Dansa dan Pesta bagi Seluruh Amerika

Bagi Presiden AS Barack Obama, mengucapkan sumpah dan berdansa rupanya sama-sama sulit. Saat pengambilan sumpah, Obama sempat lupa kata-kata yang harus ditirukannya. Saat berdansa dalam 10 pesta pelantikan resmi, Obama juga berupaya keras agar tidak menginjak gaun yang dikenakan istrinya, Ibu Negara Michelle Obama.

Namun, itu semua tidak menyurutkan kegembiraan dalam pesta merayakan pelantikan Obama sebagai presiden ke-44 Amerika Serikat, Selasa (20/1) malam waktu setempat. Keduanya tampak menikmati momen mereka saat mulai berdansa untuk pertama kali dengan iringan lagu At Last yang dibawakan penyanyi Beyonce di ”Pesta Tetangga”.


Presiden AS Barack Obama dan Ibu Negara Michelle Obama berdansa di Southern Ball pada Selasa (20/1) malam di Washington DC.

Obama mengenakan tuksedo hitam dengan dasi putih, sementara Michelle mengenakan gaun panjang putih rancangan desainer muda kelahiran Taiwan, Jason Wu. Sesuai tradisi, gaun yang dikenakan Michelle segera disumbangkan ke Museum Sejarah Amerika di Smithsonian di Washington DC.

”Pertama-tama, seperti apa cantiknya istri saya?” ujar Obama sebelum dansa pertama, memuji penampilan sang istri.

Kepada USA Today, Obama menuturkan, dia khawatir soal dansanya. Michelle, kata Obama, akan menyindirnya tanpa ampun jika sampai dia menginjak kaki Michelle saat berdansa.

Sedikitnya 2.000 orang hadir dalam pesta itu. Deretan bintang top, seperti will.i.am, Mariah Carey, Mary J Blige, dan Maroon 5, turut memeriahkan pesta. Setelah itu, penyanyi legendaris Stevie Wonder, diikuti penyanyi lainnya, menyanyikan Signed, Sealed, Delivered bagi Obama dan Michelle.


Obama bersama istrinya, Michelle, serta kedua putrinya, Sasha & Malia

”Kami memperoleh ide Pesta Tetangga karena kita semua bertetangga. Jika Anda memikirkan kata itu, tetangga mengindikasikan bahwa Amerika terikat bersama oleh apa yang menyatukan kita, lebih daripada yang memisahkan kita,” kata Obama.

Di Pesta Kepala Staf, Obama dan Michelle bertukar mitra dansa dengan Sersan Margaret Herrara dan Sersan Elidio Guillen. Obama juga bersenda gurau dengan beberapa prajurit yang ditugaskan di Kabul, Afganistan, melalui sambungan video.

Pesta itu juga dimeriahkan penyanyi Jon Bon Jovi yang menghibur para tentara dan 300-an prajurit yang luka-luka akibat perang.

Terima kasih

Pesta berikutnya adalah Pesta Pemuda yang dimeriahkan oleh pemenang Grammy, Kanye West. Di pesta itu, Obama berterima kasih kepada pendukungnya yang berusia 18-35 tahun karena merekalah kekuatan di balik kampanyenya.

”Kalau Anda melihat riwayat kampanye yang diawali dengan perjalanan mustahil, saat tidak seorang pun memberi kita kesempatan, (kampanye) ini disegarkan oleh anak muda di seluruh Amerika,” ujarnya.

Pesta lainnya termasuk Pesta Kampung Halaman dan Pesta Wilayah Selatan. Pesta-pesta lain diselenggarakan di negara bagian asal Obama dan asal Wakil Presiden Joe Biden.

Dalam setiap pesta, Obama berbicara soal pemilu dan janji yang dibuatnya selama kampanye, termasuk memulihkan Amerika dari keterpurukan ekonomi. ”Anda meraih apa yang orang lain tidak percaya bisa diraih. Jika kita bisa memenangi pemilu seperti ini, kita bisa membuat orang bekerja seperti ini,” ujarnya.

Di luar 10 pesta resmi, banyak pesta-pesta digelar dan berlomba mendapat perhatian publik. Pesta-pesta itu berhasil mengubah malam yang dingin menjadi hangat oleh kegembiraan. Orang-orang yang tidak bisa hadir di National Mall tempat Obama dilantik bisa sedikit lega karena bisa ikut dalam berbagai pesta yang digelar.

Pada dansa di pesta terakhir, Obama memberi Michelle pelukan erat dan ciuman romantis. ”Malam ini kita berpesta, tetapi besok kerja dimulai,” kata Obama. (afp/reuters/fro)



Sumber: Kompas, 22 Januari 2009

Links:


Sejarah Baru AS

Gedung Putih Dengarkan Suara Dunia
oleh Budiarto Shambazy

WASHINGTON, SELASA — "Saya, Barack Hussein Obama, sungguh-sungguh bersumpah bahwa saya akan setia menjalankan tugas sebagai Presiden Amerika Serikat dan akan melestarikan, melindungi, dan mempertahankan konstitusi AS."


Barack Hussein Obama, disaksikan istrinya, Michelle, diambil sumpahnya sebagai presiden ke-44 Amerika Serikat oleh Ketua MA John Roberts di Capitol Hill, Washington DC, Selasa (20/1).

Amerika Serikat menapaki sejarah baru setelah Barack Obama diambil sumpahnya sebagai Presiden ke-44 Amerika Serikat, Selasa (20/1) pukul 12.00 waktu setempat atau Rabu tengah malam WIB. Pelantikan ini merupakan lompatan besar bagi AS di mana untuk pertama kalinya seorang keturunan kulit hitam menjadi presiden.

Sesuai tradisi, sebelum upacara pelantikan, Obama bersama istrinya, Michelle, minum kopi bersama Presiden George W Bush dan Ibu Negara Laura Bush di Gedung Putih. Setelah itu, mereka bersama-sama menuju Capitol Hill.

Rangkaian pelantikan disaksikan para mantan Presiden AS, Jimmy Carter, George HW Bush, dan Bill Clinton. Sebelum pengambilan sumpah, penyanyi Aretha Franklin membawakan My Country "Tis of Thee”.

