Berjuang Zaman Orde Baru |
Sejak lama sudah terjadi dialektika gagasan membangun negara kesejahteraan. Banyak negara yang membangun sistem kesejahteraan berbeda-beda. Apakah Indonesia masuk dalam kategori negara kesejahteraan?
Pada dasarnya setiap negara, sistem pemerintahan, ideologi, dan model ekonomi pada dirinya ada cita-cita untuk menyejahterakan rakyat.
Bagaimana cara menyejahterakan rakyat bisa berbeda, tetapi itu semua tak mengesampingkan fakta bahwa kesejahteraan rakyat itu sudah jadi bagian dari negara, sistem pemerintahan, ideologi, dan model ekonomi.
Perseteruan ideologi yang terjadi sejak zaman pertengahan sebetulnya menggambarkan bagaimana cita-cita menyejahterakan rakyat itu akan dilaksanakan, apakah melalui sistem ekonomi pasar atau melalui perangkat negara yang mengelola perekonomian.
Pilihan mengenai bagaimana cara menyejahterakan rakyat itu dilakukan pasti membawa implikasi berbeda dalam pelaksanaan dan hasil yang diperoleh karena di sini ada faktor efisiensi dan produktivitas mungkin saja berbeda. Bertahun-tahun perdebatan ini dijalankan sambil secara tradisional dan ad hoc penyejahteraan rakyat itu dilakukan. Di sini paham bantuan (assistance) dan kedermawanan (charity) sering beririsan.
Sistem kesejahteraan
Di Eropa, perdebatan ini cukup tajam dan meluas serta terdokumentasi dengan lengkap.
Norwegia, misalnya, dikenal sebagai salah satu ”negara kesejahteraan” yang berhasil mendapatkan inspirasinya dari apa yang disebut sebagai social policy seperti yang diuraikan oleh Lord Beveridge di Inggris, sekitar 130 tahun lalu.
Namun, perdebatan dan terjemahan dari social policy yang kemudian menjelma menjadi sistem kesejahteraan (welfare system) baru secara serius dimulai seusai Perang Dunia II.
Proses ini berlangsung lama sampai tahun 1970 dan masih terus berkembang, tetapi bisa dikatakan bahwa sejak 1970-an sistem negara kesejahteraan ini mulai menemukan bentuknya.
Proses ini menemukan bentuknya setelah melalui berbagai krisis dan penghematan (retrenchment). Dalam tataran ideologi, kita menyaksikan lahir dan menguatnya paham social democracy yang pada sejarahnya membuktikan dirinya sebagai bagian dari sistem negara kesejahteraan itu dan hadir sebagai dua sisi dari satu mata uang.
Negara-negara Eropa memang terbelah dua, yaitu negara-negara yang menganut sistem ekonomi pasar (kapitalistik) dan negara-negara yang perekonomiannya dikendalikan negara (state command economy).
Secara sederhana, kita bisa menyebutkan bahwa Eropa terbelah antara negara liberal-kapitalistik dan negara sosialis-komunistik. Walau dikotomi ini juga tak sepenuhnya akurat, untuk menyederhanakan perdebatan, kedua terminologi itu digunakan. Dalam kedua sistem ekonomi ini, kalau kita runut secara teliti, kita akan melihat program atau sistem untuk menyejahterakan rakyatnya, tentu dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Kita bisa belajar dari sistem negara kesejahteraan di Eropa Barat, khususnya Skandinavia, yang dianggap lebih maju dan responsif. Negara-negara Eropa Barat bisa dikatakan termasuk kelompok negara kapitalistik, tetapi dalam sistem kapitalistik ini tumbuh sistem kesejahteraan, dan karena itu muncul istilah welfare capitalism.
Tentu di sini ada varian-varian yang berbeda, seperti di Jerman di mana muncul apa yang disebut social market economy. Di Belanda, Spanyol, Portugal, dan Italia, kita akan menemukan beberapa warna lokal karena kondisi obyektif yang ada di negara-negara itu.
Pada dasarnya, perbedaan itu lebih pada penekanan dan prioritas program, tetapi bisa dikatakan tujuan dasarnya tetap sama: kesejahteraan rakyat.
Thomas Bahle, Jurgen Kohl, dan Claus Wend menulis buku berjudul Welfare State yang menggarisbawahi bahwa pada dasarnya semua perbedaan dan perubahan yang terjadi tak mengesampingkan fakta bahwa secara umum pranata inti negara (institutional foundation) kesejahteraan di Eropa telah terbentuk dan diterima sebagai realitas masyarakat, sudah stabil dan terkonsolidasi.
