaya, mangga, dan nangka. Sela-sela di antara bebatuan karang menjadi tempat yang dicari untuk menanam bibit tanaman, dengan tambahan dedaunan dan serakan sampah organik sebagai tambahan media tanam yang diselipkan di dalam sela-sela bebatuan itu.
Selain itu, karena berdekatan dengan pantai, pohon kelapa juga banyak terdapat di wilayah desa tersebut. Daging pohon kelapa inilah yang juga dijadikan campuran sayur daun kelor dengan kuah bening untuk menu makan siang.
Itu masih ditambah dengan suwiran daging ikan pari, sambal, irisan tipis sayur pepaya, dan kasoami atau soami.
Soami atau kasoami adalah sumber karbohidrat yang terbuat dari ampas singkong. Cara pembuatan makanan pokok ini relatif sederhana.
Singkong dikupas dari kulitnya sebelum diparut. Lantas parutan singkong diperas hingga tinggal ampas. Ampas singkong ini lantas dikeringkan untuk menghilangkan asam sebelum diolah lebih lanjut.
Pengolahan lebih lanjut melibatkan proses penghalusan bahan yang sudah kering itu secara manual, atau menggunakan tangan. Proses selanjutnya mencetak kasoami atau soami ke dalam cetakan khusus, biasanya berbentuk kerucut dari bahan cetakan anyaman daun kelapa untuk selanjutnya dikukus.
Serasa roti
Kasoami atau soami yang dijadikan makanan pokok ini menghadirkan sensasi tersendiri tatkala disantap. Cara menikmatinya mirip seperti mengonsumsi roti. Dipegang seluruhnya untuk digigit sebagian, atau dipotong sebagian untuk dikunyah sedikit demi sedikit. Rasa asam, terkait kandungan air dalam singkong dari proses sebelumnya, tidak serta-merta hilang begitu saja. Namun, kadarnya relatif tak berpengaruh besar, dan justru memberikan tambahan pada keragaman rasa.
Adapun sayur bening dengan kombinasi daging kelapa muda relatif menjadi sebuah kejutan. Namun, tentu saja, dengan ketersediaan pohon kelapa yang tumbuh di banyak lokasi dalam pulau tersebut, daging kelapa muda relatif tidak sulit disediakan.
Hal pasti yang bisa dirasakan dari sayur tersebut adalah kerenyahan serupa menggigit buah segar yang baru dipetik dari pohon. Kombinasi bumbu yang diracik juga seolah mempertemukan semua rasa di tengah-tengah. Ada gurih, manis, dan asin.
Belum lagi ikan segar berteman sambal yang sekali dua kali dicocolkan dengan potongan kasoami atau soami. Kata kunci semua menu itu adalah ”segar” sebab nyaris semua bahan baku berasal dari pulau yang sama, dengan ikan yang ditangkap dari perairan terdekat.
Semua sajian itu dihidangkan di dalam wadah anyaman bambu beralaskan daun pisang. Adapun sayur bening berisikan daging kelapa muda dan daun kelor disajikan dalam batok kelapa.
Kelompok Pengelola Pariwisata Liya Togo, Kepo’oli, menyiapkan dan mengirimkan sajian makan siang itu dari bagian lain pulau tersebut. Mereka juga membawa kami ke bagian lain lagi dari pulau tersebut untuk menikmati sajian makan siang itu.
Untuk mencapai tempat makan siang tersebut, pengunjung mesti berlayar dalam sampan yang bergerak dengan tenaga tolakan batang kayu ke dasar laut. Letaknya berada di dalam cekungan dengan dua bagian pulau yang menjorok di kedua sisi.
Kombinasi pemandangan lautan lepas, kecipak air laut, dan semilir angin terus-menerus memberikan asupan pada lima indera. Bagi pengunjung, ini seperti keseimbangan rasa di ujung Sulawesi Tenggara. (Ingki Rinaldi)
Sumber: Kompas, 27/11/2016
Tubuh terasa seperti didekatkan dengan kobaran api unggun bersuhu relatif konstan. Seluruh tubuh terpapar dan membuat topi atau lilitan kain sebagai pelindung penting bagi wajah dan leher.
Sejumlah jurnalis mengelilingi sebagian wilayah Liya Togo atas undangan Swisscontact, lembaga berbentuk yayasan berorientasi bisnis pada bidang ekonomi, sosial, dan lingkungan. Kunjungan itu merupakan bagian dari perjalanan ke sejumlah lokasi di Wakatobi yang dilangsungkan pada 14-20 September lalu.
Akan tetapi, perjalanan dengan terik matahari yang seperti ”menggigit” permukaan kulit itu berakhir manis atau lebih tepatnya berakhir asam-manis.
Ini dikarenakan sajian minuman ringan bernama sampalu yang disajikan penduduk setempat. Minuman ini terbuat dari campuran buah asam (tamarind) yang dijadikan cairan berwarna coklat pekat untuk lantas diblender dengan susu kental manis dan es batu.
Penampilannya secara visual jika dilihat dari penampang depan gelas terbagi dua. Coklat muda di bagian tengah hingga dasar gelas. Buih putih dari batas tengah gelas ke permukaan.
Rasanya asam, manis, dan dingin yang meledak hingga ke langit-langit mulut di tengah hawa panas matahari.
Sejumlah pohon asam yang rimbun di perkampungan, selain mengurangi intensitas sorotan matahari, turut pula memastikan pasokan buah asam yang konstan. Tentu saja segelas tidak cukup, oleh karena itulah berlanjut pada gelas kedua.
Sajian kedua adalah penganan dari bahan tepung singkong yang menyelimuti buah pisang di dalamnya. Parutan kelapa menambah rasa gurih, selain manis yang diberikan pisang dan kelegitan tepung singkong yang membungkusnya.
Itu masih ditambah dengan sajian ubi goreng yang diambil tak jauh dari sana. Sebagian wilayah Liya Togo, dengan bebatuan memenuhi sebagian permukaannya, memang digunakan untuk menanami sejumlah jenis komoditas.
Beberapa di antaranya delima, srikaya, mangga, dan nangka. Sela-sela di antara bebatuan karang menjadi tempat yang dicari untuk menanam bibit tanaman, dengan tambahan dedaunan dan serakan sampah organik sebagai tambahan media tanam yang diselipkan di dalam sela-sela bebatuan itu.
Selain itu, karena berdekatan dengan pantai, pohon kelapa juga banyak terdapat di wilayah desa tersebut. Daging pohon kelapa inilah yang juga dijadikan campuran sayur daun kelor dengan kuah bening untuk menu makan siang.
Itu masih ditambah dengan suwiran daging ikan pari, sambal, irisan tipis sayur pepaya, dan kasoami atau soami.
Soami atau kasoami adalah sumber karbohidrat yang terbuat dari ampas singkong. Cara pembuatan makanan pokok ini relatif sederhana.
Singkong dikupas dari kulitnya sebelum diparut. Lantas parutan singkong diperas hingga tinggal ampas. Ampas singkong ini lantas dikeringkan untuk menghilangkan asam sebelum diolah lebih lanjut.
Pengolahan lebih lanjut melibatkan proses penghalusan bahan yang sudah kering itu secara manual, atau menggunakan tangan. Proses selanjutnya mencetak kasoami atau soami ke dalam cetakan khusus, biasanya berbentuk kerucut dari bahan cetakan anyaman daun kelapa untuk selanjutnya dikukus.
Serasa roti
Kasoami atau soami yang dijadikan makanan pokok ini menghadirkan sensasi tersendiri tatkala disantap. Cara menikmatinya mirip seperti mengonsumsi roti. Dipegang seluruhnya untuk digigit sebagian, atau dipotong sebagian untuk dikunyah sedikit demi sedikit. Rasa asam, terkait kandungan air dalam singkong dari proses sebelumnya, tidak serta-merta hilang begitu saja. Namun, kadarnya relatif tak berpengaruh besar, dan justru memberikan tambahan pada keragaman rasa.
Adapun sayur bening dengan kombinasi daging kelapa muda relatif menjadi sebuah kejutan. Namun, tentu saja, dengan ketersediaan pohon kelapa yang tumbuh di banyak lokasi dalam pulau tersebut, daging kelapa muda relatif tidak sulit disediakan.
Hal pasti yang bisa dirasakan dari sayur tersebut adalah kerenyahan serupa menggigit buah segar yang baru dipetik dari pohon. Kombinasi bumbu yang diracik juga seolah mempertemukan semua rasa di tengah-tengah. Ada gurih, manis, dan asin.
Belum lagi ikan segar berteman sambal yang sekali dua kali dicocolkan dengan potongan kasoami atau soami. Kata kunci semua menu itu adalah ”segar” sebab nyaris semua bahan baku berasal dari pulau yang sama, dengan ikan yang ditangkap dari perairan terdekat.
Semua sajian itu dihidangkan di dalam wadah anyaman bambu beralaskan daun pisang. Adapun sayur bening berisikan daging kelapa muda dan daun kelor disajikan dalam batok kelapa.
Kelompok Pengelola Pariwisata Liya Togo, Kepo’oli, menyiapkan dan mengirimkan sajian makan siang itu dari bagian lain pulau tersebut. Mereka juga membawa kami ke bagian lain lagi dari pulau tersebut untuk menikmati sajian makan siang itu.
Untuk mencapai tempat makan siang tersebut, pengunjung mesti berlayar dalam sampan yang bergerak dengan tenaga tolakan batang kayu ke dasar laut. Letaknya berada di dalam cekungan dengan dua bagian pulau yang menjorok di kedua sisi.
Kombinasi pemandangan lautan lepas, kecipak air laut, dan semilir angin terus-menerus memberikan asupan pada lima indera. Bagi pengunjung, ini seperti keseimbangan rasa di ujung Sulawesi Tenggara. (Ingki Rinaldi)
Sumber: Kompas, 27/11/2016
"Comandante"
Post by
DSP
Fidel Alejandro Castro Ruz telah tiada. Mulai kemarin (26/11/2016), Kuba tidak lagi memiliki El jefe máximo, pemimpin tertinggi. El Jefe, bahasa Spanyol yang berarti 'bos' atau 'ketua', begitu nama panggilan mantan Presiden Kuba Fidel Castro-El Jefe diambil dari gelar yang disandangnya, Comandante en Jefe atau Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Kuba, meninggal kemarin.
Memang, sejak 2006, kekuasaan Kuba telah diserahkan kepada saudara lelakinya, Raul Castro, tetapi Comandante di Kuba hanya satu: Fidel Castro, yang meninggal pada usia 90 tahun.
Fidel Castro lahir pada 13 Agustus 1926 di Biran, sebuah desa di Kuba bagian timur. Ayahnya seorang imigran, Angel Maria Bautista Castro Arguiz, yang memperistri pembantu perempuannya, Lina Ruz.
Ia menjadi tokoh terakhir, pengawal komunisme dunia sepanjang abad ke-20 dan awal ke-21. Tokoh lainnya, antara lain Mao Zedong dan Ho Chi Minh dari Vietnam, sudah mendahului. Bahkan, Castro yang selalu mengidentifikasi dirinya sebagai Don Quixote-seperti Don Quixote yang berjuang melawan ancaman baik nyata maupun imajinatif, selama berdekade mempersiapkan invasi militer dari AS setelah insiden Teluk Babi (1961), tetapi tak pernah terjadi-setia mempertahankan ideologi komunisme di negaranya meski komunisme sudah mati dan dikubur di Rusia pada 1991.
Castro selalu menyebut dirinya seorang Marxist-Leninis. Dan, menyatakan akan tetap seperti itu hingga mati. Ia yang mengunyah dan menelan karya-karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin, memang menjelma menjadi seorang Marxist-Leninist.