Wakil presiden terpilih Joe Biden dilantik sebagai wakil presiden.


Joe Biden & Barack Obama

Obama mengulangi sumpah jabatan yang diucapkan Hakim Mahkamah Agung John Roberts dan menumpangkan tangan di atas Injil yang digunakan saat pelantikan Abraham Lincoln tahun 1861. Dia sempat lupa beberapa kata yang harus ditirukannya dan sambil tersenyum menoleh ke istrinya.

Dalam pidato pelantikan selama 20 menit, Obama menekankan kebesaran Amerika yang harus ditegakkan kembali di tengah situasi krisis dan perang di luar negeri. ”Hari ini saya katakan bahwa tantangan yang kita hadapi sangat nyata. (Tantangan) itu serius dan banyak. Tidak akan mudah diatasi atau selesai dalam waktu singkat. Akan tetapi ketahuilah, tantangan itu akan kita selesaikan,” katanya.

Amerika baru

”Telah tiba waktunya kita membangkitkan kembali semangat kita yang abadi,” kata Obama. Dia menjanjikan Amerika baru kepada dunia, Amerika yang mendengarkan suara dunia. Obama juga bersedia memenuhi janjinya untuk menyerahkan Irak kepada rakyatnya dan terus memperjuangkan perdamaian di Afganistan.

Di luar, hadirin yang diperkirakan mencapai 2 juta orang dari berbagai penjuru AS dan dunia memadati National Mall, ingin menjadi bagian dari momen bersejarah ini. Udara musim dingin yang menusuk tidak mampu menghentikan kegembiraan mereka.

”Selamat datang, Pak Presiden”, ”Terima kasih, Pak Presiden”, bisa dibaca di poster-poster yang dibawa orang-orang. Mereka menyaksikan upacara pelantikan dari layar-layar lebar yang dipasang hingga lebih dari 1 kilometer jauhnya dari Capitol Hill.


Capitol Hill, Washington
(sumber foto: Kompas/Budiarto Shambazy)

”Setiap kali Obama berbicara benar-benar menginspirasi. Kami begitu senang dengan perubahan ini,” kata Lari Taylor asal Middletown, New Jersey. Dia datang tanpa tiket ke Washington hanya demi mendengar pesan harapan dan perubahan.

”Energi di jalan-jalan ini belum pernah saya lihat sebelumnya. Orang berjalan lebih ringan, berdiri lebih tinggi, dan saling bergandengan. Rasanya seperti harapan. Rasanya seperti berbagi kebahagiaan,” kata Nancy Wigal yang tinggal di Mount Vernon Square, seperti dikutip CNN.

Upacara pelantikan dilanjutkan dengan Parade Pelantikan ke-56 yang digelar sepanjang Pennsylvania Avenue. Masyarakat tumpah ruah di kedua sisi jalan untuk menyaksikan Obama dari dekat.(ap/afp/reuters/bbc/fro)

Sumber: Kompas, 21 Januari 2009


Links:


Di Tanah Jawa Mereka Ikut Berjuang

Oleh Mukhlis Paeni dan Kenedi Nurhan

Mengetahui ada darah Bugis-Makassar mengalir dalam tubuh Wahidin Soedirohoesodo (1852-1917), Adin mengaku kaget bercampur bangga. Pada satu senja, di kompleks Pemakaman Mlati, Sleman, Yogyakarta, lelaki Bugis-Makassar yang menikahi perempuan asal Jepara ini pun bersimpuh di sisi makam pahlawan nasional penggagas kelahiran Budi Utomo tersebut.

Semula Adin—nama lengkapnya Suryadin Laoddang—tidak percaya pada fakta baru yang ia terima. Bukankah dalam sejarah resmi yang ditulis selama ini disebutkan bahwa dokter Wahidin Soedirohoesodo adalah priayi Jawa? Potret sang tokoh pun selalu ditampilkan dalam busana lelaki ningrat Jawa, lengkap dengan belangkon di kepalanya.

Akan tetapi, melalui pendekatan genealogis diketahui bahwa tokoh pergerakan nasional tersebut ternyata masih keturunan Karaeng Daeng Naba. Bangsawan Bugis-Makassar ini mengembara ke Jawa setelah Kerajaan Gowa takluk pada Kompeni-Belanda tahun 1669. Di Jawa, Daeng Naba terlibat dalam intrik perebutan kekuasaan di pusat tanah Jawa (baca: Mataram), di mana Trunajaya tampil sebagai tokoh antagonisnya.

Atas jasa Daeng Naba yang ikut membantu Amangkurat II meredam pemberontakan Trunajaya (1670-1679), ia dinikahkan oleh sang penguasa Mataram dengan putri Tumenggung Sontoyodo II. Selain itu, ia juga dihadiahi ”tanah perdikan” yang sekarang berada di daerah Mlati, Sleman, Yogyakarta. Dari hasil perkawinan campuran itu, seabad kemudian lahir priayi Jawa terkemuka bernama Mas Ngabehi Wahidin Soedirohoesodo.

Majalah Pesat edisi 6 Februari 1952 memuat ulasan tentang hal itu, di bawah subjudul: ”Siapakah dr Wahidin?”. Fakta sejarah ini juga muncul di Berita Kebudayaan edisi 28 November 1952. Ragi Buana edisi Mei 1959 yang mengutip keterangan yang pernah disampaikan dokter Radjiman Wediodiningrat (1879- 1952)—pendiri Budi Utomo yang juga kerabat Wahidin—ikut memperkuat fakta sejarah tersebut.

Bahwa, ”Wahidin berdarah tjampuran suku Djawa dan Makassar, ialah keturunan Dain Kraing Nobo, seorang pradjurit jang dalam djaman Mataram membantu Sunan Amangkurat Tegal Arum melawan Trunodjojo....”

Kenyataan bahwa Wahidin bukanlah orang Jawa asli kian menggugah kesadaran kebangsaan Adin, sesungguhnya betapa tipis batas-batas etnisitas di negeri ini. ”Sayangnya, tidak banyak orang yang tahu kalau Wahidin— juga Radjiman Wediodiningrat— berdarah Bugis-Makassar,” ujarnya.

