Iravati M Sudiarso |
Pianis Berbela Rasa Itu Telah Pergi
Dalam bermusik, Iravati juga tak melupakan karya komposer nasional dan mendorong murid-muridnya memainkan (juga menyanyikan) karya putra bangsa serta menulis komposisi bagi mereka yang berbakat di segi ini, seperti Marisa Sharon Hartanto.
Ira, lulusan Peabody Conservatory of Music, Baltimore, Maryland, AS (Bachelor, 1963) dan Master (1964), telah mewarnai perjalanan musik (klasik, utamanya piano) di Tanah Air. Bukan saja murid-muridnya yang kehilangan, melainkan juga masyarakat Indonesia yang mencintai seni musik dan budaya pada umumnya.
Wisata Kesehatan
Wisata kesehatan Indonesia berpotensi dikembangkan. Namun, tidak cuma pelayanan di rumah sakit, wisata kesehatan juga bisa diwujudkan dalam infrastruktur wisata lain seperti hotel dan restoran.
Bila ada kesempatan saya sering berwisata dengan keluarga. Kami sering berwisata di dalam negeri saja, jika keluar negeri hanya ke negara tetangga. Saya suka wisata alam, istri saya suka menikmati wisata budaya, sedangkan anak lebih menyukai wisata petualangan karena mereka memang sedang dalam usia remaja. Belakangan ini saya mengikuti informasi tentang wisata kesehatan. Indonesia ternyata juga berminat mengembangkan wisata kesehatan. Di beberapa tujuan wisata akan didirikan rumah sakit modern bekerja sama dengan luar negeri. Diharapkan wisatawan akan tertarik datang ke Indonesia tidak hanya untuk menikmati negeri kita yang indah, namun juga karena layanan kesehatan yang modern dan nyaman. Untuk mendirikan suatu rumah sakit modern apalagi yang menarik wisatawan asing tentulah tidak mudah. Bukan hanya peralatan kedokteran yang harus maju, namun kemampuan tenaga kesehatannya juga perlu bertaraf internasional.
Setahu saya, Rumah Sakit Bumrungrad di Bangkok berhasil menarik pasien dari negara di kawasan timur tengah. Mereka biasanya berobat ke Amerika Serikat. Mereka cukup mampu untuk membiayai ongkos berobat yang cukup mahal. Namun, setelah peristiwa 9 November 2001, runtuhnya Gedung WTC karena ditabrak pesawat, perlakukan yang diterima warga Timur Tengah kurang ramah. Mereka akhirnya berobat ke Bangkok yang tak kalah mutu layanannya namun mendapat sambutan yang ramah. Di rumah sakit Bumrungrad juga disediakan penerjemah Bahasa Arab dan bahasa asing lainnya. Rumah sakit Bumrungrad menjadi terkenal dan didatangi pasien di kawasan ASEAN serta yang juga banyak adalah pasien dari Timur Tengah.
Kita sering meributkan banyaknya warga Indonesia yang berobat keluar negeri. Mereka merasa lebih yakin dan lebih nyaman berobat di luar negeri meski biayanya jauh lebih mahal daripada di Indonesia. Salah satu alasan mereka berobat ke luar negeri adalah dokter di luar negeri bersedia memberi penjelasan panjang lebar, sedangkan dokter di Indonesia kurang banyak bicara. Apakah keadaan ini disadari oleh kalangan profesi kesehatan di Indonesia, apakah sudah ada perbaikan sikap dokter yang berpraktik, dan juga pelatihan keterampilan komunikasi pada mahasiswa apakah sudah diutamakan?
Saya melihat pemahaman kita tentang wisata kesehatan perlu diperluas. Wisata kesehatan hendaknya tidak diartikan sebagai wisata mencari pengobatan. Wisata kesehatan merupakan upaya untuk lebih sehat fisik dan jiwa. Pemahaman ini menjadikan sasaran untuk mereka yang akan berwisata kesehatan bukanlah hanya orang sakit, namun yang lebih banyak adalahorang sehat. Mereka berwisata ke Indonesia, menyaksikan pemandangan yang indah, budaya yang beraneka ragam, kelezatan kuliner Nusantara yang beraneka ragam, namun juga akan merasakan bahwa setelah berwisata mereka akan merasa lebih sehat, segar, dan siap untuk kerja yang produktif. Bagaimana pendapat Dokter tentang usulan saya ini? Terima kasih.
