Michelle Siswanto Menjemput Biola




 


Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta membuat Michelle Siswanto pada usia 12 tahun diterbangkan ke Los Angeles, Amerika Serikat. Ia pergi seorang diri. Ketika melanjutkan pendidikan di sana, Michelle tidak tahu-menahu soal seni, tetapi diwajibkan memilih satu bidang keahlian seni. Ia pun memilih biola. Michelle berangkat ke Los Angeles tanpa berbekal sedikit pun pengetahuan tentang bermain biola. Dari kedua orangtua atau dari sekolah di Jakarta, ia tidak pernah sekali pun belajar cara bermain biola.



Di Los Angeles, Michelle belajar di sekolah menengah selama enam tahun. Pada 2004, ia harus kembali ke Tanah Air dan melanjutkan kuliah di Universitas Pelita Harapan, Tangerang, Banten.
Pada tahun pertama kuliah, Michelle mengikuti anjuran orangtuanya untuk mengambil pilihan studi manajemen. Di tahun berikutnya, Michelle memutuskan beralih ke jurusan musik hingga menuntaskan jenjang S-1 pada 2008.
Saat menempuh pendidikan tinggi itulah, dia memperoleh kesempatan memperdalam keahliannya bermain biola. Akhirnya, ia tumbuh menjadi seorang pemain biola yang patut diperhitungkan.

Di Los Angeles, Michelle seakan menjemput biola. Di Tanah Air, ia mewarnai dunia musik dengan berkiprah memainkan alat musik gesek ini. Konser demi konser dijalaninya. Begitu pula ketika harus tampil solo, penampilan Michelle memukau penonton.

Ada prestasi yang sulit digapai oleh siapa pun. Sejak 2009 sampai sekarang, Michelle menduduki posisi penting untuk sebuah kelompok orkestra. Ia dipinang Jakarta Concert Orchestra dengan konduktor Avip Priatna sebagai concertmaster.

Menyusul kemudian pada 2010, Michelle juga dipinang menjadi concertmaster bagi Twilite Orchestra dengan konduktor Addie MS sampai sekarang.

Michelle menjadi concertmaster perempuan pertama di Indonesia. Posisi ini termasuk penting di sebuah orkestra karena menjadi penghubung antara konduktor dan para pemain musiknya.

Saat ini, Michelle menjadi concertmaster dua kelompok orkestra besar, yaitu Jakarta Concert Orchestra dan Twilite Orchestra. Sebelumnya, posisi ini, seperti konduktor, banyak diisi musisi laki-laki.

Memetik pelajaran
Kemahiran Michelle memainkan biola memang menarik. Akan tetapi, jauh lebih menarik ketika melihat kisah awal perjalanannya belajar biola di Los Angeles. Mungkin kita bisa memetik banyak pelajaran dari dirinya. ”Ketika terjadi kerusuhan Mei 1998 itu saya melihat dari rumah kami, beberapa toko dibakar. Kami semua panik. Orangtua segera mengirim saya terbang untuk menyelamatkan diri ke Amerika,” kata Michelle, Rabu (7/9/2022), di Jakarta.

Setiba di Los Angeles, Michelle ditampung saudara-saudara sepupu yang sedang menempuh studi di sana. Ada tiga sepupu Michelle yang sedang kuliah di sana.
Michelle kemudian mendaftar sekolah setingkat SMP di kelas 7. Untuk semua mata pelajaran biasa tidak ada masalah, tetapi ada masalah untuk pilihan wajib di bidang seni atau olahraga. Michelle kebingungan untuk memutuskannya.

Pilihan jatuh pada biola. Pertimbangannya sederhana, alat musik biola kecil dan mudah dibawa ke mana saja. Tidak dinyana, ternyata ada kondisi yang memaksa Michelle harus belajar cepat atas pilihan tersebut.

