Selamat, Barry!

Ketika memasuki dekade 1970, Jakarta memasuki era kultural baru ”the post baby boomers”. Generasi baru era ini terdiri dari murid-murid 3 sampai 6 SD serta kelas 1 sampai 3 SMP. Kami masih remaja karena baru berusia 10-17 tahun. Kami secara samar-samar mendengar ingar-bingar Perang Vietnam, mulai tak menyukai The Beatles atau Bob Dylan, berani mencoba ganja, dan apolitis.

Dalam berbagai literatur, budaya pop tahun 1970-an disebut dengan the me decade karena semuanya ”serba saya”. Jika generasi the baby boomers memuja gaya hidup komunalisme ala hippy, kami the post baby boomers lebih nekat dan lebih egois.


(Gambar hitam putih tahun 1970-an yang disiarkan kubu kampanye Barack Obama memperlihatkan Barack Obama berusia 9 tahun (paling kanan), ibunya, Ann Dunham (tengah), dan ayah tirinya yang asal Indonesia, Lolo Soetoro, serta saudari tirinya, Maya Soetoro, yang berusia kurang dari 1 tahun di tempat tinggal mereka di Jakarta. Obama saat di Indonesia sering dipanggil Barry oleh teman-temannya.)

Barrack Hussein Obama atau Barry bersekolah di SD Negeri 04 Percobaan di Jalan Besuki, Jakarta Pusat. Saya ”mengenal” dia dua tahun lalu lewat perjumpaan kebetulan. Akhir 2006 Ufuk Press menghubungi saya menulis Kata Pengantar buku kedua Barry, The Audacity of Hope (2006).

Di buku ini dan juga buku Dreams from My Father (1996) Barry banyak menyinggung periode dia tinggal di Jakarta tahun 1968-1971. ”Ia termasuk anak hiperaktif. Kami tak berhenti bermain kelereng, tak gebok, tak lari, dan gambaran,” kata Rully Dasaad, sohib Barry di SD Besuki. ”Waktu tiga bulan pertama Barry anak alim. Tetapi, setelah itu nakal. Tingkat kebandelan kami masih wajar,” ujar Rully, yang kini fotografer profesional.

”Saya ingat kalau bermain detektif ala film serial I Spy Barry memilih peranan aktor kulit hitam di film itu, Bill Cosby. Padahal, Barry itu tak terlalu hitam karena ibunya bulĂ©,” kenang Rully. Berbicara tentang ibunya, suatu kali Ann Dunham datang ke SD Besuki untuk memprotes guru siapa yang usil melempar kepala anaknya dengan batu sampai bocor.

Apa bakat Barry yang menonjol? ”Ia senang menggambar. Saya suka bawa komik-komik impor ke kelas, Barry suka meniru gambar Superman, Batman, atau Spiderman. Kami sering bertukar koleksi komik, ia suka membaca komik yang waktu itu terkenal, Wiro Si Anak Rimba. Tetapi, jangan suruh Barry bernyanyi. Pernah dia disuruh guru nyanyi lagu untuk mengenang pahlawan, Syukur. Wah, lucu banget,” kenang Rully lagi.

Ketika terbit, Hope bertengger selama sembilan pekan di Daftar Buku Terlaris. Bangsa Amerika Serikat tak pernah bosan didongengi kisah ”Obambi” ini. Film Bambi bercerita tentang seekor anak rusa lugu yang berkenalan dengan kejamnya rimba belantara. Barry calon presiden terfavorit Demokrat meskipun dianggap ”mentah” alias kurang berpengalaman.

Ibu Barry asal Kansas, ayahnya orang Kenya. Bapak tirinya Lulu Soetoro. Waktu kecil Barry hidup sederhana di Jakarta, saat dewasa pengacara top lulusan Harvard. Setiap orang terkesiap mendengar ia menyebut namanya ”Barry Hussein Obama” (mirip Saddam Hussein dan Osama bin Laden) sambil mengulurkan tangan saat kampanye jadi anggota Senat di Springfield, Illinois.


Hope ibarat skripsi berpredikat summa cum laude yang meluluskan Barry sebagai pemimpin masa depan. Ia terpilih sebagai Senator Negara Bagian Illinois setelah meniti karier dari bawah. Ia bukan dari keluarga politik yang mapan seperti trah Bush atau Kennedy, tetapi dielu-elukan sebagai penjelmaan John Fitzgerald Kennedy. Nama Barry meroket ketika dipilih sebagai pengucap pidato kunci Konvensi Partai Demokrat 2004.

”Tak ada orang hitam Amerika dan orang putih Amerika dan orang Latin Amerika dan orang Asia Amerika—yang ada hanyalah Amerika Serikat. Saya tak punya pilihan lain kecuali memercayai visi Amerika. Sebagai anak lelaki hitam dan perempuan putih, sebagai orang yang lahir di Hawaii yang multirasial bersama saudara tiri yang separuh Indonesia, punya ipar dan keponakan keturunan China, punya saudara-saudara mirip Margaret Thatcher..., saya tak bisa setia pada sebuah ras saja.”

Di Hope, Barry menulis esai mengenai tanah airnya yang ketiga, Indonesia. Sepanjang sepuluh halaman ia mengulas evolusi Indonesia dari sebuah kampung besar, lalu jadi antek politik dan ekonomi AS, kemudian mengalami krisis moneter dan reformasi, sampai jadi negara yang tak toleran lagi.