Castro juga menghayati kredo yang pernah diteriakkan oleh Karl Marx (1818-1883) bahwa agama adalah keluhan makhluk yang tertekan, perasaan dunia tanpa hati, sebagaimana ia adalah suatu roh zaman yang tanpa roh. Ia adalah candu masyarakat. Karena itu, sejak berkuasa, menjadi perdana menteri mulai 1959, secara resmi Kuba adalah negara ateis.
Akan tetapi, runtuhnya Uni Soviet menandai pula perubahan di Kuba. Pada 1991, Castro mengubah status Kuba dari negara "ateis" menjadi "sekuler" dan setahun kemudian mengamandemen konstitusi. Pada November 1996, Castro pergi ke Vatikan dan bertemu Paus Yohanes Paulus II. Hasil pertemuan tersebut, Paus Yohanes Paulus II berkunjung ke Kuba pada 21-25 Januari 1998.
Pertemuan kedua tokoh itu oleh banyak pihak dimaknai-dari sudut pandang Vatikan-sebagai penziarahan pastoral atau penziarahan Paus sebagai gembala yang dimaksudkan untuk memperkuat Gereja Katolik Kuba guna menghadapi masa depan Kuba, apa pun bentuknya. Dari sudut pandang Havana, inilah bagian dari usaha pemerintahan Fidel Castro untuk mengintegrasikan Kuba dengan kehidupan belahan bumi Barat.
Drama ideologi
Apabila dilihat secara lebih luas, inilah sentuhan terakhir dalam drama ideologi terbesar pada akhir abad ke-20, yakni konflik antara humanisme ateistis dan humanisme Kristiani. Komunisme, yang dianut oleh Kuba, adalah ekspresi humanisme ateistis. Dan, kedatangan Paus Yohanes Paulus II ke Kuba menawarkan kembali humanisme Kristiani.
Castro memang penuh warna. Ia membenci dan bahkan mengecam dollar AS yang dianggap sebagai simbol korup dari kapitalisme. Karena itu, ia menyatakan Kuba sebagai satu-satunya negara di dunia yang tidak perlu menjalin hubungan perdagangan dengan Amerika Serikat. Namun, runtuhnya Uni Soviet dan tiadanya bantuan subsidi dari Moskwa, pada 1993 memaksa Castro melegalkan orang Kuba memegang dollar AS, yang dibelanjakan para wisatawan atau kiriman dari para keluarga pelarian Kuba yang tinggal di AS.
Bahkan, kedua negara menyadari zaman telah berubah. Dari sudut pandang AS, sanksi ekonomi yang dijatuhkan terhadap Kuba selama hampir 60 tahun tidak banyak artinya: tak dapat menjatuhkan Castro, juga tidak mengubah sifat dasar masyarakat Kuba. Karena itu, jika AS membuka pintu bagi Kuba, perubahan diharapkan lebih cepat terjadi di Kuba. Kuba pun ingin bergabung dengan dunia yang berderap dalam pawai modernisasi. Keinginan tersebut mustahil tanpa persetujuan Castro meski ketika itu sudah sakit-sakitan.
Bagaimana Castro akan dikenang
Pada akhirnya, setelah tiada, akan dikenang sebagai apakah Fidel Alejandro Castro Ruz, selain sebagai mantan Presiden Kuba? Barangkali, pendapat Martin Heidegger (1889-1976), filsuf asal Jerman, bisa menjadi dasar untuk menempatkan di mana Castro diletakkan. Heidegger mengatakan, manusia harus terus mencari makna hidup, mengukir dan menciptakan sejarah sekaligus melakoninya. Manusia adalah pencipta sejarahnya sendiri. Ia, manusia, berjalan, berziarah, menggoreskan setiap perjalanannya sebagai sebuah pengalaman bernilai, indah, berisi, bermakna, tetapi juga gelap, tak berarti.
Dalam setiap momen, setiap peristiwa sejarah, manusia adalah sekaligus pemenang dan pecundang, menjadi pihak yang kalah. Oleh karena itu, sejarah tidak bisa diartikan hanya sekadar sejarah kemenangan, melainkan juga kadang sejarah kekalahan; bukan hanya sejarah kesenangan, melainkan juga sejarah kepiluan; bukan hanya sejarah keberhasilan yang memberikan semangat, melainkan juga sejarah kegagalan yang membuat frustrasi.
Semua itu dilakoni Castro. Karena itu, kiranya orang akan lebih mengenang Castro sebagai tokoh sejarah ketimbang seorang politisi. Castro adalah simbol revolusi di seluruh dunia dan inspirasi bagi banyak penirunya, seperti Hugo Chavez dari Venezuela, yang telah mendahuluinya.
Sumber: Kompas, 27/11/2016
Sumber foto: godfather.wikia.com
Memang, sejak 2006, kekuasaan Kuba telah diserahkan kepada saudara lelakinya, Raul Castro, tetapi Comandante di Kuba hanya satu: Fidel Castro, yang meninggal pada usia 90 tahun.
Fidel Castro lahir pada 13 Agustus 1926 di Biran, sebuah desa di Kuba bagian timur. Ayahnya seorang imigran, Angel Maria Bautista Castro Arguiz, yang memperistri pembantu perempuannya, Lina Ruz.
Ia menjadi tokoh terakhir, pengawal komunisme dunia sepanjang abad ke-20 dan awal ke-21. Tokoh lainnya, antara lain Mao Zedong dan Ho Chi Minh dari Vietnam, sudah mendahului. Bahkan, Castro yang selalu mengidentifikasi dirinya sebagai Don Quixote-seperti Don Quixote yang berjuang melawan ancaman baik nyata maupun imajinatif, selama berdekade mempersiapkan invasi militer dari AS setelah insiden Teluk Babi (1961), tetapi tak pernah terjadi-setia mempertahankan ideologi komunisme di negaranya meski komunisme sudah mati dan dikubur di Rusia pada 1991.
Castro selalu menyebut dirinya seorang Marxist-Leninis. Dan, menyatakan akan tetap seperti itu hingga mati. Ia yang mengunyah dan menelan karya-karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin, memang menjelma menjadi seorang Marxist-Leninist.
Castro juga menghayati kredo yang pernah diteriakkan oleh Karl Marx (1818-1883) bahwa agama adalah keluhan makhluk yang tertekan, perasaan dunia tanpa hati, sebagaimana ia adalah suatu roh zaman yang tanpa roh. Ia adalah candu masyarakat. Karena itu, sejak berkuasa, menjadi perdana menteri mulai 1959, secara resmi Kuba adalah negara ateis.
Akan tetapi, runtuhnya Uni Soviet menandai pula perubahan di Kuba. Pada 1991, Castro mengubah status Kuba dari negara "ateis" menjadi "sekuler" dan setahun kemudian mengamandemen konstitusi. Pada November 1996, Castro pergi ke Vatikan dan bertemu Paus Yohanes Paulus II. Hasil pertemuan tersebut, Paus Yohanes Paulus II berkunjung ke Kuba pada 21-25 Januari 1998.
Pertemuan kedua tokoh itu oleh banyak pihak dimaknai-dari sudut pandang Vatikan-sebagai penziarahan pastoral atau penziarahan Paus sebagai gembala yang dimaksudkan untuk memperkuat Gereja Katolik Kuba guna menghadapi masa depan Kuba, apa pun bentuknya. Dari sudut pandang Havana, inilah bagian dari usaha pemerintahan Fidel Castro untuk mengintegrasikan Kuba dengan kehidupan belahan bumi Barat.
Drama ideologi
Apabila dilihat secara lebih luas, inilah sentuhan terakhir dalam drama ideologi terbesar pada akhir abad ke-20, yakni konflik antara humanisme ateistis dan humanisme Kristiani. Komunisme, yang dianut oleh Kuba, adalah ekspresi humanisme ateistis. Dan, kedatangan Paus Yohanes Paulus II ke Kuba menawarkan kembali humanisme Kristiani.
Castro memang penuh warna. Ia membenci dan bahkan mengecam dollar AS yang dianggap sebagai simbol korup dari kapitalisme. Karena itu, ia menyatakan Kuba sebagai satu-satunya negara di dunia yang tidak perlu menjalin hubungan perdagangan dengan Amerika Serikat. Namun, runtuhnya Uni Soviet dan tiadanya bantuan subsidi dari Moskwa, pada 1993 memaksa Castro melegalkan orang Kuba memegang dollar AS, yang dibelanjakan para wisatawan atau kiriman dari para keluarga pelarian Kuba yang tinggal di AS.
Bahkan, kedua negara menyadari zaman telah berubah. Dari sudut pandang AS, sanksi ekonomi yang dijatuhkan terhadap Kuba selama hampir 60 tahun tidak banyak artinya: tak dapat menjatuhkan Castro, juga tidak mengubah sifat dasar masyarakat Kuba. Karena itu, jika AS membuka pintu bagi Kuba, perubahan diharapkan lebih cepat terjadi di Kuba. Kuba pun ingin bergabung dengan dunia yang berderap dalam pawai modernisasi. Keinginan tersebut mustahil tanpa persetujuan Castro meski ketika itu sudah sakit-sakitan.
Bagaimana Castro akan dikenang
Pada akhirnya, setelah tiada, akan dikenang sebagai apakah Fidel Alejandro Castro Ruz, selain sebagai mantan Presiden Kuba? Barangkali, pendapat Martin Heidegger (1889-1976), filsuf asal Jerman, bisa menjadi dasar untuk menempatkan di mana Castro diletakkan. Heidegger mengatakan, manusia harus terus mencari makna hidup, mengukir dan menciptakan sejarah sekaligus melakoninya. Manusia adalah pencipta sejarahnya sendiri. Ia, manusia, berjalan, berziarah, menggoreskan setiap perjalanannya sebagai sebuah pengalaman bernilai, indah, berisi, bermakna, tetapi juga gelap, tak berarti.
Dalam setiap momen, setiap peristiwa sejarah, manusia adalah sekaligus pemenang dan pecundang, menjadi pihak yang kalah. Oleh karena itu, sejarah tidak bisa diartikan hanya sekadar sejarah kemenangan, melainkan juga kadang sejarah kekalahan; bukan hanya sejarah kesenangan, melainkan juga sejarah kepiluan; bukan hanya sejarah keberhasilan yang memberikan semangat, melainkan juga sejarah kegagalan yang membuat frustrasi.
Semua itu dilakoni Castro. Karena itu, kiranya orang akan lebih mengenang Castro sebagai tokoh sejarah ketimbang seorang politisi. Castro adalah simbol revolusi di seluruh dunia dan inspirasi bagi banyak penirunya, seperti Hugo Chavez dari Venezuela, yang telah mendahuluinya.
Sumber: Kompas, 27/11/2016
Sumber foto: godfather.wikia.com
Pahlawan Nasional TAN MALAKA Akan Dimakamkan Kembali Di Kampung Halamannya
Post by
DSP
Wakil Bupati Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, Ferizal Ridwan, mendatangi makam Tan Malaka di Desa Selopanggung, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Kamis, pekan lalu. Kedatangan Ferizal terkait dengan rencana Pemerintah Kabupaten Lima Puluh Kota membawa pulang jasad pahlawan nasional itu untuk dikuburkan di kampung halamannya. "Kami datang untuk menjemput datuk kami yang hilang," kata Ferizal.
