Rumah, Organisme yang Bernapas

Oleh MOHAMMAD HILMI FAIQ

Mengunjungi rumah pendiri Jurusan Arsitektur Universitas Sumatera Utara, Rudolf Sitorus (57), seperti menemukan irisan Batak dan Jawa. Ornamen dan perabot Jawa dan Batak bertebaran di dalamnya. Sebut saja ini rumah ”pejabat”, percampuran Jawa-Batak. Rumah itu juga segar karena sang arsitek memperlakukan rumah sebagai organisme yang perlu bernapas.

(KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ)

Siang itu, udara kota Medan cukup panas. Setidaknya membuat orang berkeringat meski hanya memakai kaus oblong. Tetapi begitu masuk rumah Rudolf, suhu udara seperti diturunkan tiba-tiba, begitu sejuk. Padahal tak ada penyejuk ruangan yang menyala dalam bangunan seluas 400 meter persegi itu.

Setelah dirasa-rasa, sesekali berembus semilir angin dari arah depan dan belakang rumah menuju ruang tamu, terus naik ke lantai dua. Rudolf sengaja membangun rumahnya dengan tembok lantai satu setinggi 4,2 meter. Adapun dinding di lantai dua setinggi 3,6 meter. Dinding yang relatif tinggi itu memberi ruang yang cukup bagi udara untuk bergerak bebas sehingga sirkulasi lancar dan tidak panas.

Itu didukung oleh banyaknya pohon di sekitar rumah. Di depan rumah terdapat pohon mahoni, dadap, dan dua pohon mangga, yang demikian rimbun, sehingga tanpa kanopi pun halaman rumah itu begitu teduh. Di belakang rumah, Rudolf sengaja menyediakan lahan seluas 400 meter persegi untuk taman yang ditumbuhi belasan jenis pohon, seperti rambutan, mangga, jambu biji, dan palem.

Di antara pepohonan itu juga terdapat dua kolam kecil. ”Ini mata air yang kami pelihara. Musim kemarau pun, tidak susah air di sini,” kata suami Morida Siagian (55) ini.

Di salah satu kolam itu, Rudolf memelihara beberapa ikan emas yang setiap pagi dia sambangi untuk diberi makan. Lebih dari itu, memelihara ikan merupakan cara dia mendidik keempat anaknya tentang cara menumbuhkan kasih kepada sesama makhluk hidup. Dengan memelihara binatang, seseorang belajar untuk tidak egois. ”Dulu kami memelihara ayam. Anak-anak saya ajak membeli ayam, merawatnya sampai besar, bahkan sampai bertelur,” kata penyuka warna putih ini.

Keempat anaknya kini sudah tumbuh besar. Romora Edward Sitorus (29), lulusan Birmingham University, Inggris, bekerja di Jakarta. Riomardo Albert Sitorus (24), lulusan Universitas Indonesia, menjadi dokter di Timika. Anak ketiga, Evelyn Mirandha Sitorus (22), menjadi arsitek di Ubud, Bali. Rudolf dan Morida kini hanya tinggal bersama anak bungsunya, Dinah Myron Sitorus (18), yang masih SMA.

Ketika senggang atau libur mengajar, Rudolf kerap menghabiskan waktu di kolam tadi. Kalau tidak di sana, bisa dipastikan dia asyik membaca buku di salah satu sudut ruang tamu yang berdekatan dengan jendela. Di sana, ia membiarkan angin berembus lembut membelainya, sementara ia asyik melahap buku-buku bacaan. Dia juga kerap tenggelam dalam pekerjaannya sebagai dosen di ruang pribadinya di lantai dua yang demikian luas dan dihiasi belasan lukisan.

Rudolf maupun Morida kerap mengajak belasan mahasiswa ke rumah untuk menikmati keasrian sekaligus belajar mendesain rumah yang ramah lingkungan. ”Rumah ini menjadi inspirasi sekaligus tempat bersyukur. Sambil membersihkan rumah, hati saya sering berkata-kata tentang syukur kepada Tuhan atas tempat yang demikian membuat saya betah ini,” papar mantan Rektor Institut Sains dan Teknologi TD Pardede, Medan, ini.

