Memperkaya Jiwa di Negeri Jauh

Orang-orang ini melakukan perjalanan untuk memperkaya jiwa. Di negeri-negeri asing yang mereka datangi, destinasi wisata tenar tak selalu jadi tujuan. Adakalanya, lanskap pemandangan, keriuhan pasar tradisional, atau sekadar bangku taman kota di negeri-negeri itu memberi kesan tak terlupa.



Melakukan perjalanan sudah menjadi kebutuhan bagi Fabiola Lawalata. Kini, ia menjelajah dunia bersama suaminya, Yvan De Maerschalck, yang berkebangsaan Belgia. Fabiola telah berkeliling ke 73 negara di Eropa, Asia, Amerika Latin, Afrika, Australia, negara-negara Karibia, dan 13 negara bagian Amerika Serikat.

Bagi Fabiola yang juga seorang penulis lepas dan travel blogger, kebutuhan untuk melakukan perjalanan berada pada tingkat prioritas jauh lebih tinggi daripada mobil mewah atau vila, misalnya. "Hidup terlalu singkat untuk tidak kita gunakan melihat dunia sebanyak mungkin. Ketika perjalanan memberi makna bagi kehidupan, itu berubah dari sekadar keinginan menjadi kebutuhan," ujarnya.

Kegemaran Fabiola melakukan perjalanan bermula dari ayahnya yang seorang pelaut. Ketika Fabiola masih kecil, ayahnya kerap mengirimi ia kartu pos dari negara-negara yang sering disebut di Dunia dalam Berita, acara berita yang ditayangkan TVRI sejak akhir 1970-an. Bagi Fabiola, nama atau gambar negara-negara itu seperti mantra yang kemudian mendorongnya menginjakkan kaki di sana. Belakangan, dia bertemu dengan Yvan yang juga gemar melakukan perjalanan. Delapan tahun lalu mereka menikah. Kini, berdua mereka mengarungi dunia.

Fabiola menemukan kesan mendalam, antara lain, ketika ia berada di negara-negara pecahan Uni Soviet. Di Georgia dan Armenia, misalnya, ia seperti kembali ke masa lampau. Kendaraan kuno milik Soviet, bermerek Lada, masih banyak ia temukan meramaikan jalan, berdampingan dengan mobil-mobil modern.

Warga setempat kadang terlihat bersikap dingin, tetapi bukan berarti tidak ramah. Bagi mereka, tamu harus dihormati. Sedikit senyuman sang tamu akan mengubah wajah dingin itu menjadi lebih hangat. "Saya meninggalkan hati saya di Georgia dan Armenia. Suatu saat saya akan kembali lagi ke sana," ujarnya.

Di negara-negara eks Uni Soviet itu, banyak hal kecil yang bisa cukup merepotkan. Misalnya, perjalanan harus dilakukan dengan persediaan uang tunai yang cukup karena ATM dan kartu kredit kerap tak bisa digunakan. Wisatawan di Uzbekistan juga diwajibkan menyimpan kuitansi setiap transaksi yang dilakukan, termasuk saat masuk dan keluar hotel. Lembaran kuitansi dan registrasi yang lalai disimpan bakal menyusahkan si wisatawan keluar dari negara itu.

Toh, kerumitan birokrasi seperti itu tidak mengurangi keelokan negeri-negeri eks Uni Soviet ini di mata Fabiola. Bahasa setempat yang tidak ia pahami pun tidak menjadi masalah baginya. "Selama kita masih bisa berkomunikasi dengan bahasa tubuh, tidak masalah," ujarnya.

DSP bersama Febby dan Yvan, di kediaman DSP, 12 Maret 2013

Nyaman sendiri

Nadya Natasha (20), mahasiswi Jurusan Sastra Belanda, Universitas Indonesia, juga gemar melakukan perjalanan sejak 2013. Kebiasaan mandiri, tak banyak bergantung pada orang lain dalam kehidupan sehari-hari, membuat ia mampu mengatasi tantangan dalam perjalanan seorang diri. Walau awalnya sempat khawatir, Nadya segera menemukan kenyamanan sendiri dalam perjalanan.