J di B
Dalam pendidikan kedokteran kita, mata ajaran komunikasi dokter pasien menjadi mata ajaran yang diutamakan.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), kesehatan bukan hanya bebas dari penyakit, tetapi sehat jasmani, jiwa, dan sosial. Jadi, saya setuju dengan usul Anda. Pemahaman wisata kesehatan juga mengacu pada pedoman WHO tersebut. Menarik wisatawan asing berobat ke Indonesia merupakan upaya yang penting. Upaya ini menunjukkan bahwa dunia kesehatan kita mampu bersaing dengan negara lain. Keyakinan ini tentu juga akan mengurangi arus warga negara kita yang berobat ke luar negeri.
Sebenarnya, sebagai seorang dokter yang sudah berpraktik lebih dari 50 tahun dan telah mengunjungi berbagai rumah sakit di luar negeri, saya merasakan layanan rumah sakit kita tidak ketinggalan. Dalam era kemajuan informasi teknologi sekarang ini dunia telah terasa sempit. Obat baru yang digunakan di luar negeri dalam waktu yang tak terlalu lama sudah tersedia juga di Indonesia. Contoh, vaksin Covid-19 baik yang ditemukan di Inggris, Amerika Serikat, dan Cina dalam hitungan bulan sudah dapat kita gunakan diIndonesia. Bukan itu saja, bahkan kita juga sekarang sudah dapat membuat sendiri vaksin Covid-19 tersebut.
Harus diakui, dokter di luar negeri menyediakan waktu lebih banyak untuk berkomunikasi dengan pasien dan keluarga. Kalangan profesi kedokteran kita menyadari hal tersebut. Dalam pendidikan kedokteran kita, mata ajaran komunikasi dokter pasien menjadi mata ajaran yang diutamakan. Kita berharap para dokter dan mahasiswa kedokteran sekarang semakin menyadari pentingnya komunikasi yang baik dengan pasien dan keluarga. Komunikasi tersebut akan membantu dalam menegakkan diagnosis, menjalani terapi, maupun dalam mencegah penyakit.
Perlu juga kita sadari situasi kita mungkin agak berbeda dengan di luar negeri. Di Indonesia, saya di poliklinik perlu melayani sekitar 30 sampai 40 pasien sehari. Saya pernah mendapat kesempatan bekerja di poliklinik sebuah rumah sakit di Australia. Saya mendampingi dokter Australia yang sedang berpraktik. Mereka memulai poliklinik pukul 09.00 dan istirahat pukul 12.00 siang. Pasien yang dilayani 5 orang. Jadi setiap pasien mendapatjatah sekitar 30 menit lebih. Setelah makan siang, pukul 13.00 poliklinik dibuka lagi sampai pukul 15.00. Pasien yang ada 4 orang. Pukul 15.00 sampai 16.00 merapikan semua laporan pasien yang harus direkam di rekam medis komputer. Dokter tak perlu terburu-buru dalam melayani pasien bahkan sempat juga berbincang tentang hal di luar masalah kesehatan seperti kesulitan parkir, dll.
Di poliklinik rumah sakit di Indonesia jumlah pasien jauh lebih banyak. Jika layanan seperti di Australia diterapkan, banyak pasien yang tak dapat dilayani pada hari yang sama dan harus menunggu lama untuk dapat berkonsultasi dengan dokter. Meski waktu lebih singkat, para tenaga kesehatan memang harus menyadari pentingnya komunikasi dokter-pasien dan melibatkan pasien dan keluarga dalam proses diagnosis maupun terapi.
Wisata kesehatan seperti yang Anda usulkan perlu dijabarkan dalam layanan wisata kita. Setiap hotel sebaiknya punya alat timbangan berat badan di kamar, bahkan juga menyediakan alat pengukur tekanan darah di tempat-tempat tertentu. Fasilitas jalan kaki di taman hotel, kolam renang, dan gimnastik harus tersedia. Transportasi darat, laut, dan udara menjaga dengan baik unsur keselamatan serta pencegahan kecelakaan. Minuman menyambut tamu yang disediakan merupakan minuman yang sehat tak terlalu manis. Mungkin sudah waktunya juga kita memperkenalkan minuman jamu kita.