Rencana pemindahan jasad sudah dibicarakan Pemerintah Lima Puluh Kota dengan Kementerian Sosial. Menurut Ferizal, pihaknya akan berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Kediri sebagai pemegang otoritas wilayah. Pemindahan jasad Tan Malaka ditargetkan tuntas pada 21 Februari 2017. Pemerintah Kabupaten Lima Puluh Kota akan membawa jasad Tan Malaka melalui perjalanan darat. Upacara adat telah disiapkan untuk menyambut kedatangan jasad sebelum dikuburkan di kompleks rumah kelahirannya, Nagari Pandam Gadang, Suliki.
Sumber : Tempo - Majalah Berita Mingguan 21 - 27 November 2016.
Rencana pemindahan jasad sudah dibicarakan Pemerintah Lima Puluh Kota dengan Kementerian Sosial. Menurut Ferizal, pihaknya akan berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Kediri sebagai pemegang otoritas wilayah. Pemindahan jasad Tan Malaka ditargetkan tuntas pada 21 Februari 2017. Pemerintah Kabupaten Lima Puluh Kota akan membawa jasad Tan Malaka melalui perjalanan darat. Upacara adat telah disiapkan untuk menyambut kedatangan jasad sebelum dikuburkan di kompleks rumah kelahirannya, Nagari Pandam Gadang, Suliki.
Sumber : Tempo - Majalah Berita Mingguan 21 - 27 November 2016.
Seno, Pemburu Bibit Baru
Post by
DSP
Suatu saat produser musik Seno M Hardjo berkata, "Saya sedang mencari penyanyi bersuara bulat seperti Syaharani." Di saat lain, ia bercerita, "Saya sedang menulis lirik lagu." Lalu hadirlah duet Syaharani bersama Kamasean Matthews dalam lagu "Seperti Dikejar Dosa". Seno menuliskan liriknya, sementara musik ditulis oleh Aldi Nada Permana.
Setelah lebih dari 20 tahun bergelut di jagat musik, Seno meluaskan sayap. Dari jadi direktur musik di rumah produksi hingga direktur di label rekaman milik sendiri, Target Pop.
Menjadi produser musik dan pencipta lagu adalah obsesi Seno. "Mencari bakat baru lalu melejitkannya adalah pekerjaan berat," katanya pada suatu sore, beberapa waktu lalu, di Jakarta.
Menurut Seno, bakat belia mengalir dari berbagai penjuru. Beragam ajang pencarian bakat di beberapa stasiun televisi menawarkan rombongan pemenang. "Namun, hanya sejumlah nama yang bertakhta di pasar musik sebenarnya," ujarnya.
Seno saat ini mempromosikan album Born to be Singers (BTBS). Hampir semua pengisinya adalah penyanyi anyar. Nama mereka belum akrab di telinga publik, seperti Barsena Bestandhi, Brianna Simorangkir, dan Fadil Jaidi.
Di album ini, Seno mengundang bintang tamu Syaharani, Nicky Astria, Harsya Rieuwpassa, dan Maruli Tampubolon. Barsena berduet dengan Nicky dalam lagu lama karya Bartje Van Houten, "Mengapa Harus Berjumpa". Barsena adalah juara kontes NEZ Academy 2013 di NET TV.
Album BTBS menjadi seri ketiga proyek Seno M Hardjo Present. Sebelumnya, ia merilis Fariz RM & Dian Pramana Poetra In Collaboration serta The Great Composer.
Seno biasanya cukup bersorak ketika lagunya nangkring di posisi atas unduhan iTunes. Ia membagi kabar di Facebook, "Sobats, lagu ini...." (IVV)
Sumber artikel dan foto: Kompas, 18/11/2016
Redy Eko Prastyo: Panggung untuk Kampung
Post by
DSP
Oleh DEFRI WERDIONO, Kompas, 18/11/2016
Tujuh tahun lalu, Redy Eko Prastyo (37) menggagas Festival Kampung Cempluk di Malang, Jawa Timur. Ajang itu disebut-sebut sebagai festival pertama yang mengangkat potensi kampung di seantero Malang. Apa yang ia rintis lantas berkembang dan melahirkan Jaringan Kampung Nusantara.
Ingar-bingar menguasai Dusun Sumberejo, Desa Kalisongo, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, selama lima hari berturut-turut, September lalu. Begitulah yang terjadi setiap Festival Kampung Cempluk (FKC) berlangsung. Aneka bunyi-bunyian alat musik mengalun sepanjang hari, seolah tanpa henti. Pria-wanita, tua-muda, larut dalam kegiatan itu. Mereka menyanyi, menari, atau sekadar menonton.
Tahun ini, FKC memasuki tahun ketujuh. Festival diawali dengan pawai, berlanjut dengan kegiatan tematik, seperti Cempluk Bergerak, Cempluk Bernyanyi, dan Cempluk Berkolaborasi. Cempluk diambil dari nama lampu tradisional berbahan bakar minyak tanah.
Selain warga Sumberejo, acara itu juga dimeriahkan sejumlah penampil dari kampung di Banyuwangi dan Tulungagung, Jawa Timur. Bahkan, festival tingkat kampung ini bisa menarik sejumlah musisi asing. Tahun ini ada pemain flute asal Spanyol, Rudrego Parejo, yang nimbrung di antara sejumlah penampil. Tahun lalu, tampil Kumayl Mustofa Daood, anggota grup musik Debu asal Amerika. Pada 2014, ada musisi jazz asal Perancis, Gills Saisi.
Redy mengklaim, dari tahun ke tahun festival yang digelar di jalan kampung itu terus berkembang, baik dari sisi durasi maupun materi. ”Saat ini, FKC sudah menjadi semacam hari raya kebudayaan bagi warga Sumberejo,” ujar sarjana sastra dan psikologi itu.
Menghapus stigma
Redy sebenarnya bukan penduduk asli Sumberejo. Ia pendatang yang mengontrak sebuah rumah di sana. Kebetulan pemilik rumah memiliki grup musik dangdut. Redy yang menggemari musik kadang ikut nimbrung. Dari situ dia tahu bahwa warga Sumberejo punya potensi berkesenian yang besar.
Sayangnya, potensi itu tidak berkembang lantaran tidak mendapat panggung. Seperti kampung-kampung lainnya di Malang, Sumberejo gamang dengan perkembangan zaman. Kampung yang tadinya kental dengan nuansa agraris itu kini mulai dikepung dan didesak perumahan-perumahan besar.
Yang menyakitkan, perkembangan zaman mencitrakan kampung sebagai wakil dari keterbelakangan. Apa saja yang berasal dari kampung disebut ”kampungan” dan warganya disebut ”orang kampung”.
Sebutan itu tidak enak didengar di telinga dan terasa memojokkan. Akibatnya, banyak orang kampung mencoba keluar dari situasi itu. Mereka ingin dianggap sebagai orang modern yang memiliki aktivitas sebagaimana orang kota pada umumnya.
Sebagian dari mereka rela melakukan apa saja, termasuk menjual lahan pertaniannya, kemudian pindah ke perumahan modern atau kota. Secara fisik mereka memang pindah, tetapi secara psikis ”jiwa kampung” tak bisa ditanggalkan.
Redy merasa gejala seperti itu mesti dihentikan, apalagi dia melihat kampung menyimpan modal besar untuk berkembang. Semangat gotong royong dan kebersamaan warga pun masih sangat kental.
Dibantu seorang warga pendatang lainnya, Priyo Sidi, Redy berusaha menciptakan ruang inspirasi dan kreasi buat warga kampung dalam bentuk FKC pertama pada Agustus 2009. Mereka mendorong warga kampung untuk unjuk kekayaan yang mereka punya, mulai dari kuliner hingga seni pertunjukan seperti bantengan, singo budoyo, dan angklung cempluk.
Pertunjukan kesenian tradisional itu disandingkan secara sejajar dengan performing art, teater, pantomin, musik, dance, dan film indie. Dengan cara itu, tumbuh kebanggaan dan rasa percaya diri di kalangan warga kampung yang sebagian berprofesi sebagai tukang kayu, tukang batu, dan penarik becak.
FKC pertama itu hanya berlangsung dua hari. FKC tahun berikutnya digelar setiap September agar tidak terlalu dekat dengan acara tujuh belasan. Redy mulai membenahi urusan publikasi yang tidak tergarap dengan baik pada FKC pertama. Ia pun membuat situs kampung www.kampungcempluk.com yang dikelola oleh anggota karang taruna.
Melalui situs itu, warga kampung mengunggah aktivitas kampung ”Cempluk”, ada atau tidak ada festival. Dari situ pula, anak-anak karang taruna belajar fotografi, video, dan jurnalistik.
Seiring dengan perkembangan pengetahuan anak-anak kampung, FKC juga berkembang. Festival yang awalnya digelar di sebuah gang di satu RT akhirnya digelar di satu kampung. Sejak saat itu pula nama cempluk atau lampu berbahan minyak tanah melekat kuat pada dusun yang terletak di sisi barat Kota Malang itu.
”Waktu festival juga ditambah, tidak hanya dua hari. Pada tahun keempat, kami bahkan menggelar festival selama 11 hari,” tambah Redy. Warga mendesak perpanjangan waktu festival karena memberikan keuntungan ekonomi.
Jaringan Nusantara
Perjalanan FKC tidak selalu mulus. Di antara warga yang antusias, ada juga warga yang apatis, pesimistis, bahkan sinis. ”Ada yang berusaha menggembosi, tapi saya cuek saja. Kami terus jalan sambil mencari dukungan dari luar melalui publikasi,” ujar Redy.
Baru pada tahun ke-7 semua hambatan itu bisa diatasi. Saat ini, FKC ditangani sendiri oleh karang taruna. ”Saya hanya sebagai penasihat,” kata pria yang kini tengah menyiapkan acara Hari Raya Kebudayaan Borobudur, semacam festival kampung di Magelang, Desember mendatang.
Redy terus bergerak membuatkan panggung bagi kampung-kampung lain di Nusantara. Setelah sukses di ”Cempluk”, ia membangun Jaringan Kampung Nusantara. Jaringan ini ia buat untuk membangun ketahanan budaya dan memperkuat entitas warga kampung di Nusantara. Dalam jaringan ini ada pula sejumlah musisi Tanah Air, seperti Trie Utami dan Leo Kristi.
Saat ini, anggota Jaringan Kampung ada 150-an pembakti di 25 kampung yang tersebar di 8 kabupaten di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah. Mereka memiliki latar belakang beragam, seperti dosen, sejarawan, kepala desa, dan ketua RT.
Lewat jaringan ini, warga kampung punya banyak panggung di sejumlah daerah. Di panggung-panggung itulah mereka membangun kebanggaan dan menunjukkan jati dirinya.
Tujuh tahun lalu, Redy Eko Prastyo (37) menggagas Festival Kampung Cempluk di Malang, Jawa Timur. Ajang itu disebut-sebut sebagai festival pertama yang mengangkat potensi kampung di seantero Malang. Apa yang ia rintis lantas berkembang dan melahirkan Jaringan Kampung Nusantara.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO |
Ingar-bingar menguasai Dusun Sumberejo, Desa Kalisongo, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, selama lima hari berturut-turut, September lalu. Begitulah yang terjadi setiap Festival Kampung Cempluk (FKC) berlangsung. Aneka bunyi-bunyian alat musik mengalun sepanjang hari, seolah tanpa henti. Pria-wanita, tua-muda, larut dalam kegiatan itu. Mereka menyanyi, menari, atau sekadar menonton.
Tahun ini, FKC memasuki tahun ketujuh. Festival diawali dengan pawai, berlanjut dengan kegiatan tematik, seperti Cempluk Bergerak, Cempluk Bernyanyi, dan Cempluk Berkolaborasi. Cempluk diambil dari nama lampu tradisional berbahan bakar minyak tanah.