Bahan bekas

Rumah ini didesain oleh Morida dan tentu saja dibantu Rudolf. Sekilas rumah di Jalan Sei Siput, Medan, ini mirip bangunan bergaya Eropa. Temboknya yang berbahan bata merah dibiarkan begitu saja tanpa lapisan cat. Di bagian dalam, puluhan lukisan menghiasi dinding-dinding berdampingan dengan jendela-jendela yang kalau dibuka, membuat orang leluasa melihat isi rumah.

Morida dan Rudolf sengaja membiarkan sepertiga bagian lantai dua bolong sehingga memungkinkan udara bebas merambat naik. Begitu pun cahaya langit dari genteng kaca di lantai dua leluasa menembus ruang tamu di lantai satu. ”Rumah itu perlu bernapas. Udara bisa naik ke atas. Debu-debu diserap oleh bata-bata merah sehingga mudah dibersihkan,” kata Rudolf.

Di antara ruang tamu dan dapur, terdapat tangga membentuk ujung anak panah. Ketika diterpa cahaya dari jendela, tangga itu begitu berdimensi seperti ujung anak panah bergerigi. Banyak tamu kepincut dengan tangga itu karena bagus untuk berfoto. Tangga itu sengaja didesain dengan mempertimbangkan sisi dekoratif, tanpa kehilangan aspek ergonomisnya.

”Tangga itu idealnya mempunyai tinggi 15 sampai 18 senti meter dan lebar antara 28 dan 30 sentimeter biar tidak bikin orang capek. Ini tingginya 18 sentimeter dan lebar 30 sentimeter,” kata Rudolf menjelaskan prinsip pembuatan tangga.

Sekitar dua pertiga bahan bangunan itu didapat dari bahan bekas. Kusen-kusen maupun lemari ukuran jumbo didapat dari tukang loak atau goni butut yang kerap memborong gudang-gudang rumah lama. Kebanyakan barang itu didapat dari Kesawan, kawasan kota tua di Kota Medan. Dua piano tua juga didapat dari berburu barang bekas itu.

Rudolf juga rajin berburu barang bekas di Pajak Ular, sebuah pasar yang terkenal menjual barang-barang antik. Beberapa barang koleksinya, seperti kacamata Rodenstock, dia dapat dari sana. Memang sejak kuliah di Ball State University, Amerika Serikat, pun, Rudolf dan istrinya kerap berburu ke pasar loak untuk mendapatkan barang-barang antik. Dari perburuan itu, mereka memboyong beberapa lampu di ruang tamu, juga ratusan patung burung hantu yang memenuhi salah satu lemari tua di ruang tamu. Kebetulan Morida gemar mengoleksi patung atau miniatur burung hantu.

Di dekat lemari itu terdapat kursi, meja, dan amben kayu jati yang mirip dengan perabot rumah-rumah tua di Yogyakarta. ”Iya, ini sengaja kami datangkan dari Jogja,” kata Rudolf.

Tak jauh dari meja kursi itu, terdapat beberapa perabotan Batak, termasuk alat penyimpan beras milik orang Batak Toba, Rumba, juga ada sapa, sejenis talam atau pinggan kayu untuk makan bersama.

Rudolf yang lahir di Parapat, tepian Danau Toba ini, tumbuh besar di Purwokerto dan Magelang, Jawa Tengah, mengikuti ayahnya, MM Sitorus, seorang tentara. Tumbuh di tengah budaya Jawa membuat Rudolf lekat dengan Jawa. Bahkan dia dan anak-anaknya fasih berbahasa Jawa. Namun, dia tak ingin kehilangan akar sebagai orang Batak.

Maka, Rudolf seolah menjadikan rumahnya sebagai irisan Batak-Jawa itu. Dia mengajarkan unggah-ungguh Jawa sekaligus prinsip dalihan natolu, kearifan lokal orang Batak tentang wawasan sosio-kultural orang Batak.

Pasangan suami-istri ini mencoba hidup selaras bersama alam dengan membangun hutan di belakang rumah sebagaimana suasana pedesaan di Jawa. Mereka juga memegang prinsip ruma atau jabu nabolon yang menitikberatkan pada keberhasilan (hagabean), kekayaan (hamoroan), dan kehormatan (hasangapon).

Dari rumah nan asri itu, Rudolf membiarkan anak-anaknya merantau untuk mandiri dan merengkuh keberhasilan, kekayaan, dan kehormatan seperti ajaran nenek moyang Batak.


Sumber: Kompas, 20/12/2015

No comments :