Di restoran hotel, makanan yang disajikan memenuhi unsur kesehatan. Makanan tak mengandung gula, garam, dan lemak yang berlebih. Restoran hotel juga menyediakan menu khusus untuk tamu yang menyandang penyakit tertentu. Wisatawan usia lanjut bukan hanya mendapat perhatian dan diprioritaskan, tetapi juga dijaga keselamatannya. Risiko jatuh pada wisatawan usia lanjut harus ditekankan.
Orang yang berwisata ke Indonesia hendaknya juga mendapat pengalaman yang menyenangkan tidak hanya di hotel dan daerah tujuan wisata, namun dalam kehidupan keseharian kita. Penyakit-penyakit yang menyebabkan wisatawan ragu ke negeri kita seperti demam berdarah, diare, dan rabies harus kita kendalikan. Kita jadikan Indonesia negeri yang minimal risiko penularan penyakit. Jadi wisata kesehatan tidak hanya bermanfaat bagi wisatawan mancanegera, tapi juga bagi masyarakat kita.
Ratusan Arsip Pribadi Soedjatmoko Dipamerkan
Pemikir Soedjatmoko (1922-1989) senang mengumpulkan arsip, sementara istrinya, Ratmini Gandasubrata, rajin menatanya. Arsip-arsip yang selama ini tersimpan lantas dipamerkan ke publik di kediaman mereka di Menteng.
Lebih dari 250 arsip pribadi Soedjatmoko (1922-1989), seorang pemikir dan diplomat, akan dipublikasi di pameran ”Membaca Soedjatmoko dari Rumah dan Ingatan” pada 10-14 Januari 2023. Arsip itu diharapkan dapat menjadi referensi untuk memaknai sejarah Indonesia dan pemikiran Soedjatmoko dalam konteks masa kini.
Pameran berlangsung di kediaman Soedjatmoko yang telah ditinggali selama 68 tahun, Jalan Tanjung Nomor 18, Menteng, Jakarta Pusat. Dulu, rumah itu kerap menjadi tempat diskusi banyak pihak, termasuk aktivis dan mahasiswa di era 1960-an, salah satunya Soe Hok Gie.
Putri Soedjatmoko, Kamala Chandrakirana, mengutarakan, arsip-arsip Soedjatmoko selama ini dirawat dan disimpan oleh ibunya, Ratmini Gandasubrata. Arsip tersebut ada di lemari penyimpanan selama bertahun-tahun dan tidak dibuka. Arsip baru dibuka saat ada inisiatif memperingati 100 tahun Soedjatmoko. Peringatan berlangsung sejak 2022 hingga sekarang.
”Kami menemukan ada banyak tulisan. Ada juga surat (Soedjatmoko) denganAgus Salim pada tahun 1946. Kertasnya sudah rapuh, tapi itu dirawat dan ditata oleh ibu kami, Ratmini,” kata Kamala yang juga aktivis HAM di Jakarta, Senin (9/1/2023).
Arsip-arsip yang dipamerkan beragam, seperti kartu identitas wartawan Soedjatmoko di periode 1951-1957. Soedjatmoko pernah menjadi wartawan harian Pedoman dan majalah Siasat, serta terdaftar sebagai anggota Persatuan Wartawan Indonesia.
Beberapa kartu identitas Soedjatmoko, seperti paspor dan kartu tanda pengenal diplomatik, juga dipajang. Soedjatmoko semasa hidup dikenal sebagai diplomat andal. Pada usia 25 tahun, ia menjadi salah satu perwakilan Indonesia di sidang Dewan Keamanan PBB pada 1947. Ia hadir bersama Sutan Sjahrir, H Agus Salim, Sumitro, dan Ch Thambu.