Selain warga Sumberejo, acara itu juga dimeriahkan sejumlah penampil dari kampung di Banyuwangi dan Tulungagung, Jawa Timur. Bahkan, festival tingkat kampung ini bisa menarik sejumlah musisi asing. Tahun ini ada pemain flute asal Spanyol, Rudrego Parejo, yang nimbrung di antara sejumlah penampil. Tahun lalu, tampil Kumayl Mustofa Daood, anggota grup musik Debu asal Amerika. Pada 2014, ada musisi jazz asal Perancis, Gills Saisi.
Redy mengklaim, dari tahun ke tahun festival yang digelar di jalan kampung itu terus berkembang, baik dari sisi durasi maupun materi. ”Saat ini, FKC sudah menjadi semacam hari raya kebudayaan bagi warga Sumberejo,” ujar sarjana sastra dan psikologi itu.
Menghapus stigma
Redy sebenarnya bukan penduduk asli Sumberejo. Ia pendatang yang mengontrak sebuah rumah di sana. Kebetulan pemilik rumah memiliki grup musik dangdut. Redy yang menggemari musik kadang ikut nimbrung. Dari situ dia tahu bahwa warga Sumberejo punya potensi berkesenian yang besar.
Sayangnya, potensi itu tidak berkembang lantaran tidak mendapat panggung. Seperti kampung-kampung lainnya di Malang, Sumberejo gamang dengan perkembangan zaman. Kampung yang tadinya kental dengan nuansa agraris itu kini mulai dikepung dan didesak perumahan-perumahan besar.
Yang menyakitkan, perkembangan zaman mencitrakan kampung sebagai wakil dari keterbelakangan. Apa saja yang berasal dari kampung disebut ”kampungan” dan warganya disebut ”orang kampung”.
Sebutan itu tidak enak didengar di telinga dan terasa memojokkan. Akibatnya, banyak orang kampung mencoba keluar dari situasi itu. Mereka ingin dianggap sebagai orang modern yang memiliki aktivitas sebagaimana orang kota pada umumnya.
Sebagian dari mereka rela melakukan apa saja, termasuk menjual lahan pertaniannya, kemudian pindah ke perumahan modern atau kota. Secara fisik mereka memang pindah, tetapi secara psikis ”jiwa kampung” tak bisa ditanggalkan.
Redy merasa gejala seperti itu mesti dihentikan, apalagi dia melihat kampung menyimpan modal besar untuk berkembang. Semangat gotong royong dan kebersamaan warga pun masih sangat kental.
Dibantu seorang warga pendatang lainnya, Priyo Sidi, Redy berusaha menciptakan ruang inspirasi dan kreasi buat warga kampung dalam bentuk FKC pertama pada Agustus 2009. Mereka mendorong warga kampung untuk unjuk kekayaan yang mereka punya, mulai dari kuliner hingga seni pertunjukan seperti bantengan, singo budoyo, dan angklung cempluk.
Pertunjukan kesenian tradisional itu disandingkan secara sejajar dengan performing art, teater, pantomin, musik, dance, dan film indie. Dengan cara itu, tumbuh kebanggaan dan rasa percaya diri di kalangan warga kampung yang sebagian berprofesi sebagai tukang kayu, tukang batu, dan penarik becak.
FKC pertama itu hanya berlangsung dua hari. FKC tahun berikutnya digelar setiap September agar tidak terlalu dekat dengan acara tujuh belasan. Redy mulai membenahi urusan publikasi yang tidak tergarap dengan baik pada FKC pertama. Ia pun membuat situs kampung www.kampungcempluk.com yang dikelola oleh anggota karang taruna.
Melalui situs itu, warga kampung mengunggah aktivitas kampung ”Cempluk”, ada atau tidak ada festival. Dari situ pula, anak-anak karang taruna belajar fotografi, video, dan jurnalistik.
Seiring dengan perkembangan pengetahuan anak-anak kampung, FKC juga berkembang. Festival yang awalnya digelar di sebuah gang di satu RT akhirnya digelar di satu kampung. Sejak saat itu pula nama cempluk atau lampu berbahan minyak tanah melekat kuat pada dusun yang terletak di sisi barat Kota Malang itu.
”Waktu festival juga ditambah, tidak hanya dua hari. Pada tahun keempat, kami bahkan menggelar festival selama 11 hari,” tambah Redy. Warga mendesak perpanjangan waktu festival karena memberikan keuntungan ekonomi.
Jaringan Nusantara
Perjalanan FKC tidak selalu mulus. Di antara warga yang antusias, ada juga warga yang apatis, pesimistis, bahkan sinis. ”Ada yang berusaha menggembosi, tapi saya cuek saja. Kami terus jalan sambil mencari dukungan dari luar melalui publikasi,” ujar Redy.
Baru pada tahun ke-7 semua hambatan itu bisa diatasi. Saat ini, FKC ditangani sendiri oleh karang taruna. ”Saya hanya sebagai penasihat,” kata pria yang kini tengah menyiapkan acara Hari Raya Kebudayaan Borobudur, semacam festival kampung di Magelang, Desember mendatang.
Redy terus bergerak membuatkan panggung bagi kampung-kampung lain di Nusantara. Setelah sukses di ”Cempluk”, ia membangun Jaringan Kampung Nusantara. Jaringan ini ia buat untuk membangun ketahanan budaya dan memperkuat entitas warga kampung di Nusantara. Dalam jaringan ini ada pula sejumlah musisi Tanah Air, seperti Trie Utami dan Leo Kristi.
Saat ini, anggota Jaringan Kampung ada 150-an pembakti di 25 kampung yang tersebar di 8 kabupaten di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah. Mereka memiliki latar belakang beragam, seperti dosen, sejarawan, kepala desa, dan ketua RT.
Lewat jaringan ini, warga kampung punya banyak panggung di sejumlah daerah. Di panggung-panggung itulah mereka membangun kebanggaan dan menunjukkan jati dirinya.
Ananda Sukarlan Mencari Bakat Baru
Post by
DSP
Awal bulan November ini, komponis dan pianis Ananda Sukarlan (48) akan berkeliling ke lima kota di Indonesia untuk mencari bakat-bakat baru. Dia menjadi juri dalam Kompetisi Piano Nusantara yang akan dimulai di Makassar pada 5 November dan berlanjut ke Yogyakarta, Surabaya, Bandung, dan Jakarta.
"Kami memakai konsep baru, yaitu penyelenggara di empat kota di luar Jakarta saling bersinergi. Ini juga memudahkan para peserta. Misalnya, peserta dari Palu cukup datang ke Makassar atau yang dari Madiun bisa ke Surabaya," tutur Ananda, pekan lalu.
Kompetisi ini bertujuan mencari bakat-bakat pianis di bawah usia 18 tahun. Dengan adanya kompetisi ini, Ananda berharap menemukan bakat-bakat musik dari seluruh pelosok Tanah Air. Pemenang di setiap kawasan berhak mengikuti babak final di Jakarta dan mendapat hadiah berupa pelajaran langsung dari Ananda serta maestro yang lain.
Kompetisi ini juga masuk dalam rencana baru Yayasan Musik Sastra Indonesia yang ikut didirikan Ananda. "Peserta tak perlu jauh-jauh ke Jakarta. Bakat-bakat besar yang tadinya tidak terlihat kini diharapkan bisa ditemukan," ujar Ananda.
Ananda mengatakan, kompetisi ini juga didukung Wali Kota Makassar Danny Pomanto dan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil. (SIE)
Sumber: Kompas, 3/11/2016
Sumber foto: Arsip pribadi
Bob Dylan: Suara Si Tukang Protes
Post by
DSP
Oleh Laraswati Ariadne Anwar, Kompas, 15/10/2016
Sepanjang kariernya sebagai penyanyi dan penggubah lagu, Bob Dylan menjejali karya-karyanya dengan kritik dan protes. Awalnya ia dihujat, tapi belakangan dipuja, bahkan diidolakan oleh beberapa lapis generasi di seluruh dunia. Pada usia 75 tahun ini, ia menjadi musisi pertama yang menerima Nobel Sastra.
Robert Allen Zimmerman-begitu nama asli Dylan-diumumkan sebagai penerima Nobel Sastra 2016 oleh Sekretaris Permanen Akademi Swedia, Sara Danius, Kamis (13/10), di Stockholm, Swedia. Ketika namanya disebut, berbagai reaksi muncul dari para wartawan yang hadir. Ada yang terkejut, tetapi banyak pula yang bertepuk tangan dan berseru, "Sudah saatnya!"
Danius menjelaskan, Dylan dipilih karena lagu-lagu yang ditulisnya mencerminkan syair tradisi Amerika Serikat (AS). Namun, lagu-lagu itu disampaikan secara modern, lugas, dan menohok permasalahan yang dialami masyarakat AS, bahkan warga dunia. Ia membandingkan Dylan dengan dua pujangga klasik Yunani, Homeros dan Sapfo, yang juga menggunakan musik sebagai alat untuk berkisah.
"Seperti Homeros dan Sapfo, karya Dylan tidak lekang oleh waktu," tuturnya.
Dylan berasal dari keluarga sederhana Yahudi yang bermigrasi ke AS dari Eropa Timur untuk menghindari pembunuhan besar-besaran oleh gerakan anti semitis. Sejak remaja pada pertengahan 1950-an, ia menyukai musik rock serta mengidolakan penyanyi Little Richard dan Elvis Presley. Namun, ia juga suka blues dan country.
Saat itu, musik rock diasosiasikan sebagai ekspresi pembangkangan generasi muda terhadap aturan dan norma yang mapan. Tidak heran, ketika Dylan muda tampil bersama grup rock di SMA-nya, kepala sekolah mencabut colokan pengeras suara karena musik yang mereka mainkan dinilai terlalu bising.
Namun, Dylan tak peduli dengan keberatan semacam itu. Ia terus nge-rock meski diganjar dengan label anak nakal dan pembangkang.
Musik rakyat
Pada 1960, ia memutuskan berhenti kuliah agar bisa fokus bermusik. Periode ini merupakan masa penting bagi Dylan karena secara perlahan ia mulai meninggalkan musik rock dan beralih pada musik rakyat (folk).
Dalam album Biograph (1985), ia menjelaskan alasannya berpindah aliran. "Musik rock saat itu memang ingar-bingar, tetapi liriknya tidak terlalu dalam. Adapun musik rakyat bercerita tentang keluh kesah, masalah yang nyata, tentang ketakutan, kebahagiaan, hingga hal-hal kecil yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari," ujarnya.
Ia mulai mencuri perhatian pada 1961. Wartawan musik surat kabar New York Times, Robert Shelton, pada 29 September 1961 menulis, suara Dylan sebenarnya jauh dari merdu. Namun, kepiawaiannya bermain gitar, harmonika, dan piano serta kemampuannya mengimprovisasi lagu di atas panggung membuktikan pemuda itu sangat berbakat. "Terlebih lagi, ia bisa menyanyikan tragedi dan komedi sosial apa adanya."
Lagu demi lagu lahir dari benak Dylan. Ia seniman yang sangat produktif yang berkarya selama 57 tahun dan menghasilkan 60 album. Lewat lagu-lagunya, ia kadang menertawakan, kadang menangisi berbagai fenomena sosial di AS.
Ia mengkritik sikap konsumtif, sikap tak peduli, dan diskriminasi berdasarkan ras dan kepercayaan. Ia menentang kebijakan politik AS yang dianggap sewenang-wenang. Dari sini, ia dikenal sebagai "Si Tukang Protes".