Masih di kompleks pemakaman yang sama, di luar cungkup utama yang sudah dibangun pemerintah setelah Wahidin Soedirohoesodo ditetapkan sebagai pahlawan nasional, Adin juga menyempatkan berziarah ke makam sang leluhur: Daeng Naba! Dua deret di depan makam Daeng Naba, 32 prajurit dari Gowa (tanpa nama) juga dimakamkan di sana.

Aliansi kekuasaan

Prajurit Bugisan mengikuti prosesi Grebeg Besar di Alun-alun Utara, Yogyakarta, Desember 2008. Bersama prajurit Daeng, prajurit Bugisan adalah kesatuan yang dibentuk pada zaman Mataram sebagai penghargaan atas jasa laskar Bugis-Makassar yang ikut meredam pemberontakan Trunajaya.

Sejarah mencatat, perang Trunajaya melawan Mataram dan Kompeni (1670-1679) juga melibatkan prajurit-prajurit Bugis- Makassar. Dua bangsawan dari Kerajaan Gowa-Tallo, Karaeng Galesong dan Daeng Naba, berada di dua kubu yang berbeda. Karaeng Galesong membantu Trunajaya, sedangkan Daeng Naba yang ”menyusup” ke kesatuan Kompeni-Belanda menopang kekuatan Mataram.

Galesong yang bernama lengkap I Maninrori Karaeng Galesong adalah satu di antara sekian banyak bangsawan Bugis- Makassar yang pergi dari negerinya karena tidak puas atas penerapan Perjanjian Bongaya (1667), menyusul jatuhnya Benteng Somba Opu ke tangan Belanda. Semula ia mendarat di Banten, menyusul rekannya sesama bangsawan yang telah lebih dahulu tiba di sana, yakni Karaeng Bontomarannu.

Situasi genting di Banten memaksa Galesong dan Bontomarannu berlayar ke timur, ke daerah Jepara, kemudian menetap di Demung, tak jauh dari Surabaya sekarang. Bersama sekitar 2.000 pengikutnya, Galesong bersekutu dengan Trunajaya untuk berperang melawan Mataram. Persekutuan itu juga ditandai ikatan perkawinan antara Galesong dan putri Trunajaya, Suratna, pada Desember 1675.

Ketika pemberontakan Trunajaya benar-benar berkobar, di bawah komando Galesong dan Bontomarannu, orang-orang Bugis- Makassar mulai menyerang dan membakar pelabuhan-pelabuhan di pesisir utara bagian timur Jawa. Mataram kian terdesak. Bahkan, dalam serbuan ke pedalaman, pusat kekuasaan Mataram di Plered sempat direbut Trunajaya.

Baru setelah campur tangan Belanda, pemberontakan Trunajaya bisa diredam. Salah satu tokoh kunci di balik keberhasilan Mataram mengakhiri pemberontakan Trunajaya adalah Karaeng Daeng Naba. Berkat usaha Daeng Naba membujuk Galesong—yang disebut Naba sebagai adiknya— agar menghentikan perang dengan Mataram, pemberontakan Trunajaya akhirnya bisa ditumpas.

Drama sejarah ini berakhir tragis. Galesong yang mematuhi saran Daeng Naba dianggap berkhianat dan dibunuh mertuanya, Trunajaya. Adapun Trunajaya akhirnya tewas di tangan Amangkurat II pada tahun 1679.

Akan halnya Daeng Naba yang bernama lengkap I Manggaleng Karaeng Daeng Naba, putra I Manninori J Karetojeng, seterusnya dipercaya menjadi bagian pasukan Mataram. Dengan kekuatan 2.500 kavaleri, laskar Daeng Naba yang terdiri atas orang- orang Bugis-Makassar tersebut menjadi pasukan inti Kerajaan Mataram ketika itu.

”Romantika kisah para leluhurku telah membuat aku semakin sadar bahwa perjuangan bangsaku telah melalui sejarah yang sangat panjang,” kata Adin.

Sejarah memang penuh romantika. Kehadiran orang-orang Bugis-Makassar di berbagai wilayah di Tanah Air, termasuk di tanah Jawa, tak bisa disangkal merupakan bagian dari sejarah perjalanan bangsa ini ”menjadi Indonesia”. Wahidin adalah ”buah” dari romantika sejarah, sosok manusia Indonesia abad XIX yang lahir dari percampuran darah ”hero” Bugis-Makassar dan kearifan Jawa.

Semakin jelas bahwa bangsa besar ini lahir dari pergulatan antaretnis. Bila muncul klaim bahwa hanya golongan tertentu yang paling berjasa dalam proses bangsa ini ”menjadi Indonesia”, tentu saja pandangan semacam itu sungguh menyesatkan....

Muhklis Paeni, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia

Sumber: Kompas, 16 Januari 2009

Midori, Berbagi Musik kepada Dunia


Bersama biolanya, Midori Goto melintasi batas negara. Dia mengusung keindahan musik sebagai bagian dari pengabdian, sekaligus misi pendidikan yang ingin dijalankannya bagi komunitas masyarakat dunia. Indonesia kali ini menjadi negara yang dikunjungi Midori bersama Music Sharing, satu dari tiga lembaga nonprofit yang dia dirikan untuk menjalankan misi edukasinya.

Midori dan ketiga musisi lain yang mendampinginya kali ini, Tee Khoon Tang (pemain biola asal Singapura), Carmen Flores (pemain biola kelahiran Filipina), dan Martin Smith (pemain selo asal Jerman), bersafari mengunjungi sejumlah sekolah dan panti asuhan di Jakarta, Medan, dan Yogyakarta. Mereka memainkan musik gubahan komposer-komposer dunia dan berkomunikasi tentang musik yang mereka mainkan.

Beberapa tempat yang dikunjungi Midori selama berada di Indonesia adalah Sekolah Darurat Kartini di Jakarta, Pusat Rehabilitasi Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (Yakkum), dan SD Negeri 2 Pakem, Sleman, DI Yogyakarta, serta Rumah Anak Madani dan Panti Asuhan Sungai Air Hidup di Medan.

