Waktu adalah uang. Begitu dulu Gayatri Pamoedji-Iskandar (47) memaknai hidupnya. Maklum, ia pemilik saham beberapa kegiatan bisnis sekaligus direktur keuangannya. Namun, waktu, sang penanda yang setia, mengantarnya untuk mampu menengarai bahwa setiap detik adalah keajaiban.
Kelahiran Audwin mengubah segalanya,” ujar Gayatri, suatu pagi di satu hotel berbintang lima plus di Jakarta.
Kondisi anak sulungnya itu membuat Gayatri harus meninggalkan dunia yang menjanjikan keuntungan material dan hasrat menumpuk modal yang tak ada batasnya.
”Saya memilih mengurus Audwin 100 persen,” ia menyebut itulah titik balik pertama dalam hidupnya.
Mata ibu dari Audwin (18) dan Albie (15) itu berbinar ketika mengisahkan perjalanannya 10 tahun untuk merebut kesempatan dan menguatkan keyakinan pada dirinya bahwa Audwin mampu berkembang penuh sebagai manusia mandiri.
Lahir normal
Ananda yang akrab disapa Audwin, anak laki-laki sulungnya, lahir dengan persalinan normal. Fisiknya tumbuh sehat dengan ASI. Tetapi, saat Audwin berusia 11 bulan, Gayatri mulai merasakan ada sesuatu yang berbeda.
”Audwin tidak merespons panggilan saya. Kontak mata hampir tak pernah terjadi. Kalau saya pangku ia meronta. Saat lain ketika saya berusaha memeluknya, ia tak berusaha meraih. Ia ’pendiam dan pemalu’, jarang tersenyum kepada orang di sekitarnya dan selalu bergerak, tak tahan bising,” kenang Gayatri.
Namun, Gayatri masih berusaha membangun harapan. Apalagi, kata orang, keterlambatan komunikasi pada balita hal biasa. Ketika tak juga ada perubahan, ia mulai risau.
”Ada yang bilang, anak seperti Audwin karena ibunya lebih banyak bekerja di luar. Ada yang bilang keturunan,” tutur Gayatri, yang kemudian tahu, selain dugaan, penyebab attention deficit/ hyperactivity disorder (ADD/ADHD) seperti disandang Audwin, sampai kini belum diketahui jelas.
Namun, yang paling mengganggunya adalah pertanyaan, ”Mengapa Audwin? Apa salah saya, Tuhan…?”
Memburu diagnosis dan terapi
Upaya mendapatkan diagnosis dan terapi yang tepat bagi Audwin dilakukan sampai Singapura dan Belanda. Gayatri juga berusaha melatih Audwin bersosialisasi dengan menyekolahkannya sejak usia dua tahun, sebelum seorang kenalan memberi tahu di Australia tersedia fasilitas khusus untuk anak-anak seperti Audwin.
”Kami memilih Perth yang tak terlalu jauh dari Jakarta karena orangtua saya sudah tua,” ujar anak keenam dari delapan bersaudara itu.
Di Darwin, Audwin menjalani berbagai tes. Tes intelegensia menunjukkan IQ-nya di atas 110. Audwin juga tak punya masalah dengan kemampuan otak kanannya, misalnya menggambar dan berhitung dengan angka.
Sebaliknya, tugas sekolah yang menggunakan kemampuan otak kiri dengan komponen bahasa, seperti mengarang dan matematika dengan cerita, akan sulit. Audwin kemudian mengikuti terapi wicara dan terapi-terapi lain yang dibutuhkan.
Diagnosis bahwa Audwin autis baru didapat ketika ia berusia sembilan tahun. ”Idealnya, gangguan neurologis itu diketahui sebelum usia lima tahun,” jelas Gayatri.
Namun, sebenarnya Gayatri sudah melakukan yang terbaik sejak Audwin berusia dini meski hanya berdasarkan naluri seorang ibu. Termasuk di antaranya, latihan menggunakan toilet dan mandi.
”Ternyata untuk anak-anak autis, itu persoalan besar. Bisa sampai dewasa tergantung kepada orang lain,” tutur dia.
Demi terapi Audwin di sekolah dan di rumah, Gayatri belajar lagi. Ia mendapat sertifikat konselor dalam bidang pelayanan anak dan orangtua dengan kebutuhan khusus. Sampai hari ini ia relawan di tempat-tempat pelayanan itu. Gayatri kemudian juga melanjutkan kuliahnya di bidang konseling kesehatan.
Titik balik kedua
Perkembangan Audwin dari waktu ke waktu adalah keajaiban. ”Ia bisa menalikan sendiri tali sepatunya setelah berlatih tiga bulan. Usianya delapan tahun waktu itu.”
Setelah itu keajaiban lain datang beruntun. ”Suatu pagi, ketika saya hampir emosi karena kenakalan Albie, tiba-tiba Audwin bilang, ’Ma... he’s just a little boy...’.”
”Saat itu rasanya jendela seperti terbuka dan saya melihat alam raya yang begitu indah,” kata Gayatri mengenang peristiwa delapan tahun lalu itu, yang ia katakan sebagai titik balik kedua dalam kehidupannya.
Seluruh perjuangan, termasuk kelelahan yang kadang hadir, seperti mendapatkan hasil tak ternilai. Sejak itu Audwin sering mengucapkan hal-hal yang menenteramkan saat ia sedang risau atau melucu saat sedang lelah.
”Guru kungfunya cerita, ketika ia risau dengan keberlanjutan tempat berlatih itu, seorang murid datang dan berkata kepada dia dan mengatakan, ’Jangan risau pada masa depan tempat ini sepanjang kita berbuat kebaikan’,” kata Gayatri menirukan sang guru. Baru kemudian Gayatri tahu, murid itu adalah Audwin.
”Seperti old soul,” ujar Gayatri yang kini mempraktikkan teratur yoga dan meditasi, selain mengatur makanan.
Ia mengaku perjalanannya belum berakhir. ”Saya rasa tak ada ibu yang pernah merasa selesai melakukan yang terbaik bagi anak-anaknya....”
Pertanyaannya dulu telah terjawab. Pengalamannya bersama Audwin mengantarkan Gayatri pada pemahaman yang lebih subtil tentang hidup.
”Segala hal kecil yang dulu tak pernah saya perhatikan sekarang tampak seperti kejaiban, seperti melihat tunas tumbuh, mendengar kicau burung….”
Sumber: Kompas, 1 Februari 2009
No comments :
Post a Comment