Pada usia 45 tahun, Soedjatmoko ditunjuk menjadi anggota Tim Delegasi Indonesia pada Sidang Umum PBB. Setelah Indonesia resmi jadi anggota PBB, Soedjatmoko menjadi Deputi Kepala Perwakilan tetap Indonesia di PBB, merangkap jabatan sebagai konselor politik di kedutaan besar di AS (Kompas, 24/10/1966).
”Peringatan 100 tahun (Soedjatmoko), bagi kami anak-anaknya, menjadi penemuan kami dan perkenalan baru lagi dengan ayah kami,” kata Kamala.
Kebudayaan
Pameran ini juga memuat arsip, foto, dan rekaman suara saat Soedjatmoko diundang Dewan Kesenian Jakarta untuk memberi ceramah politik kebudayaan pada 22 Mei 1972. Soedjatmoko saat itu menjabat sebagai Penasihat Bidang Sosial-Budaya Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Adapun Soedjatmoko, yang kerap dipanggil Bung Koko, juga seorang pemerhati kebudayaan.
Esainya soal tujuan pembangunan ada pembeda. Pertama, ia menonjolkan posisi manusia di pembangunan. Kedua, soaltempat kebudayaan di pembangunan.
Salah satu gagasannya adalah bahwa kebudayaan menjadi bagian tidak terpisahkan dari pembangunan. Dulu, pembangunan dimaknai sebatas pertumbuhan ekonomi. Menurut Soedjatmoko, pembangunan mestinya menyeluruh.
Gagasan itu berkembang hingga sekarang. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) pun memiliki semangat yang sama dengan gagasan Soedjatmoko.
”Esainya soal tujuan pembangunan ada pembeda. Pertama, ia menonjolkan posisi manusia di pembangunan. Kedua, soal tempat kebudayaan di pembangunan. Ada pula kata kunci yang disebutkan berkali-kali esainya, yaitu tentang perlunya pendidikan,” kata Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid.
Kurator pameran, Esha Tegar Putra, memaparkan, Soedjatmoko adalah sosok dengan pemikiran yang melampaui zamannya. Di masa ia hidup, Soedjatmoko sudah bicara soal krisis pangan, krisis global, ancaman kerusakan bumi, hingga pentingnya berinvestasi ke pendidikan dan kesehatan anak.
”Mungkin dulu ada juga yang bicara soal ini di Indonesia. Tapi, Soedjatmoko berupaya menarasikan isu ini di tulisan-tulisannya,” ucap Esha. ”Dia tidak hanya bicara soal situasi politik dan diplomasi negara, tetapi juga banyak hal di luar itu,” ujarnya menambahkan.
Selain itu, pameran ini menampilkan surat-surat Soedjatmoko dengan Sutan Sjahrir dan Soebadio pada 1962-1965. Ada juga arsip saat ia menerima Ramon Magsaysay Award pada 1978, kiprah Soedjatmoko saat muda dan proses diplomasi yang ia jalani pada 1940-1960, hingga kiprahnya di sektor pendidikan, antara lain saat menjadi rektor di Universitas PBB, Tokyo, Jepang.
Adapun pameran arsip Soedjatmoko berlangsung secara terbatas. Publik bisa berkunjung secara gratis setelah mendaftarkan diri secara daring.
Negara Kesejahteraan
Berjuang Zaman Orde Baru |
Sejak lama sudah terjadi dialektika gagasan membangun negara kesejahteraan. Banyak negara yang membangun sistem kesejahteraan berbeda-beda. Apakah Indonesia masuk dalam kategori negara kesejahteraan?
Pada dasarnya setiap negara, sistem pemerintahan, ideologi, dan model ekonomi pada dirinya ada cita-cita untuk menyejahterakan rakyat.
Bagaimana cara menyejahterakan rakyat bisa berbeda, tetapi itu semua tak mengesampingkan fakta bahwa kesejahteraan rakyat itu sudah jadi bagian dari negara, sistem pemerintahan, ideologi, dan model ekonomi.
Perseteruan ideologi yang terjadi sejak zaman pertengahan sebetulnya menggambarkan bagaimana cita-cita menyejahterakan rakyat itu akan dilaksanakan, apakah melalui sistem ekonomi pasar atau melalui perangkat negara yang mengelola perekonomian.