Ketika itu, di awal Juni, diberitahukan bagi siswa yang memilih kurikulum biola akan pentas konser audisi pada bulan September. Michelle kelabakan. Ia menyampaikan masalah ini kepada kedua orangtuanya di Jakarta melalui telepon.

Beruntunglah, kedua orangtuanya memberikan solusi. Michelle segera mendapati seorang pelatih biola bernama Johnny Nam dari The Los Angeles Philharmonic. Johnny warga keturunan Korea yang lahir dan besar di Los Angeles, tetapi sama sekali tidak pernah tahu tentang Indonesia. Johnny hanya mengenal Asia, bukan negara-negara yang ada di Asia.

Pada pertemuan awal, Johnny Nam terkejut bukan kepalang. Ia tidak menyangka kalau Michelle tidak bisa membaca notasi musik. Akan tetapi, dalam waktu dekat Johnny dibebani target, yakni mengajari Michelle agar bisa tampil bermain biola untuk sebuah konser audisi di sekolahnya.

Johnny kemudian mengenalkan cara belajar biola yang sederhana. Michelle dikenalkan metode Suzuki. Ini seperti cara mengajar bayi bicara, yakni dengan cara mengajak untuk menirukan saja. Membaca notasi musik diajarkan sambil berjalan di kemudian hari.
Bermusik dengan mengandalkan telinga akan jauh lebih penting daripada dengan membaca yang mengandalkan mata. Begitu kata Johnny Nam, yang diingat Michelle.

”Di bulan pertama, saya hanya diajarkan memegang biola secara natural. Jari kiri mengikuti gerak tangan kanan yang menggesek dawai biola. Ini menjadi brain gym (senam otak),” ujar Michelle.

Michelle kemudian memberikan daftar lagu yang harus dimainkan pada saat konser audisi nanti. Johnny Nam lalu memperagakan permainan biola dan meminta Michelle menirukannya. Dengan tekun, ia mengikuti semua yang diajarkan Johnny.

Suatu ketika ada latihan bersama menjelang konser audisi di sekolahnya. Michelle mempunyai pengalaman melakukan suatu kesalahan. Di saat terhenti sejenak, Michelle kemudian masuk lebih cepat. Ia menggesek biolanya lebih cepat dari tempo yang semestinya.

Sontak, teman di sebelahnya berbisik mengingatkan Michelle.

Seusai latihan, Michelle bercakap-cakap dengan temannya tadi. Ia berusaha jujur dengan mengatakan sesungguhnya ia belum bisa membaca notasi musik yang dimainkan.

”Teman saya kaget sekali kalau saya sebenarnya belum bisa membaca notasi musik bermain biola,” ujar Michelle.

Ia bercerita, ada perbedaan sikap antara orang Amerika dan Indonesia mengenai hal ini. Ketika mengakui suatu kekurangan, kecenderungan orang Indonesia bakal menertawakannya. Akan tetapi, orang Amerika lebih mampu berempati dan memberikan dukungan atas kekurangan tersebut.

Melalui perjuangan yang tak mudah, Michelle akhirnya bisa lulus audisi pada September 1998. Waktu demi waktu dilalui. Sepulang dari sekolah sekitar pukul 15.00, Michelle berlatih di rumah. Batas waktu latihan di rumah hanya sampai pukul 18.00 ketika sepupu-sepupunya sudah mulai kembali dari kuliahnya. Malam harinya, Michelle tidak pernah berlatih untuk menjaga ketenangan di rumah.

”Ketika berlatih di rumah, saya melakukan di sela-sela mengerjakan PR atau pekerjaan lainnya secara bergantian. Ini lebih efektif dibandingkan dengan memilih sepanjang waktu tertentu untuk berlatih,” kata Michelle.

Setiap hari ia juga harus membawa biola untuk berlatih konser di sekolah. Itu berlangsung hari demi hari hingga Michelle lulus di tingkat SMA atau kelas 12.

