Mengungsi ke Sumedang

Pada bulan Maret, enam puluh dua tahun yang lalu, telah terjadi peristiwa yang tak terlupakan oleh rakyat Priangan dan juga bangsa Indonesia, yaitu pembumihangusan kota Bandung oleh para pejuang yang kita kenal dengan peristiwa Bandung Lautan Api.

Menurut rencana, tak sejengkal pun wilayah Bandung yang akan disisakan untuk diduduki penjajah Belanda dan Sekutu. Maka, tak banyak pilihan, rakyat Bandung pun di hari-hari sebelumnya beramai-ramai mengungsi. Tak terkira hiruk pikuk yang terjadi pada hari itu, juga di bulan-bulan sebelum dan sesudahnya.

Saya dan keluarga sebagai penduduk asli Priangan memiliki cerita sendiri mengenai peristiwa tersebut. Keluarga kami waktu itu mengungsi ke Sumedang dan menjalani masa-masa yang sulit. Perjalanan ditempuh dengan naik pedati atau roda, dan sepanjang jalan Ibu menggendong kakak saya, Arifin, yang baru berumur setahun, sedang saya sendiri baru akan lahir di tahun berikutnya.

Menurut penuturan Ibunda, hari itu adalah perjalanan yang amat berat, naik turun melewati perbukitan, dan berlangsung dalam suasana tegang karena menghindari bahaya perang. Makanan saat itu hanya nasi yang kerap dicampur jagung untuk menghemat stok beras dan minum air tajin (air cucian beras) karena tidak ada susu.

Sesampainya di Sumedang, dengan surat dari Ibu Kartini, Ayah dan Ibu bertemu dengan keluarga Dr. Sanusi Galib yang menetap di sana. Istrinya, Basariah (kami memanggilnya Ete Bas) adalah adik dari Bung Hatta, sang Proklamator. Di sana juga tinggal Ibunda dari Ete Bas, yang kami sapa Mak Gaek, yang hingga akhir hayatnya menetap di Sumedang.

Setahun setelah peristiwa Bandung Lautan Api, saya pun lahir, tepatnya pada 18 Maret 1947. Dan hanya beberapa hari setelahnya lahirlah juga putri Bung Hatta, Meutia, yang kini menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan. Keluarga kami saat itu masih di Sumedang, menumpang tinggal di rumah Ibu Ihing, seorang pengurus kebun dan sawah keluarga Sanusi yang letaknya tak jauh dari rumah keluarga itu. Saat itu kami dikelilingi oleh keluarga Minangkabau dan dari merekalah saya mendapat nama tengah ‘Sjahrir’. Keluarga kami juga banyak dibantu oleh keluarga alm. Kartahadimadja yang kala itu menjabat Patih (Wakil Bupati) di Sumedang.

Sepanjang hidup di pengungsian, kami diliputi ketidakpastian. Untuk menyambung hidup, para pengungsi menjual apa saja yang bisa laku. Bahkan kasur untuk tidur dibongkar, gorden-gorden digunting, lalu dijahit menjadi celana untuk ditukarkan dengan beras, ayam, dan telur.

Cara bertahan seperti ini juga dilakukan pengungsi lainnya, karena tentu tak banyak perbekalan yang sempat dibawa. Ayah saya pun sempat menggelar dagangannya di perbatasan Sumedang-Bandung. Begitu mengharukannya perjuangan orang tua kami saat itu hingga saat ibunda menceritakan bagian ini, air mata saya pun bercucuran.

Akhirnya, setelah kurang lebih tiga tahun masa pengungsian, kami pun kembali ke Bandung. Di sana kehidupan kami berlanjut, dimulai dari perjuangan Ayah mendirikan berbagai usaha di berbagai tempat.

(DSP)

2 comments :

Angga said...

baca cerita pa dedy, jd terbayang2 peristiwa Bandung lautan api. Generasi muda skr di Bdg ga pernah tau beratnya pengalaman org2tua nya dulu. Mudah2an saya jd generasi muda yg slalu menghargai sejarah/masa lalunya..

Larut Malam said...

I have read your book, it's a good book and you're the one of the great person in Indonesia, sir. I hope you keep supporting people with your wise words. Thank you.