Coba simak lagi "Blowin' in the Wind" dari album The Freewheelin' Bob Dylan (1962). Dylan sengaja mengambil irama lagu "No More Auction Block" yang merupakan ekspresi kegembiraan penduduk kulit hitam atas kemerdekaan mereka dari perbudakan. "Aku mempertanyakan makna kemerdekaan karena pada faktanya meski kebijakan pemerintah mengatakan semua orang memiliki hak yang sama, ada kelompok yang disisihkan," ujarnya dalam buku The Bob Dylan Encyclopaedia (2006) karya Michael Gray.
Pada tahun-tahun berikutnya, ia semakin terlibat dalam gerakan HAM. Lagu-lagunya semakin bernuansa politis sehingga sering dijadikan tema perjuangan oleh gerakan mahasiswa di AS dan Eropa. Lagu "The Times are A-Changin'" (1963) menyuarakan kemarahan generasi muda tentang masa depan yang tidak pasti. Lagu itu sekaligus bentuk kenyinyiran Dylan pada Perang Vietnam (1959-1975) yang tidak kunjung usai.
"Come mothers and fathers throughout the land ... your sons and daughters are beyond your command," tulisnya. Dylan menggambarkan para orangtua yang harus berpisah dengan anak-anak mereka yang dikirim berperang di negeri orang.
Pengaruh musiknya dirasakan oleh penyanyi dan grup musik seperti Jimi Hendrix, The Beatles, Johnny Cash, dan Velvet Underground. Sementara lirik tajamnya menginspirasi berbagai gerakan HAM di seluruh dunia hingga sekarang.
Kontribusi Dylan memang melewati berbagai zaman, mulai masa Perang Dingin hingga krisis migran sekarang. Bahkan, ketika ia menerima Penghargaan Kesetiaan Berkarya Seumur Hidup pada ajang Grammy 1991, Dylan menyanyikan lagu "Masters of War". Ketika itu tengah berkecamuk Perang Teluk yang dipimpin AS lewat operasi "Desert Storm".
"You that build the big bombs/ you that hide behind the walls/ you that hide behind the desk// I just want you to know/ I can see through your mask (Kamu yang membuat bom/ kamu yang bersembunyi di balik dinding/ kamu yang ada di balik meja// Kamu harus tahu/ aku bisa menerawang topengmu)."
"Para pelaku kekerasan kini justru bukan orang-orang bersenjata, melainkan kaum elite berkerah putih di kantor yang nyaman. Mereka membuat kebijakan yang membawa petaka," tutur Dylan pada harian USA Today, Oktober 2001.
Karya sastra
Lirik Dylan yang sederhana, tajam, dan berdampak kepada publik membuat penyair Inggris, Andrew Motion, berargumen, karya-karya musisi harus dipelajari di perkuliahan sastra. "Puisi bertujuan menggugah perasaan pembacanya. Lirik Dylan tidak hanya menggugah, tapi juga menghasilkan aksi," tulisnya dalam esai yang diterbitkan The Times (2007).
Pada 1997, American Academy of Arts and Letters sebenarnya telah mengusulkan nama Dylan sebagai kandidat penerima Nobel Sastra. Salah satu anggota lembaga itu, yakni Guru Besar Sastra Inggris Universitas Lexington, Gordon Ball, menilai, seni syair selama ribuan tahun bertahan melalui bahasa lisan.
"Dylan mengembalikan penyebaran puisi ke bentuk dasar, melalui napas dan emosi manusia," ujarnya dalam laman komite kampanye Dylan untuk Nobel Sastra.
Dua tahun kemudian, majalah Time menobatkan Dylan sebagai salah satu dari 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia.
Tahun 2016, Dylan akhirnya menerima Nobel Sastra. Penghargaan tersebut kian memantapkan pijakannya sebagai salah satu seniman paling berpengaruh dunia abad ke-21. Dialah tukang protes yang suaranya didengar. (Mic/Salon)
Sumber: Kompas, 15/10/2016
AFP/GETTY IMAGE/NORTH AMERICA/KEVIN WINTER |
Robert Allen Zimmerman-begitu nama asli Dylan-diumumkan sebagai penerima Nobel Sastra 2016 oleh Sekretaris Permanen Akademi Swedia, Sara Danius, Kamis (13/10), di Stockholm, Swedia. Ketika namanya disebut, berbagai reaksi muncul dari para wartawan yang hadir. Ada yang terkejut, tetapi banyak pula yang bertepuk tangan dan berseru, "Sudah saatnya!"
Danius menjelaskan, Dylan dipilih karena lagu-lagu yang ditulisnya mencerminkan syair tradisi Amerika Serikat (AS). Namun, lagu-lagu itu disampaikan secara modern, lugas, dan menohok permasalahan yang dialami masyarakat AS, bahkan warga dunia. Ia membandingkan Dylan dengan dua pujangga klasik Yunani, Homeros dan Sapfo, yang juga menggunakan musik sebagai alat untuk berkisah.
"Seperti Homeros dan Sapfo, karya Dylan tidak lekang oleh waktu," tuturnya.
Dylan berasal dari keluarga sederhana Yahudi yang bermigrasi ke AS dari Eropa Timur untuk menghindari pembunuhan besar-besaran oleh gerakan anti semitis. Sejak remaja pada pertengahan 1950-an, ia menyukai musik rock serta mengidolakan penyanyi Little Richard dan Elvis Presley. Namun, ia juga suka blues dan country.
Saat itu, musik rock diasosiasikan sebagai ekspresi pembangkangan generasi muda terhadap aturan dan norma yang mapan. Tidak heran, ketika Dylan muda tampil bersama grup rock di SMA-nya, kepala sekolah mencabut colokan pengeras suara karena musik yang mereka mainkan dinilai terlalu bising.
Namun, Dylan tak peduli dengan keberatan semacam itu. Ia terus nge-rock meski diganjar dengan label anak nakal dan pembangkang.
Musik rakyat
Pada 1960, ia memutuskan berhenti kuliah agar bisa fokus bermusik. Periode ini merupakan masa penting bagi Dylan karena secara perlahan ia mulai meninggalkan musik rock dan beralih pada musik rakyat (folk).
Dalam album Biograph (1985), ia menjelaskan alasannya berpindah aliran. "Musik rock saat itu memang ingar-bingar, tetapi liriknya tidak terlalu dalam. Adapun musik rakyat bercerita tentang keluh kesah, masalah yang nyata, tentang ketakutan, kebahagiaan, hingga hal-hal kecil yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari," ujarnya.
Ia mulai mencuri perhatian pada 1961. Wartawan musik surat kabar New York Times, Robert Shelton, pada 29 September 1961 menulis, suara Dylan sebenarnya jauh dari merdu. Namun, kepiawaiannya bermain gitar, harmonika, dan piano serta kemampuannya mengimprovisasi lagu di atas panggung membuktikan pemuda itu sangat berbakat. "Terlebih lagi, ia bisa menyanyikan tragedi dan komedi sosial apa adanya."
Lagu demi lagu lahir dari benak Dylan. Ia seniman yang sangat produktif yang berkarya selama 57 tahun dan menghasilkan 60 album. Lewat lagu-lagunya, ia kadang menertawakan, kadang menangisi berbagai fenomena sosial di AS.
Ia mengkritik sikap konsumtif, sikap tak peduli, dan diskriminasi berdasarkan ras dan kepercayaan. Ia menentang kebijakan politik AS yang dianggap sewenang-wenang. Dari sini, ia dikenal sebagai "Si Tukang Protes".
Coba simak lagi "Blowin' in the Wind" dari album The Freewheelin' Bob Dylan (1962). Dylan sengaja mengambil irama lagu "No More Auction Block" yang merupakan ekspresi kegembiraan penduduk kulit hitam atas kemerdekaan mereka dari perbudakan. "Aku mempertanyakan makna kemerdekaan karena pada faktanya meski kebijakan pemerintah mengatakan semua orang memiliki hak yang sama, ada kelompok yang disisihkan," ujarnya dalam buku The Bob Dylan Encyclopaedia (2006) karya Michael Gray.
Pada tahun-tahun berikutnya, ia semakin terlibat dalam gerakan HAM. Lagu-lagunya semakin bernuansa politis sehingga sering dijadikan tema perjuangan oleh gerakan mahasiswa di AS dan Eropa. Lagu "The Times are A-Changin'" (1963) menyuarakan kemarahan generasi muda tentang masa depan yang tidak pasti. Lagu itu sekaligus bentuk kenyinyiran Dylan pada Perang Vietnam (1959-1975) yang tidak kunjung usai.
"Come mothers and fathers throughout the land ... your sons and daughters are beyond your command," tulisnya. Dylan menggambarkan para orangtua yang harus berpisah dengan anak-anak mereka yang dikirim berperang di negeri orang.
Pengaruh musiknya dirasakan oleh penyanyi dan grup musik seperti Jimi Hendrix, The Beatles, Johnny Cash, dan Velvet Underground. Sementara lirik tajamnya menginspirasi berbagai gerakan HAM di seluruh dunia hingga sekarang.
Kontribusi Dylan memang melewati berbagai zaman, mulai masa Perang Dingin hingga krisis migran sekarang. Bahkan, ketika ia menerima Penghargaan Kesetiaan Berkarya Seumur Hidup pada ajang Grammy 1991, Dylan menyanyikan lagu "Masters of War". Ketika itu tengah berkecamuk Perang Teluk yang dipimpin AS lewat operasi "Desert Storm".
"You that build the big bombs/ you that hide behind the walls/ you that hide behind the desk// I just want you to know/ I can see through your mask (Kamu yang membuat bom/ kamu yang bersembunyi di balik dinding/ kamu yang ada di balik meja// Kamu harus tahu/ aku bisa menerawang topengmu)."
"Para pelaku kekerasan kini justru bukan orang-orang bersenjata, melainkan kaum elite berkerah putih di kantor yang nyaman. Mereka membuat kebijakan yang membawa petaka," tutur Dylan pada harian USA Today, Oktober 2001.
Karya sastra
Lirik Dylan yang sederhana, tajam, dan berdampak kepada publik membuat penyair Inggris, Andrew Motion, berargumen, karya-karya musisi harus dipelajari di perkuliahan sastra. "Puisi bertujuan menggugah perasaan pembacanya. Lirik Dylan tidak hanya menggugah, tapi juga menghasilkan aksi," tulisnya dalam esai yang diterbitkan The Times (2007).
Pada 1997, American Academy of Arts and Letters sebenarnya telah mengusulkan nama Dylan sebagai kandidat penerima Nobel Sastra. Salah satu anggota lembaga itu, yakni Guru Besar Sastra Inggris Universitas Lexington, Gordon Ball, menilai, seni syair selama ribuan tahun bertahan melalui bahasa lisan.
"Dylan mengembalikan penyebaran puisi ke bentuk dasar, melalui napas dan emosi manusia," ujarnya dalam laman komite kampanye Dylan untuk Nobel Sastra.
Dua tahun kemudian, majalah Time menobatkan Dylan sebagai salah satu dari 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia.
Tahun 2016, Dylan akhirnya menerima Nobel Sastra. Penghargaan tersebut kian memantapkan pijakannya sebagai salah satu seniman paling berpengaruh dunia abad ke-21. Dialah tukang protes yang suaranya didengar. (Mic/Salon)
Sumber: Kompas, 15/10/2016
Warung Taru di Bandung
Post by
DSP
Di daerah Dagopakar, Bandung, ada warung terkenal, namanya Wale singkatan dari Warung Lela. Menu andalannya adalah mie baso, selain juga banyak menu lain seperti sop buntut dan sop kaki sapi.
Pemilik Warung Lela ini ialah Leila dan suaminya Hari. Mereka berdua adalah penggemar barang antik dan Hari juga adalah seorang pengelana dengan motor besar.
