Bersyukur karena Bencana

oleh Steve Kosasih*

Sudah beberapa hari ini, ramai sekali di media sosial mengenai bencana terorisme yang melanda Paris dan Beirut. Bencana yang memakan banyak korban tersebut sangat mengguncangkan dunia, baik dunia nyata maupun dunia virtual alias media sosial atau medsos. Anehnya, belakangan ini, di berbagai medsos yang marak bukanlah pembahasan bencana-bencana tersebut apalagi cara menanggulanginya, melainkan aksi protes para pengguna medsos karena ada satu pihak yang menyatakan simpatinya kepada para korban di negara tertentu yang kemudian diprotes oleh pihak lain yang tidak setuju bahwa satu negara mendapat perhatian lebih dibandingkan negara lainnya.

Malah, belum lama ini saya mendapat grafik yang agak menggelitik. Grafik tersebut menjelaskan bahwa dari 100 persen populasi yang membahas bencana terorisme di Paris dan Beirut sekitar 15 persen populasi mendoakan Paris, sekitar 15 persen populasi mendoakan Beirut dan 70 persen sisanya meributkan mana yang harus didoakan. Sungguh miris sekaligus menggelikan. Namun, sebagai insan yang percaya kepada Tuhan, apakah kita percaya bahwa sama sekali tidak ada hikmah dari hal buruk yang terjadi?

Memilih untuk bangkit

Di Kota Enterprise, Alabama, berdiri The Boll Weevil Monument atau Monumen Kumbang Kapas. Pada awal 1900-an, kota itu dikenal sangat makmur karena perkebunan kapasnya yang subur. Namun, pada tahun 1918, perekonomian kota itu hancur karena serangan kumbang kapas yang bermigrasi dari Amerika Selatan dan membuat panen kapas gagal total. Hampir semua petani bangkrut dan kota itu terpuruk dalam sekejap karena aksi "terorisme" sang kumbang kapas.

Di tengah penderitaan akibat bencana itu, para petani mengambil keputusan untuk berhenti bersedih dan bangkit dari keterpurukan. Mereka saling menyemangati satu sama lain dan bantings etir menanam kacang. Ternyata, dari panen kacang itulah kota ini kembali meraih kemakmuran, bahkan jauh melebihi sebelumnya. Masyarakat kota pun akhirnya mendirikan monumen tanda terima kasih kepada kumbang kapas sang teroris pembawa bencana.

Memilih untuk menjadi cahaya



Untuk Paris dan Beirut, saya tidak tahu apakah akan aa hikmah seperti Enterprise, Alabama. Namun, hal-hal yang tak terduga mulai terjadi. Karena aksi terorisme kemarin, seluruh perbatasan Perancis dan layanan angkutan umum di Paris ditutup. Masyarakat Paris membuak pintu rumah mereka menampung para pelancong yang kehabisan uang dan tidak bisa pulang ke negaranya akibat perbatasan ditutup. Para pengemudi taksi di Paris menggratiskan layanan taksi mereka bagi semua orang yang telantar di jalan karena layanan bus dan kereta MRT ditutup. Mereka yang terkena bencana justru menjadi penolong bagi para tamunya.

Saat ditanya mengapa mau berbuat seperti itu, jawaban mereka benar-benar mengingatkan saya akan kata-kata Martin Luther King, "Karena kegelapan tidak akan mampu menghalau kegelapan, hanya cahaya yang mampu melakukannya. Karena kebencian tidak akan mampu menghapus kebencian, hanya cinta yang mampu melakukannya."

Tak ada yang tahu masa depan, tetapi dengan kebesaran hati seperti itu bukan tak mungkin mereka akan bangkit dan lebih hebat dari sebelumnya. Bukan tak mungkin dunia kita akan menjadi dunia yang penuh damai. Bukan tak mungkin kita akan bersyukur kepada Allah atas semua bencana yang diizinkan-Nya terjadi karena pengganti yang terbaik telah disediakan Tuhan bagi kita.


*Pemimpin Perusahaan Transportasi Publik

Sumber: Kompas, 19/11/2015

Sumber gambar: FreeImages.com/Chee Kong Teo

No comments :