Dua Lelaki Italia dan Botolnya

Oleh HARIADI SAPTONO

Kedua lelaki itu sama-sama mengesankan. Yang muda tulus dan lempeng. Yang lebih sepuh tak kalah tulus, namun caranya berkomunikasi amat memukau. Keduanya telah membuat Fremantle, kota kecil di pinggir laut, dan bagian kota Perth di Australia Barat, punya selera yang elok.

(KOMPAS/HARIADI SAPTONO)

Kedua lelaki itu pada hemat kami telah melampaui ”kasunyatan”; istilah kuna untuk menyebut orang yang menghadapi derita dan keberuntungan dengan apa adanya. Bersorak riang tidak, menggerundel pun tidak.

You came from Indonesia? Well, so we are family. My family name is Corrapsi and many Indonesian also ’korapsi...,” kata Nunzio Gumina (75-an tahun), memulai perkenalannya dengan plesetan yang menyentak peserta International Media Hosting Programm (IMHP) dari Tourism Western Australia yang bekerja sama dengan maskapai Garuda Indonesia mempromosikan pariwisata Australia, khususnya menyongsong musim panas di Australia akhir November 2015 hingga awal tahun depan. Garuda Indonesia, sejak Oktober lalu pun sudah menyediakan penerbangan rutin langsung dari Jakarta ke Sydney, Melbourne, dan Perth.

Merasa kata pembukanya bisa melukai, cepat-cepat ia merangkainya dengan bilang pada tamunya, ”Haaii, saya pernah tinggal di Bali lama. Lalu di Jakarta juga.”

Sambil memanggil asisten-asistennya dan menyajikan rangkaian kuliner khas Italia, Nunzio mulai mendongeng segala hal. Keluarganya, katanya, datang dari Sicilia Italia, ketika usia Nunzio masih berumur 6,5 tahun. Ayahnya yang bernama Corrapsi membawa Nunzio bersama empat saudara sekandungnya. Itu sekitar tahun 1940, saat kondisi Australia masih buruk dan keluarga Nunzio bahkan belum bisa berbahasa Inggris.

Ayahnya kemudian jadi orang pertama yang membuka restoran di kota Fremantle. ”Kalau tidak ada Corrapsi, tidak ada restoran di sini,” kata Nunzio, masih dengan gaya plesetan sambil tertawa. Nunzio sendiri kini direktur restoran Nunzio’s di Jalan Essex 20, Fremantle; sebuah restoran mungil di kawasan lama Fremantle, dengan banyak dinding antar-ruangan dibuat melengkung dan berbagai lukisan cat minyak koleksinya.

Nunzio menambahkan, ia pernah membuka coffee shop, restoran, dan membuka hotel di Bali berpatungan dengan pengusaha Bali. Tapi usahanya di Bali gagal karena kesepakatan perjanjian tidak ditepati. ”I am a man of my word. I am Italian,” katanya.

”Kamu akan bilang I am ugly dengan wine gelas pertama yang saya tawarkan. Tapi, nanti kamu akan bilang I am handsome pada gelas kedua,” kata Nunzio dengan melanjutkan cerita. Ia lalu membual tentang tiga biji kopi dan segelas minuman sambuca.

Konon 25 tahun lalu, seorang pemuda yang jatuh cinta kepada gadis idamannya linglung tak berdaya di Piazza Italia. Seorang kakek bertanya, mengapa engkau linglung anak muda? Si anak muda bilang, saya akan mati kalau saya tidak menjadi kekasih gadis cantik idaman saya ini. Tapi saya tidak punya nyali dan saya tidak punya kata-kata untuk menyatakan cinta saya. Oo sini aku beri tahu. Ambil tiga biji kopi ini dan masukkan ke dalam gelas sambuca. Tunggu beberapa saat, engkau akan dengan sendirinya mengucapkan kata-kata cinta. Benar saja, tiga biji kopi yang dimasukkan ke dalam gelas itu, masing-masing adalah kata Ti Amo (ti ah mo), aku cinta padamu.

Kini giliran Nunzio mendapat tugas, menyelesaikan masalah pribadi seorang wanita yang bermasalah dengan eks suami perempuan itu. Nunzio berstatus duda dengan dua anak, sedangkan perempuan Italia itu telah memiliki tiga anak. Namun, bukannya masalah selesai, Nunzio sendiri kini yang jatuh cinta kepada perempuan yang disebutnya sangat cantik itu.

That’s my destiny,” kata Nunzio yang lalu menemui lagi perempuan itu setelah menyiapkan tiga biji kopi dan sambuca.

Orangtua itu tergopoh-gopoh mencari handphone-nya yang lain lalu menunjukkan foto-foto istrinya kepada tamu-tamunya. Dan kami melihat, wanita kulit putih dengan rambut blonde itu memang tidak jelek. Perempuan itu sekilas mirip dengan penyanyi beken Madonna. Kontan muncul komentar, ”Kok, perempuan itu mau kawin dengan kamu Nunzio? Apa karena kamu merasa handsome?”

Nunzio tertawa sambil menggoyang-goyang gelas wine-nya. Ramalannya tepat, nanti setelah gelas kedua, orang akan berkomentar dirinya adalah laki-laki yang tampan.

Saat Nunzio berceloteh, dengan tempo lambat, yang terbayang di angan-angan saya justru adegan film The Godfather, saat keluarga Don Corleone tengah bercengkerama.