Kakak dari pemilik warung ini, almarhum Dikot, sekelas dengan kakak saya, Arifin. Adik dari Dikot yaitu almarhum Firman, sekelas dengan saya, dan adiknya lagi, Maratua, sekelas dengan adik saya Ramdan. Sementara Leila adalah adik dari Maratua.
Warung Taru adalah warung baru mereka di daerah Dago Giri, sebelum Dago Pakar. Warungnya tidak terlalu besar, sederhana namun artistik. Lokasinya di pinggir sebuah tebing yang indah. Harganya sangat terjangkau. Top markotop-lah.
Warung Taru
Alamat Warung Taru
Jl. Ir. H.Djuanda, Dago, Coblong, Bandung, Jawa Barat 40198, Indonesia
Telp. 022-2533854
Rumah Tanpa Tembok di Jepang
Seperti apa rasanya tinggal di rumah tanpa tembok? Konsep rumah seperti ini bisa Anda temui di Jepang. Uniknya, walaupun tanpa tembok, privasi kamar tidur, kloset, dan kamar mandi tetap terjaga.
Seperti dilansir laman www.trendir.com, rumah yang disebut bergaya urban glass-walled ini berlokasi di Tokyo. Rumah unik ini sebenarnya lebih cocok disebut sebagai karya seni daripada tempat tinggal. Maklum, jika rumah biasa dibalut tembok, rumah ini dilapisi kaca sehingga terlihat isi dalam rumahnya.
Dominasi kaca
Arsitek di balik rumah ini adalah Sou Fujimoto Architects. Terletak di antara kompleks yang cukup padat, rumah ini terlihat begitu menonjol dibandingkan yang lainnya. Fasad yang digunakan didominasi dinding kaca dengan material rangka berwarna putih. Bagian depan dan sisi bangunan dipisahkan beberapa balkon dengan atap berisi tanaman pot.
Walaupun dipenuhi dinding kaca, ruang privat dikemas secara presisi sehingga tak terlihat dari luar. Denah ruangan dirancang dengan unik. Sang arsitek mengkreasikan setidaknya enam lantai di antara tiga ruang vertikal. Menariknya, hanya ada beberapa pintu formal di antara ruangan. Hasilnya menakjubkan. Sebuah rumah dengan organisasi ruang kompleks yang saling terkoneksi.
Variasi lantai sangat mudah terlihat dari luar. Ada beberapa balkon tanpa pagar yang bisa digunakan untuk bersantai. Tempat ini juga menjadi wadah untuk menaruh aneka tanaman. Konsep desain interior berjenjang membuat rumah memiliki banyak ruang tambahan.
Di bagian dalam rumah, hampir seluruhnya hanya bisa dilalui satu orang. Tiap area dibagi dalam tingkat berbeda. Namun, interior secara keseluruhan mencerminkan satu kesatuan ruang.
Garasi untuk mobil juga dibuat terlihat elegan. Letaknya di dekat pintu masuk. Ukurannya muat untuk satu mobil. Bagian samping garasi diberi elemen pagar berwarna cokelat. Garasi ini dibuat terbuka tanpa adanya pintu pagar dorong.
Jika dilihat sekilas, rumah ini terkesan sempit. Padahal, rumah ini memiliki ruangan yang cukup besar secara vertikal. Setiap ruangan memiliki langit-langit yang tinggi. Ada cukup banyak sudut terbuka. Dari dalam rumah, kita bisa melihat panorama pemandangan seluruh kota dari balik kaca.
Ruang publik
Seperti rumah konvensional pada umumnya, rumah ini memiliki ruang publik, yaitu ruang keluarga dan dapur. Kedua ruangan ini terletak di bagian bawah rumah. Ada juga ruang privat, yaitu kamar tidur yang dibangun di bagian atas rumah. Aneka furnitur dan dekorasi interior dibuat sesuai dengan motif warna rumah yaitu putih. Hal ini bisa dilihat pada penggunaan rak buku dan tangga.
Bagi orang awam, rumah ini mungkin terlihat seperti dibuat dengan abstrak. Padahal, menurut arsitek, setiap bagian rumah memiliki tujuan yang spesifik. Hal ini tergambar di bagian denah rumah. Setiap ruangan ditempatkan dan diukur sesuai kebutuhan tiap tipe ruangan. [INO]
@inojulianto
Sumber artikel: Kompas, 29/9/2016
Sumber gambar: trendir.com
Shiraz, Kejutan Menyenangkan dari Iran
Post by
DSP
Cerita menarik tentang Iran, Negeri Para Mullah dari seorang travel enthusiast, Fabiola Lawalata. Fabiola yang adalah sahabat dari sekretarisku, Luci, telah berkeliling dunia melintasi hampir 100 negara!
--DSP
Oleh Fabiola Lawalata**
Kompas, 07/09/2016
Perjalanan selama dua minggu di Iran mematahkan rumor negeri yang tidak aman dan tidak perlu dikunjungi. Ketika menginjakkan kaki di sana, senyuman hangat tuan rumah dan ucapan "Salam, selamat datang di negeriku" kerap terdengar di mana pun. Tanpa melihat kepercayaan ataupun warna kulit di pendatang. Iran, salah satu lokasi peradaban tertua di dunia, meninggalkan serak jejak bersejarah. Hingga hari ini, tercatat 19 situs yang termasuk dalam daftar Situs Warisan Dunia UNESCO. Salah satunya, Persepolis yang terletak sekitar 60 kilometer dari pusat kota Shiraz.
Foto: Fabiola Lawalata/KOMPAS |
1
Perlahan Iran membuka diri kepada wisatawan mancanegara. Sistem visa visa on arrival atau visa yang dapat dibuat langsung di terminal kedatangan ataupun perbatasan negara membuat Iran mulai "melek" turis.
Satu hal yang penting diingat ketika akan berkelana ke Iran adalah membawa banyak uang tunai dalam bentuk dollar AS atau euro karena kartu kredit dan kartu ATM tidak dapat digunakan di Iran.
2
Pada abad ke-4 SM, Alexander Agung berhasil merebut Persepolis dan menguasainya. Ia kemudian memerintahkan pasukannya membakar dan menghancurkan kota. Konon, alasannya adalah balas dendam karena tentara Persia pernah menghancurkan Athena, walaupun setelah itu Alexander menyesal ketika melihat Persepolis menjadi reruntuhan.
Gaung kejayaan Persepolis pun perlahan tinggal kenangan dan dilupakan. Hingga pada 1930-an dilakukan ekspedisi arkeologi di bawah pengawasan Profesor Ernst Herzfeld dan Erich F Schmidt yang menggali dan menemukan bukti kejayaan yang pernah ada.
3
Makam Saadi, yang dikenal juga sebagai Sa'dy atau Sadiyeh, adalah salah satu obyek wisata utama di Shiraz. Sastrawan Persia yang hidup pada abad ke-13 ini masih dikenang hingga hari ini berkat karya-karyanya yang berhasil menyentuh hati banyak orang di seluruh dunia. Kedalaman ide dalam setiap tulisannya tentang nila-nilai sosial dan moral tidak lekang dimakan waktu. Membuatnya secara luas diakui sebagai salah satu guru besar Sastra Persia klasik.
Karya Saadi yang paling terkenal berjudul Gulistan atau Taman Bunga. Karyanya ini diterjemahkan ke bahasa Prancis pada 1634 dan menjadikan Saadi sebagai penyair Persia pertama yang karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa asing.
Nukilan paragraf yang paling terkenal diambil dari buku Gulistan, ditampilkan di ruang masuk gedung PBB, "Human beings are members of a whole, in creation of one essence and soul. If one member is afflicted with pain, other members uneasy will remain. If you have no sympathy for human pain, the name of human you cannot retain."
4
Shiraz adalah rumah dari Persepolis yang dinobatkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO sejak 1979. Persepolis yang dinobatkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO sejak 1979. Persepolis, yang berarti "Kota Bangsa Persia", didirikan oleh Raja Darius I pada 518 SM. Kota ini menjadi simbol kebesaran Kerajaan Persia Kuno. Dibangun dengan arsitektur megah, rumit, serta dihiasi emas dan perak, Persepolis menjadi tempat untuk menggelar upacara dan perayaan tertentu.
Sumber: pixabay.com |
Bangunan itu juga memperlihatkan relief yang banyak menggambarkan manusia sedang berjalan membawa persembahan untuk sang kaisar. Berbalut pakaian tradisional, ada yang membawa rusa, ada juga yang membawa kotak kecil, yang diyakini berisi batu berharga. Selain relief tentang penghormatan kepada raja, ada pula yang menggambarkan sebuah pertempuran.
5
Apakah Anda menikmati perjalanan dengan menggunakan transportasi kereta atau bus malam? Jika ya, cobalah jasa transportasi umum di Iran ini.
Harga tiket untuk perjalanan antarkota yang jauh dipatok amat murah, bahkan untuk tiket kelas eksekutif. Terminal bus juga sangat nyaman dan calon penumpang antre dengan rapi. Keamanan perjalanan terjamin karena hampir setiap beberapa puluh kilometer dilakukan pengecekan kelayakan oleh staf yang bertugas dan polisi.
Tiket bus dan kereta dapat dibeli di mana saja ketika Anda tiba di Iran. Anda juga bisa meminta bantuan staf hotel tempat menginap, yang siap membantu pemesanan tiket tanpa ada biaya tambahan. Perjalanan antarkota di Iran didominasi panorama padang pasir tanpa batas, pegunungan tandus, dan fatamorgana di kejauhan, membuatnya semakin sulit untuk dilupakan.
6
Sejak Revolusi Islam pada 1979, kaum perempuan di Iran diwajibkan menutup rambut dan tubuh di muka publik. Peraturan ini juga berlaku bagi kaum perempuan dari luar ran. Mengikui syarat ini adalah mutlak jika tidak ingin dikenakan sangsi. Walaupun demikian, Anda masih bisa menjumpai banyak perempuan muda di jalanan Shiraz yang tampil modis, mengikuti tren terkini.
Perempuan Iran, khususnya di kota besar seperti di Shiraz, memang termasuk amat memperhatikan penampilan diri. Bedah kosmetik untuk memperbaiki hidung atau bibir jamak dilakukan. Tak hanya menjadi cara untuk mempercantik diri, hal ini juga menjadi lambang strata sosial mengingat biayanya yang tidak murah. Tren ini menempatkan Iran sebagai negara keempat di dunia yang banyak melakukan bedah kosmetik hidung, setelah Brasil, Meksiko, dan Amerika Serikat, menurut International Society of Aesthetic Plastic Surgery pada 2013.
7
Pasar utama di Shiraz adalah Bazaar-e Vakil. Terletak tepat di pusat sejarah di Darb'e Shahzadeh, dekat Masjid Vakil. Bazar di Shiraz ini telah ada sejak Dinasti Zand, terbuat dari batu bata dengan kubah dinding khas Persia sebagai fitur arsitektur utamanya.
Menelusuri labirin yang menyesatkan, tipikal bazar, membetikkan adrenalin dalam diri. Berbeda dengan banyak bazar yang ada di kawasan Timur Tengah, bazar-bazar di Iran jauh dari desakan para penjual untuk mampir ke tokonya atau membeli barang dagangan mereka. Sebaliknya, mereka senang berpose jika ditawarkan untuk difoto atau sekadar berbincang ringan. Kebanyakan barang yang dijual adalah karpet persia, teh herbal, pernak-pernik rumah tangga, bumbu-bumbu masak beraneka warna, pakaian, dan kerudung.