Rumahnya di Jakarta tak berkakus duduk, di halaman belakang ada beberapa ekor ayam peliharaan, dan di dekat jendela banyak jemuran bergelantungan. ”Jenderal-jenderal membungkam hak asasi, birokrasinya penuh korupsi. Tak ada uang untuk masuk ke sekolah internasional, saya masuk sekolah biasa dan bermain dengan anak-anak jongos, tukang jahit, atau pegawai rendahan,” tulisnya. Bagi Barry, Indonesia kini tak sama lagi. ”Indonesia terasa jauh dibandingkan dengan 30-an tahun yang lalu. Saya takut ia menjadi tanah yang asing,” tulisnya.

Di buku Dreams of My Father, ia banyak bercerita tentang ayah kandungnya, jebolan University of Hawaii (UH) yang jadi anggota Phi Beta Kappa—komunitas akademisi elitis yang susah diterobos masuk orang luar AS. Ia diterima di Harvard dan pulang meninggalkan Barry kecil untuk mengabdi negaranya. Ayahnya dari suku Luo yang lahir di Alego yang menikahi ibu Barry tahun 1959 di Honolulu saat miscegenation (pernikahan antarras) dilarang di banyak negara bagian Amerika Serikat.

Ia penerima beasiswa pertama asal Afrika di UH dan belajar ekonometri dengan menggaet terbaik di angkatannya. Barry Junior juga lulus dari Harvard Law School dan jadi presiden kulit hitam pertama di Harvard Law Review—jurnal hukum berwibawa. Ia senator kulit hitam yang ketiga dalam sejarah Amerika Serikat.

Dreams bercerita tentang perjalanan hidup dia yang biasa saja. Ia dari kecil hidup dengan ayah tiri, waktu remaja ditinggal ibu, dan sampai dewasa diasuh kakek-nenek. Ia pernah tinggal di Honolulu, Jakarta, New York City, Boston, Chicago, Springfield, kini Washington DC. Tanpa malu ia mengaku pernah dijerat ganja dan alkohol serta menjadi perokok berat selama bertahun-tahun.

Ia memiliki keyakinan pada organisasi politik yang dikelola atas basis komunitas tempat tinggal. Dreams menyajikan perjuangan Obama mengorganisasi ”mikropolitik” yang mudah diberdayakan ke skala lebih besar, mulai dari tingkat kota, regional, sampai nasional. Ia memulai awal karier politik di Chicago tahun 1983. Ia tinggalkan gaji besar di pasar saham Wall Street, New York, untuk menjadi community organizer alias politisi. ”Perubahan bukan slogan kosong yang datang dari atas, tetapi dari pengalaman berpolitik di akar rumput,” kata Barry.

Ia organisator komunitas di Calumet, Chicago selatan, yang dihuni kalangan bawah dari warna kulit yang berwarna-warni. Dana bagi politisi ”bau kencur” macam Obama datang dari kalangan kaya, kota praja, pebisnis, atau para donor di luar negeri. Gajinya pas-pasan, jadwal hariannya bagai ”diuber setan”, dan akhir pekan dia habiskan untuk belajar lagi.

Ia datangi rumah warga satu per satu mendata masalah mereka, mulai dari selokan mampat, leding air tak menetes, sampai bagaimana caranya mengusir para muncikari. Tak jarang ia ditolak, diusir, bahkan dimaki. Di Altgeld Gardens, Chicago selatan, Barry mencari lowongan bagi penganggur menyusul penutupan sejumlah small and medium enterprises (SME) atau pabrik-pabrik yang produk-produknya kalah bersaing dengan kualitas barang-barang serupa dari luar negeri.

Barry memaksa kota praja membongkar asbestos di apartemen karena bahan bangunan itu menjadi sumber penyakit kanker hati. Ia tak segan mengerahkan pendemo atau memanfaatkan pers untuk membongkar konspirasi pebisnis dengan politisi. Secara perlahan tetapi pasti, warga mendengar rekor Barry yang akhirnya memimpin CCRC. Ia sukses menambah jumlah organisasi antikenakalan remaja, membuat sistem manajemen sampah, memperbaiki jalan raya, membersihkan selokan, dan membuat sistem keamanan mandiri.

Barry politisi yang merangkak dari bawah, yang telah membuktikan politik pengabdian tak kenal lelah, yang jika diseriusi pasti membuahkan hasil. Ia matang berkat ”politik eceran” (retail politics) yang rajin ditekuninya dengan menggeluti topik hubungan luar negeri, UU kode etik politisi, kesejahteraan rakyat miskin, pendidikan anak, masalah veteran, kesehatan, pendidikan, buruh, pensiunan, sampai pembasmian flu burung.

Hari-hari ini Barry bertemu ribuan orang tiap hari, sudah berdebat 20 kali di stasiun-stasiun televisi nasional melawan capres-capres Partai Demokrat, dan sedikitnya melakukan lima putaran reli per hari selama berbulan-bulan sejak akhir 2006. Barry adalah presiden pertama dari generasi the post baby boomers yang berslogan, ”Change, We Can Believe In”.

(Budiarto Shambazy)

Sumber: Kompas, 6 November 2008


Links:


No comments :