Pilihan mengenai bagaimana cara menyejahterakan rakyat itu dilakukan pasti membawa implikasi berbeda dalam pelaksanaan dan hasil yang diperoleh karena di sini ada faktor efisiensi dan produktivitas mungkin saja berbeda. Bertahun-tahun perdebatan ini dijalankan sambil secara tradisional dan ad hoc penyejahteraan rakyat itu dilakukan. Di sini paham bantuan (assistance) dan kedermawanan (charity) sering beririsan.
Sistem kesejahteraan
Di Eropa, perdebatan ini cukup tajam dan meluas serta terdokumentasi dengan lengkap.
Norwegia, misalnya, dikenal sebagai salah satu ”negara kesejahteraan” yang berhasil mendapatkan inspirasinya dari apa yang disebut sebagai social policy seperti yang diuraikan oleh Lord Beveridge di Inggris, sekitar 130 tahun lalu.
Namun, perdebatan dan terjemahan dari social policy yang kemudian menjelma menjadi sistem kesejahteraan (welfare system) baru secara serius dimulai seusai Perang Dunia II.
Proses ini berlangsung lama sampai tahun 1970 dan masih terus berkembang, tetapi bisa dikatakan bahwa sejak 1970-an sistem negara kesejahteraan ini mulai menemukan bentuknya.
Proses ini menemukan bentuknya setelah melalui berbagai krisis dan penghematan (retrenchment). Dalam tataran ideologi, kita menyaksikan lahir dan menguatnya paham social democracy yang pada sejarahnya membuktikan dirinya sebagai bagian dari sistem negara kesejahteraan itu dan hadir sebagai dua sisi dari satu mata uang.
Negara-negara Eropa memang terbelah dua, yaitu negara-negara yang menganut sistem ekonomi pasar (kapitalistik) dan negara-negara yang perekonomiannya dikendalikan negara (state command economy).
Secara sederhana, kita bisa menyebutkan bahwa Eropa terbelah antara negara liberal-kapitalistik dan negara sosialis-komunistik. Walau dikotomi ini juga tak sepenuhnya akurat, untuk menyederhanakan perdebatan, kedua terminologi itu digunakan. Dalam kedua sistem ekonomi ini, kalau kita runut secara teliti, kita akan melihat program atau sistem untuk menyejahterakan rakyatnya, tentu dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Kita bisa belajar dari sistem negara kesejahteraan di Eropa Barat, khususnya Skandinavia, yang dianggap lebih maju dan responsif. Negara-negara Eropa Barat bisa dikatakan termasuk kelompok negara kapitalistik, tetapi dalam sistem kapitalistik ini tumbuh sistem kesejahteraan, dan karena itu muncul istilah welfare capitalism.
Tentu di sini ada varian-varian yang berbeda, seperti di Jerman di mana muncul apa yang disebut social market economy. Di Belanda, Spanyol, Portugal, dan Italia, kita akan menemukan beberapa warna lokal karena kondisi obyektif yang ada di negara-negara itu.
Pada dasarnya, perbedaan itu lebih pada penekanan dan prioritas program, tetapi bisa dikatakan tujuan dasarnya tetap sama: kesejahteraan rakyat.
Thomas Bahle, Jurgen Kohl, dan Claus Wend menulis buku berjudul Welfare State yang menggarisbawahi bahwa pada dasarnya semua perbedaan dan perubahan yang terjadi tak mengesampingkan fakta bahwa secara umum pranata inti negara (institutional foundation) kesejahteraan di Eropa telah terbentuk dan diterima sebagai realitas masyarakat, sudah stabil dan terkonsolidasi.
Kita bisa belajar dari sistem negara kesejahteraan di Eropa Barat, khususnya Skandinavia, yang dianggap lebih maju dan responsif.
Bahle dkk mengatakan bahwa the welfare state is both an element and a product of modernization related to industrialization and the rise of both the nation-state and democracy (negara kesejahteraan merupakan elemen sekaligus produk dari modernisasi yang terkait dengan industrialisasi dan kebangkitan negara-bangsa dan demokrasi).
