Meniti Usaha di Bandung


Kembali dari pengungsian, kami menumpang di rumah buyut Hj. Siti Mutiah di Jl. Kebon Sirih No. 9 Bandung. Karena nenek kami meninggal dalam usia yang muda, maka buyut itulah yang menjadi panutan dalam keluarga. Beliau hidup seorang diri karena suaminya H. Hasan Arif telah meninggalkannya terlebih dulu. Ia dibesarkan di lingkungan di Pasar Baru dan sedari kecil berdagang kelontong di sana, bersama-sama dengan keluarga Uho, besan dari Mantan Gubernur DKI Ali Sadikin. Buyut kami itu hidup dengan penuh disiplin dan senantiasa memberikan contoh yang baik dalam segala hal.

Sedang Ayah, dalam perjalanannya berhenti mengajar dan mulai bekerja pada ayah mertuanya, M. Halim, pemilik Toko Batik Halim di Pasar Baru. Hingga beberapa tahun kemudian Ayah pun mendirikan Toko Harapan yang bertempat di sebuah ruko (rumah toko) di jalan Lengkong Besar No. 75 Bandung. Pada masa itu, ruko tidak bertingkat seperti sekarang, tetapi berderet horizontal: bila tokonya di depan, rumahnya di belakang. Ruko itu merupakan bantuan pinjaman dari seorang pengusaha pribumi, seorang produsen oncom Milo yang terkenal di Bandung. Di sana dijual berbagai keperluan rumah tangga dan dibuat pula kopiah-kopiah, meneruskan tradisi toko Batik Halim.

Perkembangan usaha Toko Harapan pun meningkat saat toko ayah diangkat menjadi penyalur resmi produk Phillips. Hal ini berkat kefasihan beliau berbahasa Belanda. Hingga beberapa tahun kemudian disewalah toko yang lebih besar, kali ini di jalan Braga No. 111. Saat itu saya dan saudara-saudara terlibat membantu Ayah menjaga toko. Kami membungkus, melayani pembeli, hingga menjadi kasir. Masa kecil kami jalani dengan menjadi urang pasar, sebutan bagi orang yang hidup dari perniagaan.

Kini, bangunan toko di jalan Braga tersebut telah menjadi sebuah sekolah pendidikan komputer untuk ibu dan anak bernama Ega Kineta, yang dikelola oleh satu-satunya adik perempuan saya, Yani Panigoro.

Kira-kira pada 1955, pada saat orang-orang Belanda diminta untuk meninggalkan Indonesia, ayah berhasil pindah ke rumah yang besar di Jalan Diponegoro No. 11A. Di situlah kami tinggal sampai tahun 1970. Di mana Arifin, saya, dan Ramdan telah menjadi mahasiswa, sedang Yani baru memasuki Perguruan Tinggi.

Tahun 1955-1965 usaha ayah saya sangat maju pesat. Tapi setelah peristiwa Gestapu rupanya ayah tidak dapat bertahan dengan perubahan. Sehingga pada tahun 1970 bangkrut dan menjual rumah di Jalan Diponegoro dan kemudian memperoleh izin tinggal (VB) di Jalan Wastukencana No. 79 Bandung seluas 1500 m² yang alhamdulillah rumah ini dapat dimiliki sampai sekarang.

(DSP)

No comments :