(KOMPAS/LUCKY PRANSISKA) |
Sejumlah karya dia ciptakan dalam rangka tema Bentara Budaya tahun 2015, "Jayagiri Jayabahari." Antara lain syair lagu Syair lagu yang menyiratkan kekayaan, kebesaran, dan kejayaan bangsa Indonesia sebagai berikut:
Doa dan harapan untuk kejayaan pertiwi sang Ibu Bhumi
Rahim Bhumi Indonesia, yang menyatu dalam lingkaran cincin api
Gunung yang menumbuhkan asam dan lautan yang melahirkan garam
Di garis jantung khatulistiwa yang membentang sebagai busur bangsa
Ketika sang ratu bersabda untuk kemuliaan dan kejayaan Giri Bahari
Jaya raya sang negeri Giri bahari
Pesat, menyusup mega, tinggi
Jaya raya Garuda menjadi kompas dunia
Jayalah Indonesia
Peni Candra Rini dilahirkan dari keluarga seniman tradisi. Darah seni teralir dari kakek buyutnya yang bernama Seran, seorang pemain musik gender yang terkenal di daerahnya. Lalu menurun ke kakek dan ayahnya yang kemudian menjadi dalang bergelar Ki Wagiman Gandha Carita. Sejak kecil Peni lekat dengan suara gamelan dan tembang, apalagi sering diajak menjadi sinden bila ayahnya pentas dalang. Hal inilah yang semakin mengasah kemampuan bermusiknya.
Kepiawaiannya menyinden, membuatnya memenangi sejumlah kompetisi dari tingkat sekolah, kecamatan hingga tingkat nasional. Tahun 2008 ia meraih silver medal for the best vocal performance pada The Spring Friendship Art Festival, Pyongyang, Korea Utara, 2008.
Menikah dengan Alam
(KOMPAS/LUCKY PRANSISKA) |
Komposer Peni Candra Rini (32) melakukan riset untuk 10 komposisi gending ini selama hampir dua tahun di tengah kehamilan dan melahirkan anak lelaki pertama yang amat dikasihinya serta jadwal ketat mengajar komposisi gamelan, vokal, dan koreografi serta lokakarya di sejumlah universitas di Amerika, Eropa, dan Asia.
”Tradisi—seperti seni gamelan ini—akan terus kontekstual kalau kita mempelajarinya serius. Saya beruntung bisa belajar terus tentang kekuatan tradisi musik gamelan yang di negeri kita sendiri malah disia-siakan,” ujar Peni seusai pergelaran.
Ia mulai ruang pertunjukan gelap. Dari arah penonton, 10 pemusik dan Peni masuk dengan lilin menyala di tangan. Dua orang menenteng bokor kembar mayang (hiasan janur untuk upacara perkawinan adat Jawa). Saat lilin terakhir ditiup mati, gema ”Giri Bahari” pelan masuk. Bunyi gong yang mendahului—sesuatu yang jarang dalam komposisi gamelan klasik—dipertemukan dengan tayangan grafis ”Bhumi” dan lirik gending di kain penutup bagian belakang panggung berisi ikhwal terbentuknya samudra dan gunung api Nusantara.
Pada komposisi ketiga, ”Kidung Kinanthi”, yang mengandalkan kontrabas di awal, lalu disambut sitar, gambang, dan bonang, pencapaian laras kidung doa untuk para arwah leluhur dan bumi pertiwi terasa sangat intens. Bayangan ”opera” tersirat dalam olah vokal Peni yang berubah-ubah karakter dan meluncur dalam nuansa gairah dalam ”Bedhaya Watu”. Komposer dan koreografer kelahiran Pacitan, Jawa Timur, itu demikian mengisap dengan senyuman, ukelan tangan, dan vokal yang sengaja bening melulu pada komposisi ini. Apalagi, ia ditolong talu-talu ketukan bunyi kemanak yang bergontai, disisipi saron dan ketukan gambang,seolah mengiringi langkah pengantin yang bersukacita.
”Kita harus menikah dengan alam, menjadi satu supaya kita tidak menyakitinya,” kata Peni menerangkan penggalan karya itu saat jeda ke sesi kedua. Rangkaian gending ”Giri Bahari”, ”Kanjeng”, ”Keraton”, ”Kidung Kinanthi”, dan ”Bedhaya Watu”, lima komposisi yang menjadi bagian pertama Bhumi.
”Sinden dan gending di Indonesia mengejar kepraktisan. Duit terus ukurannya. Jarang ditampilkan hanya semata untuk seni suara dan seni komposisi. Tradisi jadi alat, pelengkap, cara untuk perayaan, atau kegiatan politik. Seharusnya jadi ruang belajar dan pencarian jati diri.”
(KOMPAS/LUCKY PRANSISKA) |
Sumber:
Kompas, 29/9/2015
Kompas, 30/9/2015