Melacak Leluhur Melalui Makanan

Makanan bukan hanya soal kebutuhan badan. Makanan juga menjadi identitas. Identitas sebuah suku, sebuah komunitas, hingga bangsa. Tak mengherankan apabila makanan juga menjadi salah satu ciri eksistensi masyarakat. Kehadiran makanan bisa menjadi tanda kehadiran sebuah bangsa. Namun, masih sangat sedikit orang yang mencari keberadaan bangsa atau leluhurnya melalui makanan.

Salah satu dari sedikit orang yang mencari leluhurnya melalui makanan itu adalah Koo Siu Ling. Kematian ibunya yang meninggalkan buku resep bertulis tangan membuatnya penasaran. Perasaan ini diakuinya tidak muncul saat ia sibuk dengan pekerjaan dan kesehariannya. Namun, begitu ia melihat buku-buku itu, pikirannya melayang dengan banyak pertanyaan.

KOMPAS/ANDREAS MARYOTO

Menulis buku resep makanan sudah banyak dilakukan beberapa kalangan. Namun, menulis buku resep yang memiliki kisah di balik resep-resep tersebut masih sangat langka di Indonesia.

Koo Siu Ling, peranakan Tionghoa yang tinggal di Belanda, melacak sejarah nenek moyangnya melalui menu makanan mereka serta buku resep warisan ibunya dan juga kerabatnya hingga ia menemukan kehidupan peranakan Tionghoa Jawa Timur dulu dan sekarang.

Ling kecil yang lahir tahun 1939 di Kota Malang, Jawa Timur, dididik ibunya yang seorang guru. Ia mengaku dalam kehidupan mereka sehari-hari resep makanan diperkenalkan sejak dini.

Kini, ia menerbitkan resep-resep makanan ibu dan kerabatnya dalam sebuah buku berjudul Culture, Cuisine, Cooking, an East Java Peranakan Memoir. Buku ini ditulis dengan bantuan Paul Freedman, seorang profesor Sejarah Chester D Tripp di Universitas Yale, Amerika Serikat.

Kisahnya berawal saat ibunya meninggal, ia menemukan buku-buku resep makanan yang sudah lama ditulis tangan ibunya. Ling juga mencari buku-buku resep makanan milik kerabatnya.

Buku resep itu ada yang bertahun sekitar 1930. Kadang ditulis dalam bahasa Belanda, kadang Mandarin, dan kadang Jawa. Ada juga bahasa Hokkian yang merupakan warisan leluhurnya.

Dengan membaca buku resep makanan tersebut, ia melihat bahwa Tionghoa peranakan menyerap dan mengadopsi masakan Belanda dan Jawa. Di dalam buku itu, terlihat adopsi masakan tersebut, mulai dari galantine dan kue dari Belanda serta sate dan rawon yang diadopsi dari Jawa.

”Ini buku masak mama saya. Tulisannya masih bagus. Ada beberapa bahasa di dalamnya. Ada bahasa Belanda, bahasa Jawa, bahasa Mandarin, dan ada bahasa Indonesia,” kata Ling sambil memperlihatkan buku setebal 5 sentimeter yang antara lain berisi tulisan tangan ibu dan familinya.

Motivasi menerbitkan buku tersebut awalnya adalah keinginan agar anaknya bisa membaca buku resep itu. Ia berpikir jika buku tersebut tidak dibukukan, resep ini akan hilang. Ibunya menulis resep mulai akhir 1920-an sampai tahun 2000.

Satu ciri yang unik, di setiap resep tidak pernah diberi ukuran bahan. Akibatnya, setiap mencoba resep itu Ling harus menanyakan ke kenalannya.

”Saya memperhatikan buku itu setelah ibu meninggal tahun 2000. Dulu buku ini kan tidak dianggap. Beberapa tahun sesudahnya saya melihat itu. Saya tahu buku tersebut tidak boleh dibuang. Lama masih tersimpan di lemari hingga saya mulai mengetik ulang. Tidak ada amanah untuk tidak dibuang, tetapi saya mengerti dan waktu kecil saya mengerti buku itu dan saya tahu buku itu lebih berharga dibandingkan dengan buku-buku yang lain,” tuturnya.

Bolak-balik ke Malang

Apakah Anda pernah mencoba resep di dalam buku tersebut?

”Iya. Saya harus pergi ke Malang untuk mencoba resep itu. Saya masih bertemu dengan pembantu tante saya yang umurnya sekitar 70 tahun, dan ada juga saudara saya yang pintar masak. Saya bolak-balik (ke) Malang sejak tiga tahun yang lalu,” kata Ling.

Ia mengaku tidak pernah mencoba masakan itu di Belanda karena di dalam buku tersebut tidak ada ukuran bahan-bahan dalam resep, selain karena sulit mencari beberapa bahan makanan.

”Saya baru mengerti, melalui buku ini kalau makanan itu bukan sekadar makanan, melainkan juga kebudayaan dan sejarah. Karena itu, makanan harus ditaruh dalam konteks sejarah. Dari masakan ini, sekarang saya mengerti sejarah orang Tionghoa di Indonesia, khususnya di Jawa Timur,” tuturnya.

Banyak makanan yang merupakan pencampuran budaya Jawa, Tionghoa, hingga Belanda dalam resep-resep di buku itu. Ia menyebut antara lain kehadiran petis dan juga cwie mie di Jawa Timur menjadi penanda pengaruh etnis Tionghoa di Jawa Timur.

Saat menulis buku itu, sesuatu yang menyulitkannya adalah mencari data tentang makanan, sejarah, dan beberapa rempah. Ia harus mencari di sejumlah perpustakaan.

Ling mengaku, kalau tidak menemukan data yang benar, ia tidak berani menulis mengenai makanan itu. Untuk menyelesaikan bukunya, Ling membutuhkan waktu empat tahun. Buku tersebut terdiri dari tiga bahasa, yaitu bahasa Inggris, bahasa Belanda, dan bahasa Indonesia.

”Saya memilih tiga bahasa karena, dengan bahasa Inggris, jangkauannya akan lebih luas. Ada bahasa Belanda agar orang Belanda bisa baca buku ini. Saya masih tetap merasa sebagai orang Indonesia, karena itu harus dengan bahasa Indonesia. Lidah saya masih Indonesia meski bahasa saya kurang bagus,” kata Ling terkekeh.

Ketika dipuji bahasa Indonesianya masih bagus, ia kembali tersenyum.

”Wah bahasa Indonesia saya sudah setengah mati. Di keluarga saya berbahasa Belanda. Waktu di Indonesia belum stabil, saya dikirim ke Belanda. Waktu kecil saya juga belajar bahasa Jawa. Isih ngerti,” katanya. Ia mengaku meski lama berada di luar negeri seleranya masih terpelihara.

”Karena lidah saya sebenarnya tertinggal di sini. Logat Jawa saya juga masih keluar. Kadang bahasa Jawa juga masih keluar,” katanya. (ANDREAS MARYOTO)


Sumber: Kompas, 10/1/2016

No comments :