Setelah lulus SMA, sepupu-sepupunya juga selesai kuliah dan meninggalkan Los Angeles. Michelle tidak bisa tinggal sendirian di rumah. Ia memutuskan untuk kembali dan melanjutkan kuliah di Indonesia.

Melalui perjuangan yang tak mudah, Michelle akhirnya bisa lulus audisi pada September 1998. Waktu demi waktu dilalui. Sepulang dari sekolah sekitar pukul 15.00, Michelle berlatih di rumah. Batas waktu latihan di rumah hanya sampai pukul 18.00 ketika sepupu-sepupunya sudah mulai kembali dari kuliahnya. Malam harinya, Michelle tidak pernah berlatih untuk menjaga ketenangan di rumah.

Belajar mandiri

Michelle tumbuh di tengah keluarga di Jakarta yang mengembangkan bisnis sendiri dan usaha ayahnya sebagai kontraktor pengembang perumahan. Itulah sebabnya, mengapa Michelle dituntut untuk kuliah manajemen.

”Waktu itu, Mama saya bilang, kalau sudah belajar manajemen bisa untuk bekerja di tempat orang lain. Kalau tidak diterima, bisa bekerja di tempat usaha keluarga sendiri,” kata Michelle. Ia menambahkan, mamanya juga menyampaikan, kalau belajar musik mau mendapatkan pekerjaan dari mana, mengamen?

Pada tahun kedua, Michelle memutuskan pindah jalur dari manajemen ke jurusan musik. Dengan keputusan itu, mamanya memberikan tenggat lulus yang sama, yaitu 2008. Kalau tidak, Michelle harus membayar sendiri uang kuliahnya.

Dari sinilah Michelle tergerak untuk belajar mandiri. Semasa kuliah, ia memberikan les bahasa Inggris dan main biola di rumahnya. ”Mengamen” di suatu hotel di Karawaci, Tangerang, pun pernah ditempuhnya. Pertama kali ”mengamen” selama satu jam bermain biola di hotel, ia pernah dibayar Rp 200.000. Michelle senang.

Michelle berhasil lulus kuliah tepat waktu tahun 2008. Ia lalu mengajar di Konservatori Musik Universitas Pelita Harapan dari tahun 2008 sampai 2014. Setahun sebelumnya, pada 2013, Michelle pernah dipilih sebagai satu-satunya pemain biola asal Indonesia untuk bergabung bersama Palestine National Orchestra.

Di sepanjang perjalanannya antara 2008 dan 2014, Michelle malang melintang di dunia konser bersama pemusik-pemusik terkenal, seperti Avip Priatna, Addie MS, Erwin Gutawa, Andi Rianto, Aminoto Kosim, Dian HP, dan Widya Kristianti.

Michelle tidak berkehendak menggapai ketenaran, tetapi ia ingin berbagi tentang pengalaman hidupnya. Kerusuhan Mei 1998 sebuah malapetaka besar. Dari peristiwa itu ia harus ”kabur” ke Amerika Serikat seorang diri pada usia belia, 12 tahun.

Justru di negeri orang itulah Michelle kemudian mendapat sistem pendidikan menengah yang lebih baik. Pengembangan di bidang seni dan olahraga menjadi kurikulum wajib di Amerika. Itu berhasil mengantarkan Michelle menjadi musisi dan pemain biola andal di Tanah Air.


Michelle Siswanto
Lahir: Jakarta, 18 November 1986
Pendidikan terakhir: Jurusan Musik, Universitas Pelita Harapan, Tangerang, Banten (2004-2008)
Pekerjaan:
- Direktur Michelle Siswanto Violin Studio (2008-sekarang)
- Concertmaster untuk Jakarta Concert Orchestra (2009-sekarang)
- Concertmaster untuk Twilite Orchestra (2010-sekarang)
- Konsultan musik di Jakarta Intercultural School (2020-2021)
- Mengajar di Konservatori Musik Universitas Pelita Harapan (2008-2014)

No comments :