Kita bisa belajar dari sistem negara kesejahteraan di Eropa Barat, khususnya Skandinavia, yang dianggap lebih maju dan responsif.
Bahle dkk mengatakan bahwa the welfare state is both an element and a product of modernization related to industrialization and the rise of both the nation-state and democracy (negara kesejahteraan merupakan elemen sekaligus produk dari modernisasi yang terkait dengan industrialisasi dan kebangkitan negara-bangsa dan demokrasi).
Hak kesejahteraan rakyat yang pertama dan utama muncul adalah pensiun dan pelayanan kesehatan, karena kedua hak ini dianggap sebagai utama dalam mempertahankan eksistensi manusia yang manusiawi, tangguh, dan produktif.
Belakangan muncul apa yang disebut sebagai family policy yang perdebatannya sangat panjang karena akan berkaitan dengan hak perempuan (jender), kesetaraan, pengasuhan anak (childcare), dan sebagainya.
Dalam perjalanannya, kita akan menemukan perdebatan yang berkaitan dengan social security yang bisa saja tafsirnya juga tak sepenuhnya sama. Dalam konteks kekinian, pastilah perluasan family policy ini akan mencakup juga hak-hak mereka yang kita kenal sebagai LGBT.
Di Eropa Barat, saya tak melihat banyak friksi soal ini walau ada saja ketegangan yang kita bisa baca dalam berita-berita yang sifatnya anekdotal.
Dalam perkembangannya, kita melihat bahwa tanggung jawab negara yang menjadi provider dalam mewujudkan hak kesejahteraan ini belakangan sebagian sudah dilimpahkan kepada korporasi yang misalnya menyediakan private pensions.
Dalam konteks pelayanan kesehatan (healthcare), kita juga melihat keterlibatan korporasi cukup signifikan atau ”terlalu signifikan” kalau kita melihat Amerika, misalnya, di mana pengelolaan asuransi kesehatan melibatkan banyak sekali perusahaan asuransi.
Perlawanan terhadap universal health di Amerika adalah karena perusahaan asuransi kesehatan tak mau melepaskan posisinya sebagai induk semang kesehatan publik meski di sini ongkosnya sangat mahal.
Dalam praktiknya, kita akan melihat model pemenuhan kewajiban ini digantungkan pada prinsip general flat rate pension atau dikaitkan dengan pekerjaan, seperti di Jerman yang menjalankan ”asuransi sosial wajib” (compulsory social insurance) yang dikaitkan dengan tanggung jawab perusahaan.
Di negara-negara Skandinavia, pajak penghasilan sangat tinggi dan ini ditambah lagi dengan pajak lain.
Apakah ini cukup? Jawabnya tidak. Dalam perjalanan, kita akan melihat berbagai hak kesejahteraan dilembagakan, seperti tunjangan bagi mereka yang menganggur (unemployment insurance), disability insurance, dan sebagainya.
Bagaimana semua ini dibiayai? Ini menjadi persoalan menarik dan menantang. Di negara-negara Skandinavia, pajak penghasilan sangat tinggi dan ini ditambah lagi dengan pajak lain.
Namun, dibandingkan negara-negara lain di Eropa Barat, negara-negara Skandinavia dikenal sangat menempatkan ”hak-hak kesejahteraan” ini di urutan pertama dan utama. Karena itu, kalau dilihat persentase cakupan hak kesejahteraan dan dana yang disediakan dari keuangan negara (anggaran), negara-negara Skandinavia bisa dibilang sangat signifikan.
Negara Eropa Barat lain yang menyediakan anggaran belanja hak kesejahteraan cukup signifikan adalah Jerman, Inggris, Perancis, Belgia, dan Belanda.
Seharusnya semua hal di atas dilihat juga dalam perspektif hak, bukan perspektif bantuan. Hak kesejahteraan itu adalah entitlement walau di beberapa negara disebut sebagai benefit.
Hak kesejahteraan itu bukan bantuan atau assistance. Di negara demokratis dalam perspektif kesejahteraan seharusnya tak ada istilah assistance. Yang ada adalah entitlement.
Indonesia dan negara kesejahteraan
Apakah Indonesia masuk dalam kategori negara kesejahteraan? Kalau membaca sila kelima Pancasila bahwa negara bertujuan menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, kita mengarah pada negara kesejahteraan.
Kalau kita membaca UUD 1945, bukan hanya Pasal 33, kita mengarah pada negara kesejahteraan. Namun, apakah kita sebuah negara kesejahteraan? Kita mesti membedah sistem sosial ekonomi kita yang tak sepenuhnya konsisten dan koheren.
Todung Mulya Lubis, Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Norwegia dan Republik Eslandia
No comments :
Post a Comment