Pertengahan tahun lalu, misalnya, Nadya melakukan perjalanan ke Tibet. Bencana gempa yang melanda membuatnya mendadak harus mengubah rute. Meski begitu, ia tetap ke Tibet.

Rencana perjalanan dan persiapan fisik bagi Nadya adalah hal penting. Ia banyak membaca tentang tempat-tempat yang akan didatanginya. Bahkan, kadang Nadya sudah tahu jalan-jalan di kawasan yang akan ia kunjungi sebelum tiba di sana. Itu berkat kegemarannya membaca peta.

"Aku sudah tahu trik-trik menyusun itinerary, juga cara mengestimasi pengeluaran dan waktu perjalanan. Untuk persiapan fisik, setidaknya lebih rutin lari menjelang perjalanan panjang. Itu penting agar badan tidak kaget capek karena harus banyak jalan kaki dengan membawa bawaan berat. Apalagi, kalau destinasinya memiliki perbedaan cuaca ekstrem dibandingkan dengan tempat asal kita," ujarnya.

Demi kelancaran perjalanan, Nadya juga disiplin terhadap diri sendiri. Ia ketat mematuhi rencana anggaran dan jadwal perjalanan. Ia juga waspada menjaga barang bawaannya. "Dari foto-foto, orang cuma melihat enaknya doang dari traveling. Padahal, it's a lot more than just having fun. Lebih serius dari itu," ujar Nadya yang rajin menabung uang jajan bulanan dan uang hasil kerja untuk biaya perjalanan.

Bagi Nadya, setiap tempat yang pernah ia datangi dan setiap perjalanan memiliki kesan dan daya tarik yang berbeda-beda. "Misalnya, menurutku, Pulau Weh di Aceh berkesan karena suasananya yang tenang. Flores penuh kejutan dan sangat indah. Tibet berkesan karena pemandangan lanskap yang luar biasa," katanya.

Di setiap perjalanan, ia selalu bertemu orang-orang-baik warga setempat maupun sesama turis-yang berkesan. Berbagi cerita dengan mereka memberi Nadya pengalaman, pengetahuan, sekaligus lingkup pergaulan baru. Tak sedikit dari kenalan baru di perjalanan yang sampai kini masih berhubungan dengannya lewat media sosial atau surat elektronik.

Penikmat

Doty Damayanti (39) juga seorang penikmat perjalanan. Pekan lalu, ia baru kembali dari perjalanan 14 hari ke tujuh kota di empat negara: Roma, Florence, Venesia, dan Milan di Italia; Paris di Perancis; Madrid di Spanyol; serta Tangier di Maroko. Sebagian perjalanan itu ia lakukan bersama seorang teman, sebagian lagi dilakukan sendirian. Ia memang bertekad mengisi liburan setiap tahun dengan petualangan baru.

"Internet sekarang sudah memudahkan kita menentukan rute dan menyusun agenda perjalanan yang nyaman sekaligus efisien, enggak mahal," ujar karyawati perusahaan migas ini. Doty lebih suka menyusun sendiri rencana perjalanannya daripada mengikuti paket tur wisata yang banyak ditawarkan. Tahun lalu, misalnya, ia bepergian sendiri mengunjungi tiga kota di Iran, yakni Shiraz, Isfahan, dan Teheran.

Di setiap tempat yang ia kunjungi, Doty amat tertarik mengamati gaya hidup dan beragam budaya. Demi merasakan denyut jiwa sebuah kota, ia pun rajin menelusuri pasar-pasar tradisional, taman kota, museum, atau situs bersejarah. "Kota-kota di Iran, misalnya, ternyata punya banyak taman kota dan ruang publik yang luas dan bagus," ujarnya.

Dari perjalanan yang ia tempuh, Doty juga menyadari betapa banyak persepsi keliru dibicarakan orang tentang suatu kawasan, negeri, bahkan bangsa. "Aku juga percaya, sebenarnya tidak ada bad luck dalam suatu perjalanan. Semua kesulitan akan jadi pengalaman yang memberi pelajaran," ujarnya. (MHF/DOE/DAY)

Sumber: Kompas, 3/1/2016

Sumber gambar: pixabay.com


No comments :