Midori percaya, jika anak- anak pada usianya yang masih muda mendapat kesempatan ”menerima” musik dari mereka yang memiliki kemampuan tinggi, pengertian atas estetika dan budaya anak-anak itu akan meningkat. Demikian juga dengan kreativitas dan kepedulian mereka terhadap lingkungan.

Dua tahun sebelumnya, bersama Music Sharing, Midori mengunjungi Kamboja dan Vietnam. Lalu, bersama dua lembaga lain yang juga didirikannya, Midori and Friends dan Partners in Performance, dia telah mengunjungi banyak negara untuk misi yang sama seperti apa yang dilakukannya di Indonesia. Karena itulah, tidak heran kalau jadwal konsernya relatif padat.

”Saya tidak pernah merasa lelah melakukan semua aktivitas ini. Tujuan saya adalah untuk berbagi dan memainkan musik untuk orang lain agar mereka bersentuhan dengan musik,” kata Midori pada pekan terakhir tahun 2008 setelah ia tampil di hadapan siswa-siswa International Youth Orchestra di kawasan Pondok Labu, Jakarta Selatan.

Pada setiap penampilannya, Midori tidak pernah lupa memperkenalkan alat-alat musik yang mereka mainkan. Ia juga ”memperkenalkan” para komposernya dan bercerita tentang lagu-lagu yang mereka gubah.

Sebagai ”imbalannya”, Midori dan musisi lain yang bermain bersama dia lalu berkesempatan menikmati suguhan musik dari anak-anak yang mereka kunjungi.

”Saya pikir sangat penting untuk berbagi keindahan musik kepada banyak orang, terutama anak-anak. Musik dan pertukaran budaya itu menjadi bagian dari pendidikan,” katanya.

Lalu, lanjutnya, ”Pendidikan itu adalah sesuatu hal yang sangat penting dan bersifat universal untuk manusia, terutama untuk anak-anak. Maka, menjadi tanggung jawab kita semua untuk memberikan pendidikan sebaik mungkin untuk mereka. Saya melakukannya dengan cara mengunjungi sebanyak mungkin sekolah di berbagai negara.”

Bagian penting

Midori memilih musik sebagai media karena musik menjadi bagian penting dalam hidupnya. ”Musik juga menjadi alasan saya untuk terhubung dengan berbagai komunitas,” katanya.

Sebenarnya, Midori menambahkan, apa yang dia lakukan itu adalah sesuatu hal yang diinginkan hampir semua orang. Hidup bersama orang lain, berbicara dengan mereka, dan berbagi ide.

”Saya rasa ini adalah hal yang sangat alamiah dari seorang manusia. Saya melakukan itu semua melalui musik. Saya senang bekerja sama dengan para musisi berusia muda. Dengan begitu, saya berharap mereka pun bisa belajar melakukan hal serupa,” katanya.

Kendati Midori adalah musisi yang juga tampil secara profesional, dia tidak membedakan antara bermain demi profesi dan untuk kegiatan sosial. ”Bagi saya, yang paling utama adalah bermain musik dan berbagi tentang musik itu. Tidak ada yang berbeda ketika saya bermain secara profesional atau kerja sosial seperti ini. Selalu ada waktu berbagi dan bermain musik bersama-sama,” ujarnya.

Belajar dari ibu

Midori lahir di Osaka, Jepang, tahun 1971. Ia belajar biola dari ibunya, Setsu Goto, sejak usia 6 tahun. Dia menghabiskan 6-7 jam setiap hari untuk belajar biola. Pada usia 7 tahun ia sudah tampil di depan umum.

Tahun 1982 bakat bermain biola Midori ditemukan konduktor Zubin Mehta. Mehta lalu mengundangnya sebagai solois tamu dalam konser tahunan New York Philharmonic’s.

Penampilannya mendapat sambutan hadirin dan membuka jalan bagi karier bermusiknya. Pada tahun yang sama, Midori pindah ke New York dan melanjutkan belajar biola di The Juilliard School.

Midori masuk dapur rekaman untuk pertama kali pada usia 14 tahun. Ia memainkan karya Bach dan Vivaldi bersama St Paul Chamber Orchestra dengan konduktor Pinchas Zukerman. Belakangan ini ia juga rekaman di bawah label Sony BMG untuk dua album. Satu album gabungan sonata JS Bach dan Bartok, serta dua CD kompilasi, Essential Midori.

Penghargaan

Sejumlah penghargaan diraih Midori, di antaranya Deutsche Schallplattenpreis untuk permainannya dalam resital Jerman bersama pianis Robert McDonald. Ia juga meraih Avery Fisher Prize pada 2001 untuk permainan solonya.

Selain dengan Music Sharing, Midori juga melakukan misi pendidikan bersama Midori and Friends dan Partners in Performance. Midori and Friends menyediakan pendidikan musik, pelatihan, dan konser untuk anak-anak dari keluarga tak mampu. Adapun dengan Partners in Performance ia menyuguhkan musik bagi masyarakat kelas atas dalam komunitas terbatas.

Di luar kegiatan dengan tiga lembaga yang didirikannya itu, Midori tetap menjalankan misi pendidikan dan kerja sosialnya dalam berbagai bentuk. Tahun 2007, misalnya, dia diangkat menjadi Duta Perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) oleh Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon. Kegiatannya dinilai bisa menjadi model yang patut dicontoh sebagaimana yang menjadi tujuan PBB selama ini.

Tentang kegiatan dan prestasi itu, Midori hanya mengungkapkan, impian terbesarnya adalah mengabdi kepada masyarakat dunia. Ia ingin bisa membagi apa yang dimilikinya kepada mereka yang membutuhkan agar semakin banyak orang bisa seperti dia. ”Mendapatkan begitu banyak hal indah di dunia dan pengalaman terbaik dalam hidup.”

”Pada setiap apa yang saya lakukan selalu ada pengalaman dan pelajaran yang menyenangkan. Ini juga menjadi kesempatan besar bertemu banyak orang melalui musik. Bermain musik bersama dengan para musisi dan para partisipan alamiah di mana pun tempatnya itu indah. Saya selalu bersemangat menjalankannya,” kata Midori.