Hak kesejahteraan rakyat yang pertama dan utama muncul adalah pensiun dan pelayanan kesehatan, karena kedua hak ini dianggap sebagai utama dalam mempertahankan eksistensi manusia yang manusiawi, tangguh, dan produktif.
Belakangan muncul apa yang disebut sebagai family policy yang perdebatannya sangat panjang karena akan berkaitan dengan hak perempuan (jender), kesetaraan, pengasuhan anak (childcare), dan sebagainya.
Dalam perjalanannya, kita akan menemukan perdebatan yang berkaitan dengan social security yang bisa saja tafsirnya juga tak sepenuhnya sama. Dalam konteks kekinian, pastilah perluasan family policy ini akan mencakup juga hak-hak mereka yang kita kenal sebagai LGBT.
Di Eropa Barat, saya tak melihat banyak friksi soal ini walau ada saja ketegangan yang kita bisa baca dalam berita-berita yang sifatnya anekdotal.
Dalam perkembangannya, kita melihat bahwa tanggung jawab negara yang menjadi provider dalam mewujudkan hak kesejahteraan ini belakangan sebagian sudah dilimpahkan kepada korporasi yang misalnya menyediakan private pensions.
Dalam konteks pelayanan kesehatan (healthcare), kita juga melihat keterlibatan korporasi cukup signifikan atau ”terlalu signifikan” kalau kita melihat Amerika, misalnya, di mana pengelolaan asuransi kesehatan melibatkan banyak sekali perusahaan asuransi.
Perlawanan terhadap universal health di Amerika adalah karena perusahaan asuransi kesehatan tak mau melepaskan posisinya sebagai induk semang kesehatan publik meski di sini ongkosnya sangat mahal.
Dalam praktiknya, kita akan melihat model pemenuhan kewajiban ini digantungkan pada prinsip general flat rate pension atau dikaitkan dengan pekerjaan, seperti di Jerman yang menjalankan ”asuransi sosial wajib” (compulsory social insurance) yang dikaitkan dengan tanggung jawab perusahaan.
Di negara-negara Skandinavia, pajak penghasilan sangat tinggi dan ini ditambah lagi dengan pajak lain.
Apakah ini cukup? Jawabnya tidak. Dalam perjalanan, kita akan melihat berbagai hak kesejahteraan dilembagakan, seperti tunjangan bagi mereka yang menganggur (unemployment insurance), disability insurance, dan sebagainya.
Bagaimana semua ini dibiayai? Ini menjadi persoalan menarik dan menantang. Di negara-negara Skandinavia, pajak penghasilan sangat tinggi dan ini ditambah lagi dengan pajak lain.
Namun, dibandingkan negara-negara lain di Eropa Barat, negara-negara Skandinavia dikenal sangat menempatkan ”hak-hak kesejahteraan” ini di urutan pertama dan utama. Karena itu, kalau dilihat persentase cakupan hak kesejahteraan dan dana yang disediakan dari keuangan negara (anggaran), negara-negara Skandinavia bisa dibilang sangat signifikan.
Negara Eropa Barat lain yang menyediakan anggaran belanja hak kesejahteraan cukup signifikan adalah Jerman, Inggris, Perancis, Belgia, dan Belanda.
Seharusnya semua hal di atas dilihat juga dalam perspektif hak, bukan perspektif bantuan. Hak kesejahteraan itu adalah entitlement walau di beberapa negara disebut sebagai benefit.
Hak kesejahteraan itu bukan bantuan atau assistance. Di negara demokratis dalam perspektif kesejahteraan seharusnya tak ada istilah assistance. Yang ada adalah entitlement.
Indonesia dan negara kesejahteraan
Apakah Indonesia masuk dalam kategori negara kesejahteraan? Kalau membaca sila kelima Pancasila bahwa negara bertujuan menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, kita mengarah pada negara kesejahteraan.
Kalau kita membaca UUD 1945, bukan hanya Pasal 33, kita mengarah pada negara kesejahteraan. Namun, apakah kita sebuah negara kesejahteraan? Kita mesti membedah sistem sosial ekonomi kita yang tak sepenuhnya konsisten dan koheren.
Todung Mulya Lubis, Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Norwegia dan Republik Eslandia