Dewi Kanti tumbuh dalam lingkungan tertindas secara politik. Lewat kecapi suling dan tembang, ia berjuang menunjukkan bahwa tak semestinya manusia saling meniadakan.
Dewi menggambarkan semangat kesetaraan itu lewat tembang ”Gandrung Gunung”.
Tuh itu bentang di langit
baranang pating garenclang
bentang teh silih corongan
najan teu sarua caang
nu herang jeung nu teu herang
bentang teu pacaang caang
tapi luyu sauyunan
wayah unggah bareng miang
nu gede jeung anu leutik
siloka pikeun manusa
ngumbara di alam dunya
ulah rek pakia kia.
Itulah petikan tembang yang dinyanyikan Dewi Kanti. Lagu tersebut menyuarakan isi hati Dewi, juga para pemegang ajaran Sunda Wiwitan, bercerita tentang bintang di langit yang bervariasi ukuran dan pendarnya, tetapi tidak pernah saling menafikan. Mereka bersama-sama menyinari alam raya, luyu sauyunan. Itulah semangat perjuangan perempuan kelahiran Bandung, 40 tahun lalu ini.
Dewi Kanti (KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ) |
Anak bungsu dari pasangan Emalia Wigarningsih (73) dan Rama Djatikusumah (83) ini memahami betul ajaran-ajaran leluhur yang sarat dengan kearifan lokal tersebut karena sejak bayi bersinggungan langsung dengan seni tradisi. Pada masa kecil, ia kerap direbahkan di atas karpet ketika ayah dan ibunya, sering kali juga bersama warga lain, memainkan kecapi suling dan menembang. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi tentang makna-makna tembang.
Denting kecapi, liuk suara suling, dan kelembutan tembang mengantar Dewi tidur, menempel dalam ingatan hingga merasuk ke dalam alam bawah sadar. Hingga, ketika usia 8 tahun, dia meminta diajari memainkan kecapi, suling, dan tembang.
Awalnya itu sebagai kesenangan belaka. Hingga suatu saat, ketika Dewi tengah memainkan kecapi suling, seorang pendengar menitikkan air mata. ”Dia orang Batak, dan tiba-tiba menangis. Katanya, dia ingat kampung halaman,” kata Dewi yang membiarkan rambut sebahunya terurai.
Ia mendapatkan penjelasan bahwa kecapi yang mengandung unsur kayu dan logam pada dawainya tersebut melahirkan harmoni dan gelombang. Vibrasi atau getaran gelombang itu mampu menyentuh alam bawah sadar pendengarnya dan menggali kesadaran lama tentang jati diri. ”Kecapi suling seperti mengingatkan bahwa kita harus mencari jati diri,” begitu Dewi memaknainya.
Dewi memasuki tahap bermain kecapi, suling, dan tembang untuk mengolah rasa, menggali makna di balik setiap harmoni yang ia hasilkan. Lebih jauh lagi, kecapi, suling, dan tembang adalah wahana untuk berkomunikasi dengan alam, juga manusia.
Itu misalnya terjadi saat perpisahan sekolah dasar di Cigugur, Kabupaten Kuningan, Dewi memainkan suling di hadapan para teman dan gurunya. Ia tak ingat lagi reaksi penonton. Yang jelas, setelah mengalunkan melodi lewat suling itu, dia merasa energinya bertambah, semakin percaya diri, lebih hidup, dan bersemangat. Sebagai orang yang kerap menjadi korban diskriminasi, mendapat kesempatan tampil di depan merupakan kemewahan. ”Itu sapaan, ketika kita menyapa alam dengan musik yang kita mainkan, energi akan menambah kepada kita.”
Alat kontemplasi
Musik bagi Dewi juga menjadi alat kontemplasi. Saat dadanya sesak oleh amarah atas keadaan, dia menembang untuk menstabilkan emosi.