Saat rangkaian menu Italia dan wine sudah lewat, waktu baru menunjukkan pukul 14.35. Ini jelas bukan waktunya untuk makan siang karena kesorean. Makan sore pun tidak, apalagi makan malam karena sejak pagi kami terus diundang untuk menikmati aneka kuliner Fremantle, dengan porsi yang umumnya kegedean dan membuat klenger, serta jeda (jarak) waktu antar restoran yang terlampau pendek. Sejak pukul 08.00 hingga pukul 14.35 itu, sudah lima restoran/kafe kami masuki dan jajal menunya.

Gudang ”wine”

(KOMPAS/HARIADI SAPTONO)

Enam hari kemudian, kami bertemu Antonio Vilaca (64), Manajer Hotel Terrace sekitar pukul 20.30. Ia pria Italia, manajer hotel kecil dengan 15 kamar, dan ternyata dulu bekas bangunan gereja di pinggir jalan besar kota Perth yang riuh pada siang ataupun malam. Hotel dan restoran Terrace malam itu juga penuh tamu yang menikmati makan malam.

Bukan cuma meja makan di dalam hotel, melainkan juga meja di teras pinggir jalan sudah riuh oleh denting garpu-sendok dan piring serta gelas wine yang dibenturkan perlahan oleh para tamu. Untunglah, Ryan Mossny, pemandu kami, mudah akrab dengan staf Antonio, sebelum Antonio kemudian muncul.

”Silakan di ruang pribadi Antonio, dia mengizinkan Anda makan di dalam. Pesan Antonio, dilarang ambil foto, ya, di ruang wine,” kata staf restoran perempuan agak berseru karena ia sibuk melayani tamu-tamu lain.

Saat masuk ke kamar kerja pribadi Antonio selaku manajer hotel dan restoran itu, suasananya memang lebih lega dengan nuansa dinding kayu dan rak-rak wine yang berderet-deret. Gudang penyimpan wine-nya sebenarnya ada di sebuah ruangan sempit memanjang di sisi kamar kerja Antonio itu.

”Silakan, silakan kalian ambil foto gudang wine tidak apa-apa. Silakan, di sini saya menyimpan hanya sekitar 3.000 botol, yang lain kami simpan di tempat lain. Yang ada di sini jenisnya lebih dari 400 macam,” kata Antonio, setelah tahu bahwa tamu-tamunya ini jurnalis dan blogger dari Indonesia.

Sebelum ia meninggalkan kami lagi untuk melayani tamu-tamu lain di ruang makan dan teras, dia menawarkan jenis wine sangat tua, mereknya PX (Pedro Ximenez Alvear, keluaran tahun 1927 dari Spanyol.

”Ini cuma sebagian kecil koleksi wine lama kami. Terus terang, saya sendiri selalu memburu jenis wine klasik dan keluaran produksi lama. Saya mencarinya bahkan lewat internet. Harganya bisa sangat mahal, tapi kami menyimpannya sebagai koleksi. Nanti koleksi kami juga akan dicari tamu-tamu atau pembeli lewat internet atau datang ke hotel ini,” kata Antonio.

Begitu tamu-tamunya di ruang makan surut, Antonio kembali menemui kami dan melanjutkan penjelasannya yang lempeng tentang bisnis hotel dan wine. Kata dia, tidak ada patokan harga pasti berapa sebenarnya harga sebotol wine pilihan. ”Bisa 10 juta (rupiah), bisa pula 20 juta (rupiah) sebotol,” ujarnya.

Ryan Mossny dan dua tamu lainnya yang mencicipi wine PX tadi mengaku, wine yang disajikan Antonio kali ini cita rasanya lain sama sekali. Halus, tetapi kemudian membuat mengantuk dengan perlahan.

Elok

Waktu kami keluar dari Hotel Terrace, suasana agak tergesa. Karena gerimis kecil turun dan beberapa staf hotel tadi masih sibuk merapikan kembali setelan meja dan kursi restoran. Dan, karena pulang kemalaman sekitar pukul 23.40, terpaksa hampir satu jam kami harus menunggu taksi.

Waktu sampai di hotel, menjelang naik ke tempat tidur, saya mempertanyakan kata-kata bijak para ahli masak yang saya temui di Australia: masakan yang hebat merupakan masakan dengan resep dan cara membuat yang simpel, tapi rasa masakannya enak tak terkira. Yang ngomong seperti itu, antara lain Pak Nunzio di restorannya serta Matt Moran (chef hebat Australia dan sering muncul di televisi) dan Datuk Shef Wan (Duta Masakan dan Wisata Malaysia), keduanya hadir sebagai bintang pada acara Margaret River Gourmet Escape 2015, undangan makan informal sambil berkemah di pinggir pantai, di Castle Bay Beach.

Jangan-jangan perkara perut sesungguhnya memang perkara sederhana. Tak perlu rumit membuatnya, tak perlu mahal harganya, dan jangan sekali-kali porsinya kebanyakan sehingga makanan dibuang-buang sebagaimana lazim terlihat di restoran-restoran di sana.

Saat mematikan lampu kamar tidur hotel, muncul lagi pertanyaan liar: kenapa, sih, perjumpaan hangat dan tulus lebih menggetarkan dan mengesankan batin daripada sekadar sajian tumpah-ruah kuliner dahsyat, atau berkoper-koper cenderamata yang tak menyentuh kemanusiaan kita sendiri?

Nunzio yang aksi dan baik hati serta Antonio yang lempeng dan apa adanya. Ah, mereka itu punya selera elok sebagai manusia.

Sumber: Kompas, 13/12/2015

No comments :