8
Shiraz terkenal sebagai salah satu pusat budaya dan agama di Iran, diperkaya dengan arsitektur paling spektakuler di negara ini. Salah satunya, Masjid Nasir al-Mulk atau yang disebut dengan Pink Mosque, didirikan atas perintah pemimpin Dinasti Qajar dan selesai dibangun pada 1888.
Sumber: commons.wikimedia.org |
Dari luar, Masjid Nasir al-Mulk terlihat seperti masjid pada umumnya di Iran. Memiliki kubah biru dan fasad dengan warna senada. Namun, cobalah masuk, telusuri ruangan demi ruangan di dalamnya, terutama kala pagi hari, ketika sinar matahari menerobos masuk melalui jendela kaca di sepanjang ruangan.
Sesuai sebutannya, "The Pink Mosque", sinar mentari yang menembus kaca patri itu menciptakan semburat warna-warni cahaya yang cantik. Memberi tampilan dramatis kala berpadu permadani merah khas Persia dan keramik kehijauan khas Persia di langit-langit masjid.
9
Mengunjungi masjid menjadi salah satu bagian utama dari perjalanan mengelilingi Iran. Salah satunya menuju kompleks masjid Shah Ceragh atau Raja Cahaya.
Shah Cheragh sering dimasukkan ke dalam daftar masjid tercantik di dunia. Interior kubah dan tembok masjid dibuat dari potongan kaca beraneka warna dan mozaik yang rumit ditata dengan sempurna. Shah Cheragh wajib didatangi dua kali, yakni pada siang dan malam hari karena saat malam tiba masjid akan tampak sangat berkilau.
**Travel enthusiast | Twitter: @jalan2liburan | Instagram: @jalan2liburan | @kompasklass #pelesir
Info lebih lanjut tentang berburu cinderamata dan dresscode di Iran: jalan2liburan.com
Yazidi
Post by
DSP
Naseema. Perempuan Yazidi ini berusia 45 tahun. Ia mempunyai tiga anak perempuan dan tiga anak laki-laki dari seorang suami. Ia kehilangan hampir semua orang-orang yang dicintainya itu. Naseema kehilangan suaminya, dua putrinya, dan seorang anak laki-laki. Mereka ditangkap oleh orang-orang dari kelompok yang menyebut diri mereka Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Tragedi itu terjadi pada suatu hari di musim panas, dua tahun lalu. Ia tidak tahu, bagaimana nasib orang-orang yang dicintainya itu. Namun, sebagaimana para korban lainnya yang ditangkap NIIS, mereka dibunuh.
"Mereka menangkap kami, putri tertua saya menjerit-jerit. Ia berteriak kepada mereka, 'Saya tak akan pernah pergi bersamamu'," kata Naseema mengenang peristiwa yang menimpa keluarganya. "Setelah mereka menyeretnya ke luar rumah, mereka menutup pintu dan sejak saat itu, putri saya hilang."
Naseema juga ditangkap. Selama lima bulan ia ditawan dalam kondisi yang serba kekurangan, baik air maupun makanan. Baru pada Januari 2015, Naseema dibebaskan dan kemudian tinggal di kamp penampungan pengungsi Kurdi di Dohuk, Irak utara. Di Dohuk ada sekitar 2,1 juta pengungsi. Kisah mengunjungi kamp Duhuk direkam Angelina Jolie, Utusan Khusus UNHCR Urusan Pengungsi, menjadi sebuah film pendek yang antara lain mengisahkan keluarga Naseema.
Film pendek lainnya berisi tentang pembicaraan Jolie dengan Amusha, seorang perempuan Yazidi berusia 58 tahun, yang putrinya bersama lusinan perempuan muda lainnya diculik NIIS. Amusha meyakini bahwa putrinya dibawa ke Raqqa untuk dijadikan budak seks (The Huffington Post).
Naseema dan Amusha, adalah dua dari begitu banyak perempuan Yazidi, dua dari kaum Yazidi yang hidupnya kini penuh penderitaan, menjadi korban keganasan kelompok NIIS. Bukan kelompok minoritas Yazidi yang menjadi korban NIIS tetapi juga kaum minoritas Kristen.
Komunitas Yazidi adalah sebuah komunitas kuno yang tinggal wilayah Irak bagian utara, Turki tenggara, Suriah, dan Iran. Sebagian besar dari mereka berbicara dalam bahasa Kurdi. Jumlah mereka hingga tahun 2014, menurut para ahli Timur Tengah, sekitar 700.000 orang, tetapi ada pula yang menyebut angka 500.000 orang.
Cerita lain mengisahkan, orang-orang selama berabad-abad tinggal di wilayah pegunungan di Irak barat daya, sekitar Sinjar, suatu wilayah yang tidak jauh dengan perbatasan Suriah. Selain di Sinjar, mereka juga tinggal di Mosul-sebelah timur Sinjar-dan Provinsi Dohuk yang dikuasai Kursi. Provinsi Dohuk adalah provinsi di Irak yang paling utara berbatasan dengan Turki.
Mengapa mereka menjadi korban keganasan orang-orang NIIS? Karena keyakinan mereka, karena iman mereka. J Brooks Spector dalam Daily Maverick menulis bahwa keyakinan mereka campuran dari Yudaisme, Islam, Zoroaster, Kristen, dan bahkan kepercayaan animis. Karena kepercayaan "unorthodox" inilah mereka sering disalah mengerti dan dipandang sebagai agama yang menyembah setan.
Avi Asher-Schapiro dalam National Geogrphic News (11 Agustus 2014) menulis, kepercayaan mereka telah berabad-abad menjadi sasaran kebencian. Mereka dianggap sebagai penyembah setan. Karena itu, berulang kali mereka menghadapi bahaya genosida. Yazidisme adalah kepercayaan kuno yang kaya dengan tradisi lisan. Mereka mengombinasikan berbagai sistem kepercayaan yang dalam istilah keagamaan disebut sinkretisme.
Akan tetapi, hingga kini, asal muasal kepercayaan mereka masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa ilmuwan berpendapat bahwa Yazidisme dibentuk ketika seorang pemimpin Sufi, Adi ibn Musafir, bermukim di Kurdistan pada abad ke-12 dan mendirikan sebuah komunitas yang mencampur elemen-elemen Islam dengan kepercayaan pra-Islam.
Mereka mulai dituduh menyembah setan pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17. Pada paruh kedua abad ke-19, orang-orang Yazidi menjadi target, baik para pemimpin Ottoman maupun Kurdi. Menurut Matthew Barber, seorang ilmuwan sejarah Yazidi di Universitas Chicago, orang-orang Yazidi sering mengatakan menjadi korban 72 kali genosida atau usaha pembasmian. "Ingatan akan penganiayaan menjadi komponen identitas mereka," kata Matthew Barber.
Akan tetapi, karena banyak di antara mereka yang berbicara dalam bahasa Kurdi, sering kali mereka bernasib sama dengan orang-orang Kurdi di Irak pada zaman Saddam Hussein. Pada akhir tahun 1970-an, ketika Saddam Hussein melancarkan kampanye Arabisasi brutal terhadap orang-orang Kurdi, ia membumihanguskan desa-desa orang Yazidi. Lalu, mereka dipaksa tinggal di pusat-pusat kota, terputus dari cara hidup mereka di pedesaan. Sadam Hussein membangun kota Sinjar dan memaksa orang-orang Yazidi tinggal di kota itu.
Orang-orang Yazidi percaya akan satu dewa, figur sentral dalam kepercayaan mereka, yakni Tawusî Melek, malaikat yang menentang Tuhan (ada yang menyebutnya sebagai Lucifer atau ada pula yang menyebut sebagai setan). Namun, bagi orang-orang Yazidi, Tawusî Melek adalah kekuatan untuk kebaikan dalam kepercayaan Yazidi. Tawusî Melek berperan sebagai mediator antara manusia dan Ilahi.
Thomas Schmidinger, seorang ahli politik Kurdi di Universitas Wina, mengatakan, saat ini orang-orang Yazidi dianggap sebagai penyembah setan. Barangkali karena itulah mereka menjadi sasaran keganasan dan kebrutalan NIIS, sama dengan orang-orang Kristen di Mosul serta kota-kota lainnya di wilayah Irak bagian utara dan Suriah yang juga menjadi korban NIIS.
Apa yang dilakukan NIIS adalah sebuah bentuk pelenyapan perbedaan dan perampasan terhadap hak-hak individu, hak-hak kaum minoritas. Mereka sama sekali tidak menghargai perbedaan (yang juga masih sering terjadi di negeri ini). Tidak ada lagi kebebasan di sana (juga di sebagian negeri ini). Kebebasan tidak hanya membiarkan "yang lain" berbeda, tetapi juga memberanikan diri untuk berbeda. Keberanian untuk berbeda di negeri ini pun kerap kali mulai digantikan ketakutan; ketakutan akan perbedaan.
Sumber: Kompas, 11/9/2016
Sumber gambar: pixabay.com
Mengatasi Anak Putus Sekolah
Post by
DSP
Kajian Unesco 2012 lalu menyatakan bahwa “Seribu orang Indonesia hanya 1 orang yang membaca”. Dengan Gerakan Ayo Indonesia Membaca (AMIND) kita gerakkan perubahan menjadi “Seribu orang Indonesia hanya 1 orang yang tidak membaca”. Untuk itu, AMIND juga aktif mendorong upaya seperti Akhmad Supriyatna dalam bidang pendidikan dan pengajaran.
--DSP
Ketua Pengawas AMIND, Kemendikbud, Dewi Utama
Faizah, menyerahkan hadiah buku kepada murid SDN Percobaan Palangka Raya saat pencanangan program Ayo Membaca Indonesia (AMIND), Selasa (28/4/15). Foto: PPost/Dewi |
. |
~ o 0 o ~
Mengatasi Anak Putus Sekolah
Oleh Dwi Bayu Radius, Kompas,8/9/2016
Demi menyambung pendidikan remaja kurang mampu di Desa Rancasumur, Kecamatan Kopo, Kabupaten Serang, Banten, Akhmad Supriyatna (49) nekat mendirikan Sekolah Menengah Atas Bina Putera. Ia menggenjot semangat belajar anak muda sembari mempertahankan kepercayaan para penyandang dana. Kini, banyak anak bersekolah, bahkan sebagian melanjutkan kuliah.
Meski berasal dari keluarga bertaraf hidup di bawah rata-rata, murid Sekolah Menengah Atas (SMA) Bina Putera punya banyak prestasi. Saat Kompas mengunjungi SMA itu pertengahan Agustus lalu, piala-piala tampak berderet di rak.
Kebanyakan dari piala tersebut diraih dari kejuaraan olahraga, seperti bulu tangkis, voli, atletik, dan maraton. Para siswa Bina Putera memiliki fisik prima karena terbiasa dengan kegiatan di luar kelas. Kegiatan itu juga yang menempa mereka sehingga memiliki karakter yang matang.
Tidak hanya di bidang olahraga, para murid itu juga kreatif mengembangkan teknologi serta mengolah berbagai produk dan kerajinan. Itu terlihat dari penemuan mereka dalam mengolah tempe hemat energi, mengawetkan tahu secara alami tanpa formalin, memanen kangkung, dan menjahit. ”Banyak teman ngeledek, Bina Putera itu SMA atau SMK (sekolah menengah kejuruan)? Saya menyebutnya kampung belajar,” ujar Supriyatna sambil tersenyum.
Jumlah murid Bina Putera sekitar 260 orang. Semangat sebagian remaja di Kopo untuk belajar sebenarnya termasuk rendah. Kondisi tersebut menciptakan dilema. Remaja putus sekolah akan lontang-lantung, berisiko terjerumus narkoba, hingga terlibat kriminalitas.