Itu pula yang dia rasakan ketika bermain biola dan menikmati permainan angklung dari siswa-siswi dari keluarga miskin di Sekolah Darurat Kartini yang terletak di kawasan padat, Jalan Lodan, Jakarta Utara.

(DWI AS SETIANINGSIH)


BIODATA

Nama: Midori Goto

Lahir: Osaka, Jepang, 1971

Profesi:

- Musisi

- Pekerja sosial

- Duta Perdamaian PBB

- Pekerjaan: Ketua Jurusan Musik Gesek di University of Southern California’s Thornton School of Music, AS

Pendidikan:

- 2000: Sarjana Psikologi dan Jender Gallatin School of New York University, AS, (magna cum laude)

- 2005: Master Psikologi

Hobi: Membaca, menulis, dan bermain teater


Sumber: Kompas, 8 Januari 2009

Java New Year's Concert 2009

Setelah melalui persiapan hampir sepanjang tahun 2008, akhirnya Java New Year's Concert (JNYC) 2009 digelar di Taman Budaya Jogjakarta tanggal 1 Januari 2009 dan di Taman Ismail Marzuki 4 Januari 2009. Tahun ini judulnya Pianississimo, karena menampilkan tiga buah grand piano dengan 6 orang pemain yang berarti 60 jari-jari.

Ananda Sukarlan, Bernadeta Astari, Joseph Kristanto

Alfred Young Sugiri dan Elisabeth Alford

Konser kali ini, di samping mengetengahkan Ananda Sukarlan, juga soprano muda terbaik saat ini, Bernadetta Astari (20), yang sedang menempuh pendidikan di Belanda, serta bariton Joseph Kristanto yang baru menyelesaikan pendidikan pascasarjana di Hochschule fur Musik, Freiburg. Juga tampil Elizabeth Ashford dari Inggris pada flute, dan tentunya Chendra Panatan sebagai koreografer.

Inge Melania Buniardi

Konser berlangsung semarak karena penampilan juara dan finalis Ananda Sukarlan Award 2008: Inge Melania Buniardi, Randy Ryan, Handy Suroyyo, Victoria Audrey Sarasvathi, Sheila Victoria Pietono, dan Alfred Young Sugiri. Kesemuanya terbilang amat muda (belasan tahun) namun telah mampu mencapai tingkat kesulitan permainan piano layaknya pianis dewasa.


Sheila, Victoria, Randy, Inge

Rupanya kehadiran JNYC yang keempat kalinya ini telah mendapat tempat di hati para penggemar musik klasik di Indonesia. Penampilan di Jogja dan Jakarta telah begitu memukau sehingga panitia terpaksa menjual tiket berdiri untuk menambah ruang bagi penonton yang membludak.

Selain merayakan pergantian tahun, konser ini juga untuk memperingati dua hal penting yang terjadi pada 2009.

Yang pertama, peringatan 200 tahun wafatnya komponis Austria, Joseph Haydn (1732-1809). Untuk itu, Ananda membuka konser dengan dua karya pendek: Haydn: menuet sur le nom de Hay karya Maurice Ravel, dan karya Ananda yang dimainkan untuk tangan kiri saja, yakni Haydn Seek.

for left hand only

Sedang Randy Ryan, pianis yang berusia 13 tahun ini memainkan Sonata. Karya Haydn itu biasanya dimainkan oleh pianis dewasa. Tapi Ryan membawakannya tanpa kesulitan.

Victoria Audrey & Randy Ryan

Peristiwa kedua adalah berakhirnya pemerintahan George W. Bush. Komposisi I Sit and Look Out diciptakan Ananda saat ia merasa sedih atas terpilihnya Bush pada re-election 2004. Karya ini diciptakan Ananda berdasarkan puisi penyair besar Amerika, Walt Whitman.

Selain itu, sejumlah komposisi Ananda Sukarlan yang dimainkan pada malam itu merupakan inspirasi dari puisi-puisi karya Eka Budianta, Hasan Aspahani, Medy Loekito dan Ook Nugroho.

Ada pula puisi karya Sapardi Djoko Damono, yakni 4 Sonet Untuk Andy, Pengamen, yang dihadiahkan kepada Ananda. Ananda menerjemahkan puisi itu menjadi sebuah karya piano. Judulnya Mahasunyi yang Meniti Butir-butir Gerimis.


"As i always say, i am inspired by people," ujar Ananda. Ia pun juga menampilkan nomor-nomor yang inspirasinya didapat dari lukisan, misalnya yang berjudul Rescuing Ariadne. Karya paduan flute dan piano itu terinspirasi dari lukisan Bacchus and Ariadne karya pelukis Italia, Titian, yang berjudul Bacchus & Ariadne.

"Karya dan pemikiran orang-orang, cinta serta persahabatan adalah hal-hal yang telah dan masih sangat menginspirasi bagi saya." Maka pada karya lukisan Asep Berlian: Dua Jiwa yang meski lukisan ini karya pelukis Indonesia, Ananda tidak melakukan proses dialog dengan pelukisnya. Ia murni menginterpretasikan maknanya secara sepihak setelah melihat lukisan ini di rumah Arifin Panigoro. Hingga terciptalah komposisi berjudul Schumann’s Psychosis yang ditampilkan dengan koreografi tari karya Chendra Panatan. Karya ini merupakan pandangan Ananda terhadap kelainan multiple personality yang diderita komponis besar Robert Schumann.



Schumann's Psychosis

Karya ini ditulis untuk 3 piano dengan 2 pianis pada masing-masing piano, maka totalnya ada 12 tangan dengan 60 jari-jari. Ini merupakan karya original pertama di dunia yang ditulis dengan formasi demikian. Ananda telah menorehkan sejarah dalam permainan piano.

Karya tari juga ditampilkan Chendra dalam karya Ananda untuk dua piano: The Humiliation of Drupadi. Dalam karya ini, tampil bagian di mana Dewi Drupadi dipermalukan saat Pandawa kalah bermain judi dengan Kurawa.

The Humiliation of Drupadi
Dalam karya The Humiliation of Drupadi dan Schumann Psychosis, tiga penari muda berbakat dengan prestasi internasional, yaitu Adisna K. Arimawan, Marich Prakoso dan Siko Setyanto menampilkan gerakan yang sangat memukau.