Ketika mengunjungi situs Candi Gayatri, di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, Dewi memainkan kecapi. Tak ada lagu khusus yang dia mainkan, hanya mengikuti dorongan dalam diri dan menghasilkan harmoni. Pada titik itulah dia merasakan betapa alam sebenarnya dapat menyapa balik karena tiba-tiba tiupan angin menjadi lebih lembut, hawa lebih sejuk.
Bunyi atau nada tersebut terekam oleh alam sepanjang masa. Harmoni melintas ruang dan waktu, demi terjaganya keseimbangan alam. Baginya, musik adalah bahasa universal yang melintas suku bangsa.
Dewi tak akan pernah melupakan peristiwa pada 2014 ketika dia menjadi salah satu penerima Australia Award Fellowship dalam program Indonesian Women Human Rights Defender di Queensland University of Technology, Brisbane. Suku asli Australia, Aborigin, yang dia jumpai, menjaga jarak dan seolah curiga. Dewi dapat memahami itu karena mereka adalah kelompok minoritas yang lama tertindas, sebagaimana yang dialami Dewi beserta penganut Sunda Wiwitan di Jawa Barat.
Dewi lantas mengungkapkan bahwa dia berniat baik, ingin menjalin persahabatan. Jika diizinkan, dia akan memainkan suling. Setelah harmoni suling sunda terdengar, orang-orang aborigin itu menebar senyum. Gugur sudah seluruh praduga tadi.
Alat perjuangan
Dewi menyebut diri sebagai seniman tradisi, bukan seniman panggung. Ketika cara-cara legal formal membentur dinding ketidakmengertian, dia mencari jalan memutar, jalan budaya.
Sebagai salah satu dari anak yang lahir di lingkungan Sunda Wiwitan, Dewi akrab dengan beragam tekanan. Itu juga dialami anak-anak Sunda Wiwitan di sekolah dasar yang kerap diperlakukan diskriminatif oleh para guru dan temannya. ”Ini utang peradaban yang harus dibayar negara,” kata Dewi.
Dewi termasuk salah satu orang yang rajin berkomunikasi dengan sejumlah kelompok minoritas lain, seperti Ugamo Malim dan Parbaringin di Sumatera Utara serta Sedulur Sikep di Jawa Tengah, untuk saling menguatkan dan tidak menyerah dalam mempertahankan kebinekaan.
Sekitar dua tahun lalu, kelompok Sedulur Sikep menentang pembangunan pabrik semen karena mereka anggap akan menghancurkan lingkungan, juga kelestarian ajaran leluhur. Dewi datang memberi sokongan. Dia memainkan kecapi dan menembang di hadapan kelompok Sedulur Sikep.
Pada kesempatan lain, sebuah perusahaan berniat masuk ke Gunung Ciremai demi kepentingan ekonomi. Kelompok Sunda Wiwitan menolak. Mereka datang ke gunung dan memainkan kecapi suling sebagai suntikan energi perlawanan.
Dunia aktivis itu pula yang mempertemukannya dengan Okky Satrio (50) yang kini menjadi suaminya. Okky terbiasa memberikan advokasi kepada orang-orang kecil sejak zaman Orde Baru. Dia belasan kali disetrum aparat.
Meskipun bukan seniman panggung, Dewi tidak menolak jika sesekali diundang pentas, seperti saat berkolaborasi dengan dua seniman musik Tiongkok Klasik di Yayasan Habibie & Ainun, akhir bulan lalu. Ini bagian dari strategi budaya untuk memperkenalkan kearifan Sunda Wiwitan.
Katanya, menjadi perempuan itu harus mancala putra, mancala putri. Ada saatnya harus keras, ada saatnya harus lembut. Dia juga memegang prinsip sunda teuas peureup lemes usap, menjadi manusia harus kuat memegang prinsip, tetapi berperilaku lembut.
Sumber: Kompas, 27/12/2015
No comments :
Post a Comment