Kepergian Iravati M Sudiarso pada Rabu (18/1/2023) merupakan duka bagi dunia musik klasik Indonesia. Sosoknya sebagai salah satu pianis legendaris dan pelopor musik klasik Tanah Air akan selalu dikenang.
Iravati kini telah tenang di tempat peristirahatan terakhir di TPU Tanah Kusir, Jakarta. Ia berpulang karena sakit pada Rabu pukul 15.00 dalam usia 85 tahun. Hingga akhir hayatnya, ia menjabat sebagai Direktur Utama Sekolah Musik YPM (Yayasan Pendidikan Musik), lembaga pendidikan musik yang disegani dan telah menghasilkan pianis andal, seperti Levi Gunardi, Adelaide Simbolon, Binu Sukaman, Harimada Kusuma, Mario Santoso, dan Gita Bayuratri, selain salah seorang putrinya sendiri, yaitu Aisha Sudiarso-Pletscher.
Penampilan publik di usia lanjut yang dapat dicatat adalah ketika Iravati merayakan HUT ke-80 September 2017 di Jakarta, di mana saat itu murid-muridnya mempersembahkan karya untuk ”Tante Ira”—sebutan akrab bagi Bu Guru tercinta (Kompas, 31/10/2017).
Menjadi murid Iravati, menurut Harimada, merupakan saat yang singkat. Namun, waktu tersebut sangat berkesan bagi murid-muridnya. Sebagai guru, Iravati mendidik dengan kesabaran dan kedisiplinan. ”Tak ada satu not atau jari pun yang luput dari perhatian beliau,” kenang Harimada tentang guru yang memimpin Sekolah Musik YPM yang berdiri sejak Oktober 1952 itu. Ira meminta Mario bersabar saat ia ingin mempelajari karya Chopin ”Barcarolle Opus 60” karena saat itu ia melihat Mario belum siap secara psikologis untuk memainkan karya tersebut.
Sebagai pianis, Iravati sendiri pernah mencatat prestasi cemerlang: menjadi pianis Asia pertama yang tampil sebagai solois bersama New York Philharmonic Orchestra dalam acara peresmian Lincoln Center for the Performing Arts tahun 1964.
Tak ada satu not atau jari pun yang luput dari perhatian beliau.
Sebagai pemusik, Iravati memperlihatkan kepekaan sosial. Saat Indonesia dilanda krisis di tahun 1990-an, Ira duo dengan Aisha memainkan karya Johan Sebastian Bach/ Mary Howe ”Sheep May Safely Graze” (Biarkan Domba Merumput dengan Aman) sebagai tema utama konser ”Pertiwi Menangis” April 2000. Selain agar bangsa Indonesia berkecukupan dalam pangan, Iravati juga memohon agar bangsa Indonesia menjadi lebih pintar. Hal itu bersama Aisha ia ungkapkan melalui Sonata Mozart yang sering dijadikan lambang sebagai anak cerdas. Saat warga Aceh berdoa, duo ibu-anak mengiringinya dengan memainkan ”Les Larmes” (Air Mata) dari Suite Opus 5 No 1 karya Rachmaninoff.
Di luar kepekaannya terhadap masalah sosial, Iravati tak berhenti menantang dirinya untuk memainkan karya sulit. Bersama Twilite Orchestra, Ira pernah memainkan bagian ”Allegro Scherzando” dari Konser Piano No 2 Rachmaninoff. Selain itu, saat usianya 80 tahun, di hadapanmurid-muridnya ia masih memainkan karya Chopin yang tak kalah menantang, yakni ”Nocturne” dalam D-flat Mayor Opus 27 No 2.
Iravati bangga murid-muridnya bisa melanjutkan karier bermusik, ada yang ke Manhattan School of Music, ada yang ke Konservatorium Amsterdam, dan St Petersburg. Mereka semakin canggih dalam piano performance, tetapi tetap hormat kepada Ibu Guru.
Dalam bermusik, Iravati juga tak melupakan karya komposer nasional dan mendorong murid-muridnya memainkan (juga menyanyikan) karya putra bangsa serta menulis komposisi bagi mereka yang berbakat di segi ini, seperti Marisa Sharon Hartanto. Karena itulah, Iravati bersyukur mendapatkan kesempatan menikmati dan mengagumi the wonders of music. Kini, pianis kelahiran Surabaya 28 September 1937 itu telah berpulang dengan meninggalkan dua orang putri dan tiga cucu. Suaminya, Sudiarso, berpulang 11 Juni 2006.
Ira, lulusan Peabody Conservatory of Music, Baltimore, Maryland, AS (Bachelor, 1963) dan Master (1964), telah mewarnai perjalanan musik (klasik, utamanya piano) di Tanah Air. Bukan saja murid-muridnya yang kehilangan, melainkan juga masyarakat Indonesia yang mencintai seni musik dan budaya pada umumnya. Selamat jalan Tante Ira.
No comments :
Post a Comment