Menjelang selesainya pertunjukan, Ananda memperkenalkan sebuah karya Andhanu Candana, komponis belia berusia 15 tahun. Andhanu menulis Fantasie yang khusus dimainkan dengan empat tangan yang dimainkan pada satu piano.

Andhanu Candana

Di ujung acara, Andhanu naik ke panggung dan mendapatkan aplaus yang sangat panjang dari penonton. Ananda menjulukinya "sangat berbakat".

Seni musik, tari, syair dan lukisan berpadu dengan harmonis di JNYC 2009 ini. Sangat luar biasa.


Pada penutupan acara diserahkan bunga dan beasiswa pianis muda sebesar Rp 109 juta oleh Juliana Leo, Aurora Tambunan, Dedi Panigoro, Gayatri Iskandar dan Giring 'Nidji'.



Sampai bertemu di Java Music Camp 2009 di Jogjakarta bulan Desember 2009 mendatang...!



links:

It's Quite Amazing!

Koran Tempo - Nada Puisi Pianississimo


Sinar Harapan - Dahsyatnya Piano

Media Indonesia - World Premiere Ananda Sukarlan

Satu-satunya Situs Kota di Indonesia

Mengapa perusakan situs bekas ibu kota Kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto, menjadi begitu menyesakkan? Selain karena tindakan itu menunjukkan pengabaian dan penghinaan terhadap sejarah, Situs Trowulan juga memiliki arti yang sangat istimewa secara arkeologis.

Arkeolog senior dari UI, Prof Dr Mundardjito, mengatakan, Situs Trowulan adalah satu-satunya peninggalan purbakala berbentuk kota dari era kerajaan-kerajaan kuno di masa klasik Nusantara, dari abad V sampai XV Masehi.

"Dari kerajaan lain yang tersisa hanya candi-candi atau prasasti," ungkap Mundardjito.


Buruh pembuat bata merah mengolah tanah di lokasi yang bersebelahan dengan Candi Brahu peninggalan zaman Majapahit di Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Selasa (30/12). Keberadaan ratusan industri bata merah di Trowulan menjadi salah satu faktor banyaknya sisa bangunan purbakala peninggalan Majapahit yang rusak bahkan hilang karena aktivitas penggalian tanah.

Peninggalan berwujud kota sangat penting karena dengan mengetahui lanskap urban masa lalu kita bisa mempelajari kehidupan masyarakat pada waktu itu secara lengkap. Maka, jika Yunani memiliki Acropolis di Athena, Italia menyimpan reruntuhan Pompeii, Kamboja bangga dengan Angkor, dan Peru masih setia merawat Machu Picchu, Indonesia hanya memiliki Trowulan yang hingga saat ini pun belum tergali sempurna.

Sejak Raffles

Menurut buku Mengenal Kepurbakalaan Majapahit di Daerah Trowulan, penelitian ilmiah pertama terhadap Trowulan dilakukan oleh Wardenaar atas perintah Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles pada tahun 1815. Hasil penelitian itu kemudian dimasukkan Raffles di bukunya, History of Java.

Sepanjang abad ke-19, penelitian tentang Trowulan dilakukan oleh pihak kolonial Belanda. Tanggal 24 April 1924, Bupati Mojokerto RAA Kromodjojo Adinegoro bekerja sama dengan seorang arsitek dari Belanda, Ir Henry Maclaine Pont, mendirikan komunitas peneliti peninggalan Majapahit bernama Oudheeidkundige Vereeneging Majapahit (OVM). Dua tahun kemudian, mereka merintis berdirinya Museum Trowulan yang pertama.

Gerbang Museum

Tahun 1942, museum tersebut ditutup seiring dengan masuknya Jepang. Pada periode inilah, menurut Mundardjito, banyak hasil penelitian tentang peninggalan Majapahit di Trowulan yang hilang atau terbakar. ”Saya sedang mencoba mengumpulkan catatan penelitian sejak kemerdekaan hingga dari Pelita I sampai sekarang, tetapi sudah susah juga,” tuturnya.

Mundardjito berharap penggalian terhadap Situs Trowulan terus berlanjut sehingga suatu saat nanti seluruh kota itu akan tersingkap dan bisa dinikmati publik, seperti di Acropolis atau Pompeii. ”Selama ini, setelah kami gali dan teliti, situs itu kami tutup plastik dan diuruk tanah lagi supaya tidak rusak. Nanti setelah seluruh kota terungkap dan selesai diteliti, semua situs kami buka kembali dan menata untuk tujuan wisata sejarah,” papar Mundardjito.

Namun, sebelum cita-cita itu terlaksana, situs yang ada pun sudah semakin porak-poranda.... (DHF)



Sumber: Kompas, 5 Januari 2009

Bayang-bayang Sebuah Kejayaan

Masihkah kita harus bertanya, seberapa besar makna Majapahit bagi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia ini?

Sejak duduk di bangku sekolah dasar, setiap orang Indonesia telah diajari betapa besar arti Kerajaan Majapahit bagi bangsa ini. Semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika kita ambil dari karya sastra era Majapahit, kitab Sutasoma karya Mpu Tantular.

Sang Merah Putih pun sering disebut-sebut diilhami panji-panji Gula Klapa dari Majapahit, yang memiliki warna merah seperti gula (jawa) dan putih seperti daging kelapa. Lebih jauh dari itu, gagasan Wawasan Nusantara (dan kata nusantara itu sendiri) yang menjadi landasan bagi konsep NKRI juga diambil dari Majapahit.

Sejarawan MC Ricklefs dalam bukunya, A History of Modern Indonesia Since C.1200 (Stanford University Press, 2001) menyebutkan, memori akan kebesaran Majapahit hidup terus di Indonesia dan dianggap telah memunculkan gagasan awal tentang batas- batas politik yang digunakan RI saat ini.

Para raja kerajaan-kerajaan Islam yang muncul di Jawa setelah Majapahit selalu melihat ke belakang dengan bangga dan berusaha mengaitkan dirinya sebagai keturunan langsung atau paling tidak penerus kebesaran Majapahit. Hingga di abad ke-21 ini, masyarakat dan para pejabat pemerintahan kita masih terus berikhtiar membuat ”koneksi” dengan Majapahit.

