Pepatah tak kenal maka tak sayang, rupanya berlaku juga buat Dubai.
Hari Senin pagi, di penghujung bulan Maret 2008, saya mendarat di kota yang merupakan bagian dari United Arab Emirates (UAE) ini. Yang saya tuju untuk menginap adalah Deira, yang terletak di bantaran teluk Dubai. Deira ini merupakan sebuah daerah tua yang terkenal, yang mengingatkan kepada daerah Glodok atau Pasar Baru di Jakarta.
Setelah check in di hotel Al Khaleej, saya pun mengikuti city tour selama delapan jam, dengan maksud ingin menyelami kota Dubai dalam waktu singkat.
Ternyata Dubai adalah sebuah creek atau teluk kecil, dengan lebar hanya puluhan meter dengan panjang sekitar dua kilometer. Di teluk inilah hingga kini menjadi pusat perdagangan antar pulau dan negara.
Hotel tempat saya menginap sangat dekat pelabuhan lama yang masih dioperasikan. Yang menarik adalah bahwa kapal-kapal tua tradisional masih berfungsi sampai sekarang. Kapal-kapal itu mengangkut bermacam kebutuhan logistik seperti makanan dan minuman, juga membawa bahan-bahan bangunan dan sebagainya.
Di sana juga ada pasar rempah yang terkenal, yaitu Spice Market, dan juga pasar emas, yaitu Gold Souk, yang suasananya seperti pasar ikan di Jakarta Kota. Tersedia di sana emas 18 hingga 22 karat yang harganya sekitar 10% lebih murah dari harga di Jakarta.
Objek penting lainnya di sekitar Dubai Creek adalah sebuah teluk alam yang lebarnya kira-kira 50 m dengan panjang sekitar 1 km yang dikeruk dan bisa dilalui kapal seberat 500 ton. Dapat dinikmati pula pameran dari deretan kapal pesiar mewah beserta puluhan restoran terapung. Kisaran dinner cruise di sana adalah sekitar US$ 50-100, atau sekitar 150-300 Dirham (biasa disebut AED).
Selama ini orang mengenal UAE karena hal-hal yang secara fisik terlihat, misalnya penerbangan Emirates, hotel tertinggi di dunia, yaitu Burj Al Arab, dan proyek reklamasi pantai dengan desain palm tampak dari udara sebanyak tiga buah yang habis dalam waktu 24 jam, berkat ikon David Beckham. Di dekat hotel super tinggi ini berdiri kompleks Souk Madinat Jumeira, atau Pasar Kota Jumeirah, yaitu sebuah kompleks baru dengan suasana Arab yang kental, dan tampak asri dengan danau buatan di sekelilingnya.
Soal kuliner, di hotel Al Khaleej yang bertarif US$ 100 semalam ini sebenarnya menyediakan breakfast, namun saya lebih suka mencari makanan khas Iran yang tersebar di sekitar hotel. Ada swarma kambing dan ayam, yang dimakan dengan roti khasnya, dan salad serta kopi yang kesemuanya seharga tak lebih dari 10 Dirham saja.
Dubai di waktu Maghrib hingga malam secara umum seperti suasana di Mekah atau Jeddah, hanya dengan nuansa keislaman yang tidak sekental kedua kota suci itu.
Inilah sekelumit sosok Dubai, kota di mana para Sheikh telah memerintah secara turun temurun.
(DSP)
No comments :
Post a Comment