”Di sini budayanya, ngapain sekolah? Saya harus yakinkan mereka, sekolah itu bermanfaat. Ketika sudah masuk sekolah, saya harus menjaga semangat mereka,” katanya. Di sisi lain, mereka yang masih ingin melanjutkan pendidikan terbentur ketidakmampuan membayar iuran sekolah.
”Kata orang, remaja di sini tidak siap bersekolah, tetapi kalau dibiarkan, mereka akan menghabiskan energi dengan kegiatan yang tidak konstruktif,” ucapnya.
KOMPAS/DWI BAYU RADIUS |
Rasa memiliki yang kuat terhadap lingkungannya membuat Supriyatna merasa bertanggung jawab untuk mengentaskan remaja putus sekolah. ”Tugas murid hanya belajar. Mencari biaya sekolah dan pihak yang mau membantu adalah tugas kami,” ucapnya.
Biaya yang dibutuhkan dari setiap murid agar sekolah bisa beroperasi sebesar Rp 350.000. Jika orangtua murid dikenai biaya sebesar itu, mereka tak akan mampu membayarnya. Iuran yang ditarik hanya Rp 50.000 per bulan dan tidak pernah naik sejak SMA Bina Putera didirikan pada 2003.
”Kami sudah survei. Kalau lebih dari itu, orangtua berat membayarnya. Itu pun kalau mampu. Kalau mereka minta dibebaskan dari biaya, kami carikan donatur,” ucapnya.
Gundah
Pembentukan SMA Bina Putera berasal dari kegundahan orangtua dan lulusan sekolah menengah pertama setempat yang ingin melanjutkan pendidikan. Jarak SMA terdekat berada di Kecamatan Jawilan, Kabupaten Serang, sekitar 10 kilometer. Tidak ada angkutan umum ke SMA itu.
Sekolah lain, yakni SMA di Rangkasbitung, ibu kota Kabupaten Lebak, Banten, berjarak 17 kilometer. Transportasi publik yang tersedia hanya kereta. ”Muncul ide, mengapa tidak mendirikan SMA saja. Waktu itu, saya masih tinggal di Bogor (Jawa Barat),” katanya.
Ternyata, pengelola SMP setempat menaruh harapan kepada Supriyatna. Dia mulai mewujudkan keinginan itu. Sekolah didirikan di lahan hibah dari masyarakat. ”Lahan seluas 1 hektar dititipkan kepada saya. Jadi, saya tidak bisa lari,” ucapnya.
Berkat jaringan pertemanan, Supriyatna mengenal anggota komunitas sepeda motor besar. Dia berhasil meyakinkan anggota komunitas itu untuk berkunjung ke lahan tersebut. ”Kebiasaan mereka, kalau berkunjung ke suatu daerah, pasti mengadakan bakti sosial,” ucapnya.
Mereka datang dengan berkonvoi dan menyumbang Rp 43 juta. Selanjutnya, beberapa anggota komunitas sepeda motor besar menanyakan kemajuan pembangunan sekolah dan memberikan sumbangan lagi. Uang yang terkumpul digunakan untuk membangun tiga kelas.
Sekolah pun dimulai dengan 38 murid saja. Sesekali, mereka ikut membantu membersihkan lahan yang sebelumnya masih berupa hutan. Kiprah Supriyatna menarik BRI. Dia diminta menyelesaikan pembangunan SMA Bina Putera. Donatur lain memberikan 20 kambing untuk dikembangbiakkan dan dijual.
Reputasi yang bisa dijaga membuat Bina Putera mendapatkan sumbangan Rp 150 juta lagi untuk membeli lahan. Luas SMA itu bertambah menjadi 3,5 hektar sejak tahun 2010. Pemerintah Kabupaten Serang juga memberikan bantuan untuk membangun dua kelas baru tahun 2011 dan dua kelas lagi tahun 2012.
Jarak SMA Bina Putera dari Kota Serang hanya 44 kilometer, tetapi kondisi infrastruktur membuatnya cukup terpencil. Akses dari jalan raya ke SMA itu masih berupa jalur tanah berbatu. Kemacetan dan perbaikan jalan membuat perjalanan dengan kendaraan pribadi harus ditempuh hingga dua jam.
Mandiri
Namun, berbagai keterbatasan itu justru memicu murid-murid SMA Bina Putera menjadi mandiri. Mereka antara lain menjadi petugas kebersihan, penjaga toilet, dan resepsionis. ”Kami tak punya uang untuk membayar cleaning service (petugas kebersihan). Maka, murid-murid diberdayakan,” ucapnya.
Dia bersyukur, di tengah kekurangan pun, Bina Putera masih meraih penghargaan sekolah dengan indeks integritas penyelenggaraan ujian nasional yang tinggi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2015. Sejumlah murid juga berhasil diterima di perguruan tinggi negeri.
Tahun 2016 ini, misalnya, 2 murid diterima di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto, 1 orang di IAIN Salatiga, 4 orang di IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Serang, dan 2 murid diterima tanpa tes di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Serang.
Perguruan tinggi negeri lain yang dapat ditembus murid-murid Bina Putera adalah Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Supriyatna masih membantu hingga lulusan Bina Putra benar-benar bisa kuliah dengan lancar.
”Untuk ukuran kampung, mereka sangat memberikan harapan. Kalau mereka kuliah, saya harus cari dana. Saya menjembatani mahasiswa dengan donatur,” katanya. Donatur kemudian langsung berkomunikasi dengan lulusan Bina Putera. Mahasiswa-mahasiswa itu juga diupayakan mendapatkan beasiswa.
”Ketika kami pantau, lulusan Bina Putera bisa bersaing. Ada yang meraih IPK (indeks prestasi kumulatif) 3,5,” ucapnya.
Padahal, sebelum mendirikan SMA Bina Putera, Supriyatna tak menyukai profesi guru karena nasib sebagian guru memprihatinkan. ”Jadi, saya kualat. Teman-teman juga meledek. Orang biasanya ke kota, saya malah pulang kampung,” katanya sambil tertawa.
Penghuni Laut Gorontalo
Post by
DSP
Gorontalo selalu mendapat tempat di hati saya. Di sanalah alm. Jusuf Panigoro, ayah dari sebelas anak dilahirkan pada tanggal 5 Mei 1920. Tepatnya di Kampung Potanga.
Kalau Banda Aceh dikenal sebagai Serambi Mekkah, maka Gorontalo dikenal sebagai Kota Serambi Madinah. Julukan lain bagi Gorontalo adalah Bumi Para Sastrawan, karena di sini lahir para tokoh sastrawan, seperti Hans Bague Jassin, dan juga pakar bahasa Jusuf Syarif Badudu.
--DSP
Penghuni Laut Gorontalo
Oleh Irene Barlian*
Terbentang di sepanjang pantai utara Teluk Tomini, Sulawesi Utara, Gorontalo merupakan surga alam bawah laut yang tersembunyi. Kekayaan hayati serta keanekaragaman terumbu karang dan makhluk laut memenuhi perairan yang terletak persis di garis khatulistiwa ini. Uniknya, di kota yang terkenal dengan sebutan "Kota Serambi Madinah" ini, belasan ekor hiu paus muncul. Penduduk Desa Botubarani, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, terkejut dengan datangnya munggiango hulalo, sebutan penduduk lokal terhadap salah satu jenis ikan terbesar di dunia tersebut. Mereka berdansa dengan anggun di tengah laut Gorontalo yang eksotis.
Seorang warga dari desa Botubarani bersiap untuk memberi makan para hiu paus. Hanya dengan mengetuk perahu beberapa kali, ikan-ikan ini mulai berdatangan. Hiu paus dengan ukuran antara 3 higga 7 meter berenang di bawah perahu dengan anggunnya. Di Borubarani, sisa ampas udang digunakan sebagai pakan ikan yang dikenal memiliki rasa ingin tahu yang tinggi ini.
Berinteraksi dan berenang bersama hiu paus merupakan salah satu fenomena yang unik. Namun, raksasa yang memiliki karakteristik jinak dan ramah ini dikategorikan dalam hewan yan terancam punah dan dilindungi. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui dan mengingat aturan-aturan yang diberlakukan ketika berinteraksi dengan hewan ini.
Berlimpahnya sumber makanan menjadi faktor utama munculnya segerombolan hiu paus ke pesisir selatan Gorontalo. Sebelumnya, diketahui bahwa memang ada beberapa hiu paus di perairan Sulawesi, khususnya Gorontalo. "Namun, mereka tidak berkumpul seperti ini," seru Yunis, seorang penyelam asal Gorontalo. Kesempatan langka ini juga tidak dilewatkan oleh penggemar diving. Mereka berbondong-bondong datang untuk menyelam bersama raksasa yang terkenal ramah ini.
Dilihat dari ukuran ikan hiu paus, diketahui bahwa ikan hiu ini termasuk dalam kategori yang belum dewasa. Meskipun memiliki tubuh yang besar, faktanya ikan ini hanya memakan plankton atau ikan-ikan kecil. Namun, nelayan setempat mengatakan bahwa ikan hiu paus di Botubarani memuntahkan kembali ikan kecil yang tidak senagaja termakan.
Seorang turis menikmati keindahan alam bawah laut di Pulo Cinta. Resor dengan konsep ramah lingkungan ini berdiri dengan mewah di antara pulau-pulau di Teluk Tomini. Akses menuju pulau yang memiliki pasir berbentuk hati di porosnya ini relatif mudah. Hanya dengan berkendara selama dua jam dari pusat Gorontalo menuju Kabupaten Boalemo, dilanjutkan dengan perjalanan selama 15 menit menggunakan kapal cepat. Menikmati kekayaan biota laut seraya menghidupkan kembali hubungan manusia dengan alam menjadikan tempat ini permata di tengah keunikan Gorontalo.
Rhincondon typus, nama ilmiah dari hiu paus, sedang berenang di bawah perahu para nelayan. Awalnya, raksasa laut ini bermunculan karena adanya aliran limbah pencucian udang dari pabrik setempat yang dibuang ke pantai. Limbah yang mengandung sari dan kulit udang itu mengundang ikan hiu untuk datang.
Suasana pagi hari di pesisir pantai Desa Botubarani. Para wisatawan dapat menyewa kapal yang disediakan oleh warga atau langsung berenang dari bibir pantai untuk dapat bertemu dengan raksasa ini. Salah satu ikan paus yang sering muncul di Botubarani diberi nama Sherly oleh para penduduk setempat. Jika beruntung, para pelancong bahkan dapat bertemu dengan 8 hingga 10 ekor hiu paus dalam satu waktu.
Taman Laut Olele dapat diakses melalu perjalanan darat ataupun laut. Letaknya yang berada tepat di garis khatulistiwa menjadikan perairan ini dipenuhi oleh makhluk laut yang unik serta bunga karang raksa. Salvador Dali adalah koral khas Gorontalo yang hanya dapat ditemukan di perairan ini. Bentuknya yang menyerupai lukisan "L'enigma Del Desiderio" oleh pelukis terkenal Salvador Dali menjadi asal-muasal nama koral ini.
Selain di Gorontalo, fenomena bertemu dengan ikan hiu paus ini dapat ditemukan di Papua, Kalimantan Timur, Jawa Timur, dan Aceh. Namun, mudahnya akses dan kepastian untuk dapat melihat hiu paus menjadikan wisata ini populer dalam jangka waktu yang cepat. tidak perlu menunggu lama untuk dapat melihat raksasa laut di Gorontalo ini.
*Photographer | Twitter: @irenebarlian | Instagram: @irenebarlian | @kompasklass #pelesir
Sumber: Kompas, 10/8/2016
Subscribe to:
Posts
(
Atom
)