Mengenang kejayaan


Beberapa titik di kawasan bekas ibu kota Majapahit di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, hingga saat ini selalu dikunjungi masyarakat untuk berziarah. Salah satu titik ziarah itu adalah Pendapa Agung, sebuah tempat yang dipercaya masyarakat sebagai lokasi asli pendapa Kerajaan Majapahit di masa lalu.

”Dari artis sampai bapak- bapak pejabat, mulai dari para jenderal sampai presiden, sering datang ke sini untuk berziarah,” ungkap Zaini, warga Trowulan yang hari Minggu (28/12) malam sedang berziarah ke Pendapa Agung.

Menurut buku Mengenal Kepurbakalaan Majapahit di Daerah Trowulan yang diterbitkan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jatim, secara arkeologis di lokasi itu hanya ditemukan 26 umpak batu, tiang batu miring, dan struktur batu bata di bawah lokasi makam Kubur Agung.

Tiang batu miring itu dianggap sebagai tonggak tempat menambatkan gajah milik raja, sementara lokasi Kubur Agung dipercaya sebagai titik yang digunakan Raden Wijaya untuk bertapa sebelum mendirikan Majapahit pada tahun 1292 (ada juga yang menyebut 1293) dan tempat Gajah Mada memantapkan hati sebelum mengucapkan Sumpah Amukti Palapa. ”Ya, di sini ini kejayaan bangsa kita berawal, Mas!” tukas Joko, seorang peziarah dari Rembang, Jawa Tengah, pada hari Minggu yang bertepatan dengan Malam 1 Suro itu.

Tak sejalan

Sejumlah pengunjung mengamati situs purbakala peninggalan Majapahit yang baru ditemukan di lokasi pembuatan batu bata merah di Desa Wates Umpak, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, Minggu (4/1). Luasnya wilayah bekas ibu kota Majapahit di Trowulan membuat warga sekitar dengan mudah dapat menemukan situs purbakala saat menggali tanah.

Namun, keterikatan dan kepedulian dalam semangat itu kadang tak sejalan dengan kepedulian dalam bentuk fisik. Sudah sejak puluhan tahun silam peninggalan fisik sisa-sisa ibu kota Majapahit di Trowulan terkikis kegiatan ekonomi penduduk di sekitarnya.

Penggalian tanah untuk membuat sawah atau industri batu bata di sekitar Trowulan berlangsung liar tanpa kendali, padahal di mana pun kita menggali di daerah Trowulan, hampir dapat dipastikan akan menemukan sisa-sisa peninggalan Majapahit.

Seperti yang terlihat hari Selasa (30/12), tenda-tenda tempat pembakaran batu bata berderet hanya beberapa meter dari situs Candi Brahu dan Candi Gentong di Desa Bejijong, Trowulan.

Tanah persawahan di sekitar tempat pembakaran itu pun sudah menganga, tergali hingga kedalaman satu meter, sekadar untuk dicetak menjadi batu bata. Ironisnya, terpal- terpal plastik untuk melindungi bata yang belum kering itu ditindih bongkahan batu bata kuno dari era Majapahit. ”Kita gali sedikit saja pasti akan ketemu peninggalan Majapahit. Mulai dari pecahan gerabah, fondasi bata, bahkan pernah ada yang nemu emas,” ungkap Rusiono (46), salah satu pembuat batu bata di Bejijong.

Jika menemukan struktur bangunan kuno, para pembuat bata itu tak ragu untuk membongkarnya meski mereka sadar itu berasal dari zaman nenek moyang. Dulu, saat fondasi-fondasi itu masih banyak ditemukan, bongkaran bata kuno itu dijual dengan harga Rp 1.000 per biji. ”Dulu banyak yang nyari bata seperti ini. Tetapi, sekarang sudah jarang karena batanya tinggal sedikit. Kami juga sudah diperingatkan pemerintah untuk tidak boleh membongkar bangunan kuno lagi,” kata Pomo (49), perajin bata lainnya.

Andil

Gapura Wringinlawang (Gapura Jati Paser)

Kerusakan skala besar itu tidak lepas dari andil pemerintah. Sejak awal, niat pemerintah untuk melindungi situs ibu kota Majapahit memang tak pernah total. Dari luas keseluruhan kota kuno yang diperkirakan berukuran 9 x 11 kilometer persegi tersebut, pemerintah hanya menguasai sebidang tanah seluas 57.255 meter persegi dan belum bertambah hingga saat ini. Di luar lahan itu, pemerintah tak bisa berbuat banyak mencegah kerusakan yang terjadi.

Tanah, yang berada dekat Situs Kolam Segaran, itu menjadi lokasi berdirinya Balai Penyelamatan Arca, yang lebih dikenal masyarakat sebagai Museum Trowulan dan sejak 1 Januari 2007 diubah namanya menjadi Pusat Informasi Majapahit. Di lapangan di sebelah museum itulah para arkeolog melakukan ekskavasi dan penelitian arkeologi, karena di bawahnya ternyata tersimpan peninggalan situs kota Majapahit yang sangat kaya.

Namun kini, di lahan yang tak seberapa luas tetapi sangat berharga dan harus dilindungi itu, pemerintah sendiri justru ugal-ugalan mendirikan bangunan beton Trowulan Information Center yang menghancurkan peninggalan purbakala di bawahnya.

Di saat para pemimpin Majapahit dulu mengajarkan kepada kita untuk bercita-cita luhur dan berpandangan jauh ke depan, para pejabat Indonesia masa kini, yang terlibat dalam pendirian bangunan beton itu, sedang mendemonstrasikan penghambaan terhadap kepentingan sesaat dengan mengabaikan akal sehat dan hati nurani.

(DAHONO FITRIANTO & INGKI RINALDI)

Sumber: Kompas, 5 Januari 2009

The Hills & Bung Ciil

"The most romantic hotel in Indonesia...," demikian ucapan Joop Ave, yang pada saat itu sedang menjabat Menteri Pariwisata dan Kebudayaan RI ketika kami mengundangnya untuk meresmikan Novotel Bukittinggi (kini The Hills Bukittinggi Hotel & Convention) pada 10 November 1995. Memang hotel tersebut adalah hotel pertama berbintang empat yang cantik dan indah yang pernah dibangun di Sumatera dan bahkan hingga saat ini setelah lebih dari sepuluh tahun berdiri.

