Ketahanan Energi Perlu

Bandung, Kompas, 1 November 2008

Tarikan kebutuhan antara energi terbarukan dan pangan akan terus meningkat pada masa depan. Untuk itu, gerakan bersama mewujudkan ketahanan energi dan pangan nasional harus segera dirintis guna menghindari krisis lanjutan yang mengancam Indonesia ke depan.

Salah satu upaya mewujudkan ketahanan energi sekaligus pangan ini adalah dengan mengaplikasikan konsep Kawasan Terintegrasi Pangan dan Energi Terbarukan di wilayah Indonesia timur, khususnya Papua selatan.

Demikian disampaikan pendiri Grup Medco, Arifin Panigoro, dalam kuliah umum bertema ”Merebut Masa Depan: Menyemai Energi, Pangan, dan Pendidikan”, Jumat (31/10) di Institut Teknologi Bandung, Jawa Barat.


(Arifin Panigoro memberikan materi kuliah umum bertema "Merebut Masa Depan: Menyemai Energi, Pangan, dan Pendidikan" di Aula Barat ITB, Jawa Barat, Jum'at (31/10). Ia berbicara soal perlunya upaya pemanfaatan lahan kritis, baik untuk tanaman energi terbarukan maupun tanaman pangan.)


Orasi dipandu Pemimpin Redaksi Liputan 6 SCTV Rosiana Silalahi dan dihadiri sejumlah tokoh, antara lain Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat, pemimpin sejumlah media cetak dan elektronik, serta akademisi dari berbagai perguruan tinggi.

Menurut Arifin, tingginya ketergantungan bangsa ini terhadap energi fosil telah mengantarkan Indonesia pada keterpurukan. Laju konsumsi energi fosil tak bisa dikendalikan, angka penjualan kendaraan terus meningkat pesat setiap tahun, sementara cadangan dan produksi minyak terus turun. ”Dollar yang paling banyak digunakan untuk BBM ini tak kurang dari 1 miliar dollar AS per bulan. Ini sangat berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah,” katanya.

Indonesia, kata Arifin, harus segera bangkit dan mengantisipasi kebutuhan pangan maupun energi terbarukan secara terintegrasi. Memiliki baik etanol, biofuel, biodiesel, tetapi di sini lain juga tidak mengabaikan kebutuhan pangan. ”Tarik-tarikan di antara dua hal ini (kebutuhan pangan dan energi terbarukan) dari tanaman ke depan bakal semakin serius,” ujarnya seraya mencontohkan kasus melonjaknya harga jagung akibat konversi 30 juta ton komoditas itu menjadi etanol di Amerika Serikat.

Dia mengatakan, keberhasilan Brasil menghilangkan ketergantungan pada energi fosil patut ditiru Indonesia. Di negara itu diterapkan lahan terintegrasi 3,6 juta hektar penghasil gula dan etanol berbasis tebu.

Papua Selatan cocok

Di Indonesia, wilayah yang paling cocok mengadopsi sistem lahan terintegrasi ini adalah Papua Selatan dengan lahan yang tersedia seluas 12 juta hektar. ”Kebutuhan 350.000 barrel BBM (konsumsi nasional) bisa disubstitusi dari Papua saja. Estimasi produksinya 21,6 juta ton dan penghasilan 16 miliar dollar AS.”


Dalam skala mikro, di lahan seluas 20 hektar, Medco tengah mengembangkan riset areal terintegrasi ini di wilayah Merauke, Papua selatan. Ia optimistis, ke depan lahan ini bisa dijadikan model pengembangan dalam skala yang lebih besar. Hanya saja, persoalan yang tersisa adalah mengenai infrastruktur jalan, transportasi, dan irigasi.

Menurut alumnus Teknik Elektro ITB ini, riset ini bersifat nonprofit dan bisa dimanfaatkan banyak pihak.

Sementara dalam acara halalbihalal di Hotel Grand Preanger, Bandung, Arifin menyatakan belum siap untuk maju sebagai calon presiden. Acara dihadiri, antara lain, mantan Gubernur Jabar Solihin GP, mantan anggota DPR Tjetje Padmadinata, dan mantan Ketua KPU Jabar Setia Permana. (JON/REK/JAN)

No comments :