Komponis Ananda Sukarlan merekam karya-karya Amir dalam cakram digital. Sebuah rekaman cakram pertama seumur hidup Amir.
SUATU Ahad di pengujung 2006. Pianis Ananda Sukarlan, 41 tahun, dirundung bingung di Kota Medan. Bersama koreografer Chendra E. Panatan, ia agak tersesat saat mencari rumah Amir Pasaribu di kawasan Karya Wijaya. Setelah beberapa lama, akhirnya mereka tiba di alamat tujuan.
Diketuk berkali-kali, rumah tampak kosong. ”Tuh, mungkin sedang ke gereja,” kata Chendra. Ananda pun menyerah. Namun, ketika mereka berbalik, tiba-tiba pintu terbuka dan muncul Amir di kursi roda mengenakan kaus oblong dan sarung.
Ananda menyapa dengan suara agak keras karena Amir sudah mulai kehilangan pendengaran. Ananda memperkenalkan diri sebagai pianis yang kini menetap di Spanyol. Wajah Amir, yang tadinya kelihatan galak, berubah jadi cerah. Ia langsung mengulurkan tangan untuk bersalaman. ”Ik ken jouw naam (Saya tahu nama Anda)!”
Pertemuan itu terjadi berkat jasa Nurman, putra Amir yang kini menetap di Negeri Kincir Angin. Nurman tahu Ananda kerap memainkan karya Amir di pentas internasional. Nurman kemudian mengirim surat elektronik mengabarkan keberadaan Amir di Medan. Ananda sendiri sempat mengira Amir telah tiada.
CD Ananda yang berisi karya-karya Amir Pasaribu (direkam di Spanyol)
Ananda juga hendak meminta izin Amir untuk merekam karya-karyanya ke dalam cakram digital. ”Beliau tidak mengira bahwa ada orang yang ’peduli’ dengan musiknya, sampai bikin rekaman CD yang terlaksana sebelum dia menutup usianya,” kata Ananda. Maka, pada 4 dan 5 Februari 2007, bertempat di Hall of Conservatorio de Amaniel, Madrid, Spanyol, Ananda merekam 14 komposisi Amir.
Karya monumental Amir seperti Tjapung Ketjimpung di Tjikapundung, Variasi Sriwidjaja, Si Bongkok, Petruk, Gareng, Bagong, Puisi Bagor, The Juggler’s Meeting, Ole-ole Melojo-lojo, Tante-tante Mau Ngebut, Ball Dance of River Fish Princess, Kesan, dan Bangkok’s Bamboo Flute meluncur dalam CD tersebut. Cakram digital hasil rekaman tersebut diberi tajuk Ananda Sukarlan: Piano Works of Amir Pasaribu. Demi mendengar rekaman itu, Amir pun bercucuran air mata.
Ananda memutuskan merekam partitur Amir yang sudah komplet. ”Banyak partitur Amir yang hilang karena dia sering pindahan maupun karena lain hal,” ujar Ananda. Menemukan komposisi Amir bukanlah hal yang mudah. Ananda memperoleh karya-karya Amir melalui pianis senior Latifah Kodijat. Partitur tersebut merupakan warisan almarhumah Charlotte Sutisno, pianis yang kerap memainkan karya Amir pada 1960-an.
Charlotte juga meninggalkan warisan berharga berupa rekaman permainan pianonya saat mementaskan karya Amir di Radio Republik Indonesia. ”Arsip yang bunyinya sudah kresek-kresek ini sangat berguna dalam mempelajari gaya musik Amir dan hal-hal lain yang tidak bisa tertulis dalam partitur,” Ananda menjelaskan. Arsip rekaman itu kini disimpan Nurman di Belanda. Gonny Pasaribu, putri Nurman, juga mengumpulkan partitur-partitur kakeknya yang pernah dimuat di majalah Zenith sampai Pujangga Baru. Ia datang ke Jakarta, mencari majalah-majalah tersebut di perpustakaan H.B. Jassin.
Pada mulanya, Ananda mengalami tantangan musikal untuk memainkan karya-karya Amir. Bunyi komposisi Amir menurut Ananda sangat khas dan karakteristik, terutama dari segi ritme. Beberapa karya Amir bagi pria kelahiran 1968 itu juga menuntut suatu virtuosisme yang cukup unik. Yang paling sulit menurut dia adalah bagaimana supaya musik Amir yang kadang njelimet itu mampu terdengar direct, flowing, dan komunikatif. ”Komposisi Amir menurut saya adalah komposisi yang pertama kali memberi cap identitas Indonesia. Musiknya itu tidak bisa ditulis oleh, misalnya, komponis dari Finlandia atau Jerman,” ungkap alumnus Koninklijk Conservatorium, Den Haag, Belanda, itu.
Di mata Ananda, Amir adalah komponis Indonesia yang mempelopori teknik baru seperti teknik Debussy dan Ravel serta mengaplikasikannya ke konteks lokal. Teknik kontemporer Barat di tangan Amir digunakan untuk mencipta lagu bernuansa Indonesia. Komponis-komponis segenerasi Amir, seperti Ismail Marzuki, menurut Ananda, meski melahirkan komposisi yang sangat indah, gaya bermusiknya masih kental kebarat-baratan. Itu berbeda dengan karya Amir. Memang, bila kita mendengarkan karya Amir Petruk, Gareng, Bagong seperti yang dimainkan Ananda, kita seolah bisa membayangkan ketiga punakawan itu berkejaran, bergulingan, ketawa-ketawa, gelitik-menggelitik bersama.
Semula Ananda tak terlalu gandrung pada komposisi Amir. Namun, setelah bekerja sama dengan komponis Eropa dan mendalami musik sastra Eropa, ia mulai mengenal kelebihan Amir. Setelah rekaman ini, Ananda berencana merekam karya-karya piano Amir lainnya yang memang tidak terlalu banyak beredar. Ia menganggap musik Amir justru lebih dimengerti di Eropa daripada di Indonesia. ”Paling tidak di saat ini,” tutur Ananda.
(Sita Planasari Aquadini)
Sumber: Majalah Tempo, 15 Februari 2009
No comments :
Post a Comment