Novotel Bukittinggi didesain khusus oleh arsitek Thailand Lek Bunnag serta Bill Bensley dengan menampilkan sentuhan dan nuansa khas Minangkabau serta taburan konsep arsitektur Islam.


Terletak tepat di jantung kota, Novotel Bukittinggi dikelilingi hamparan panorama Gunung Singgalang dan Ngarai Sianok yang romantik dan syahdu. Apalagi hotel ini hanya berjarak selempar batu dengan ikon tanah Minang, yakni Jam Gadang, serta patung almarhum Muhammad Hatta, Wakil Presiden RI yang pertama.

Setahun setelah pembukaannya, Novotel Bukittinggi memperoleh penghargaan dari Indonesian Architect Association untuk desain yang ada di sekitar hotel. Dan pada penganugerahan Padang Turism Award, terpilih sebagai hotel berbintang terbaik 2007.

Rara, Dinda, Gayatri, Putu, Lucy

Proyek ini telah melibatkan banyak tenaga-tenaga senior di bidangnya maupun juga tenaga muda, antara lain: Hendirman Sapiie, Abdullah B. Ritonga, Avi Koesnovagril, Hengky Himawan, Dharma Setiawan, Joko, Rara Rengganis Dewi, Putu Swasti, Gayatri, Nenden, Evi Hasan, dan lain-lain.

Peranan Bung Ciil untuk Novotel Bukittinggi

Hotel ini juga tak akan terbangun tanpa peran serta Almarhum Dr. Sjahrir (biasa dipanggil Bung Ciil) yang saat itu menjabat Komisaris Utama PT. Grahamas Citrawisata Tbk (PT. GC), pengembang Novotel Bukittinggi.

Tak dapat disangkal bahwa ketertarikan Bung Ciil di proyek ini adalah karena ia adalah putra asli Kota Gadang, sebuah daerah yang hanya dibatasi oleh Lembah Ngarai dari Bukittinggi. Memang Bung Ciil adalah seorang scholar dengan bidang utama Ekonomi, tapi ia juga mempunyai passion dalam sektor riil, antara lain pendirian sebuah perusahaan sekuritas, Sjahrir Securities.

Menurut penuturan Rara Rengganis Dewi yang saat itu menjabat Direktur Keuangan, ketika hotel dalam proses pencarian dana untuk membangun, pasar keuangan tidak cukup memberikan respons yang baik atas proyek hotel tersebut, sehingga diperlukan usaha lebih keras untuk memberi keyakinan pasar akan pentingnya membangun sebuah hotel di Bukittinggi. Walaupun Bukittinggi bisa dikatakan pintu pariwisata kedua di Indonesia, namun pada saat itu belum banyak orang yang meyakini potensi ekonomis yang dapat diperoleh dari membangun sebuah hotel berbintang empat di sana.

Bung Ciil-lah yang memegang peranan besar dalam meyakinkan masyarakat akan hal tersebut. Termasuk ketika PT. GC berusaha untuk dapat mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Surabaya dalam rangka mencari sumber dana melalui penawaran umum saham. Maka kemudian tercatatlah kode GMCW dalam Bursa Efek Surabaya dan terlihat beberapa pemegang saham antara lain: PT. Taspen, PT. Jamsostek, PT. Askes, dan masyarakat Minang antara lain sebuah warung Padang di Blok M.

Rasa optimis Bung Ciil yang besar telah menularkan semangat yang tinggi kepada kami semua untuk terus berjuang sekuat tenaga merealisasikan pembangunan hotel ini.

Kenangan Bersama Bung Ciil

Persahabatan saya dengan Ciil berlangsung cukup lama sejak tahun 1967 ketika saya masuk PMB (Perhimpunan Mahasiswa Bandung) dan kerap mengadakan acara bersama dengan IMADA (Ikatan Mahasiswa Djakarta) di mana Ciil juga merupakan tokoh penting di situ bersama Marsilam Simanjuntak.

Sedang hal yang paling diingat oleh Rara tentang Bung Ciil yaitu bahwa ekonom ini dalam hidupnya senang melakukan dua hal, yaitu berbagi ilmu dan juga berbagi makanan.

"Setiap kali berjumpa dengan beliau untuk urusan pekerjaan, ada saja yang beliau sampaikan mengenai hal-hal ekonomi, yang isinya lumayan nambah-nambah ilmu ekonomi saya... Dan setiap kali beliau ulang tahun, ada saja makanan macam-macam jenis dengan jumlah piring untuk setiap jenis makanan seperti yang diangkut dengan truk...saking banyaknya...," ujar Rara.

Pada saat itu memang rumah Bung Ciil selalu ramai dengan sahabat-sahabat yang semuanya terlihat bahagia tertawa-tawa dengan sajian makanan berlimpah ruah dan tentunya juga sambutan hangat beliau, sapaan gembira dan suara nyaring khasnya.

Pada prinsipnya, ia seorang yang ceria dan optimis. Ia selalu berusaha menyemangati kami apabila sedang terbentur masalah dalam proses pekerjaan. Terkadang juga beliau bersikap sarkastis, namun disampaikan dengan canda sehingga tak menyakiti lawan bicara.

Ia juga bersifat terbuka terhadap semua hal dan cenderung melihat segala sesuatunya dari hal yang positif. "Waktu beliau ulang tahun, saya menghadiahkan sebuah produk MLM yang dapat digunakan untuk menurunkan berat badan, dan ternyata ia tampak amat senang menerima dan memanfaatkannya. Saya cukup surprise dengan responnya, mengingat tak banyak orang yang terlalu bersemangat terhadap kegiatan MLM," kenang Rara.

Sosok Bung Ciil di dunia ini jelas bukan keberadaan yang sia-sia tanpa makna bagi sekelilingnya. Kehadiran beliau adalah suatu anugerah bagi kita semua dan kepulangan beliau ke Rahmatullah memang semestinya menimbulkan duka yang mendalam bagi yang ditinggalkan.