Pahlawan Sejati dan Pahlawan Kesiangan

Oleh: M Subhan SD

Cornelis de Houtman (1565-1599) adalah orang Belanda pertama yang dikenal di Indonesia. Ketika belajar di SD dulu, kisah pendaratan Cornelis di Banten tahun 1596 menjadi titik awal sejarah kelam kolonisasi Belanda di negeri ini. Dalam ekspedisi keduanya pada 1598, bersama saudaranya, Frederik de Houtman, kapal Cornelis mendarat di Aceh pada 1599. Karena motif penaklukan, Aceh memberi perlawanan sengit. Cornelis takluk di tangan perempuan pejuang Aceh: Laksamana Malahayati. Dalam duel satu lawan satu di geladak kapal pada 11 September 1599, Cornelis tewas di tangan Laksamana Malahayati. Sementara Frederik ditawan selama dua tahun di Benteng Pidie.
Malahayati adalah sosok luar biasa. Patriot pemberani pembela bangsa. Ia adalah perempuan laksamana pertama tatkala gelombang pengelanaan dunia sejak abad ke-15 didominasi kaum laki-laki. Malahayati sudah mengawali jauh dari zaman emansipasi. Keberanian Laksamana Malahayati mendengung kembali setelah memperoleh gelar pahlawan pada Hari Pahlawan 2017. Kamis (9/11), empat pejuang mendapat gelar pahlawan sesuai Keputusan Presiden Nomor 115/TK/2017. Selain Laksamana Malahayati, juga Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Madjid (Nusa Tenggara Barat), Sultan Mahmud Riayat Syah (Kepulauan Riau), dan Lafran Pane (DI Yogyakarta).
Tuan Guru Zainuddin Madjid (1908-1997) adalah tokoh nasionalis, tokoh pendidikan, ulama besar. Ia adalah pejuang yang memajukan umat Islam dan kebangkitan bangsa dan tanah air, antara lain mendirikan Nahdatul Wathan (Kebangkitan Bangsa). Pahlawan lain Sultan Mahmud Riayat Syah (Sultan Mahmud Syah III). Ia adalah pejuang yang gigih melawan Belanda, termasuk mengobarkan perang di Teluk Riau dan perairan Malaka pada 1784. Satu lagi Lafran Pane (1922-1991), pendiri organisasi mahasiswa HMI pada 1947, yang kadernya banyak menjadi penguasa sampai hari ini. Adik pujangga Sanusi Pane dan Armin Pane ini berjuang membela Republik Indonesia yang baru saja diproklamasikan.
Seperti sosok-sosok pahlawan sebelumnya, kisah empat pahlawan tersebut bukanlah tentang kisah pribadinya, melainkan tentang perjuangan mereka membela bangsa dan tanah air, tentang darma bakti mereka pada nusa dan bangsa. Mereka terpanggil menuntaskan tugas suci (mission sacre) pada bangsanya. Mereka memilih jalan yang senyap, seperti peribahasa “lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup dijajah”. Karena sosok berjiwa-jiwa mulia itulah, Indonesia menjadi bangsa merdeka yang bermartabat. Kata penulis Amerika Serikat, Joseph Campbell (1904-1987), pahlawan adalah mereka yang memberikan hidupnya untuk hal yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Lalu apa makna kepahlawanan pada era sekarang? Masih adakah darma bakti untuk Ibu Pertiwi? Memang, ada yang berceloteh bahwa pahlawan itu tergantung persepsi sudut pandang masing-masing. Bagi kita orang Indonesia, Teuku Umar (1854-1899), Pattimura (1783-1817), Sudirman (1916-1950), misalnya adalah pahlawan bangsa. Tetapi, orang Belanda melihatnya sebagai pemberontak, penjahat, pembuat onar. Orang Filipina mengagungkan Jose Rizal (1861-1896) sebagai pahlawan mereka, tetapi Spanyol menghukum mati sebagai pemberontak. Pahlawan orang Amerika Serikat seperti George Washington (1732-1799) dan Thomas Jefferson (1743-1826) pun disebut pemberontak oleh kolonialis Inggris.
Namun, yang perlu diingat ada “nilai” yang menjadi ukuran di atas perbedaan persepsi itu. Bahwa pahlawan sejati itu memiliki kesadaran untuk memperjuangkan “nilai-nilai kemanusiaan”. Ini bersifat universal, melintasi batas-batas teritori dan batas-batas identitas diri. Universalisme nilai-nilai kemanusiaan sulit dibantah oleh argumentasi apa pun. Penjajahan, penindasan, eksploitasi, penistaan, kekejaman, ketidakadilan, adalah nilai-nilai yang bertentangan dengan kodrat manusia. Penjajahan, misalnya, bukan cuma pengalaman buruk bangsa Indonesia, melainkan juga penderitaan yang dialami bangsa-bangsa di Asia Afrika, Asia, Amerika Selatan. Makanya, paragraf pertama Pembukaan UUD 1945 tegas-tegas mengumandangkan, “.maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Apabila melongok apa yang terjadi dewasa ini, praktik-praktik tak manusiawi ada di depan mata: diskriminasi, penindasan, kekejaman, penghinaan. Bahkan, hari ini, ada pemegang mandat rakyat justru tidak amanah, tidak adil, suka menistakan orang lain. Itulah representasi watak-watak yang tidak manusiawi dan watak penjajah, bukan watak kepahlawanan. Di panggung politik, misalnya, hipokrisi menjadi fenomena paling kentara. Semenjak era baru reformasi, tidak mudah menemukan pemimpin yang menyejukkan. Justru banyak pemimpin yang suka melemparkan bensin di atas percikan api. Mereka kerap meruncingkan sesuatu yang berbeda. Mementingkan diri sendiri. Buktinya banyak pemimpin yang terbelit korupsi. Rasanya jauh dari nilai-nilai kepahlawanan.
Panggung politik hari ini rasanya sangat jauh dari harapan Aristoteles (384-322 SM) sebagai tempat suburnya watak-watak mulia. Politik hari ini justru tampak tak malu mempertontonkan watak-watak buas-licik, perpaduan singa dan rubah seperti anjuran Machiavelli (1469-1527). Sangat berbeda dengan kepahlawanan Laksamana Malahayati, Tuan Guru Zainuddin Madjid, Sultan Mahmud Riayat Syah, dan Profesor Lafran Pane. Kita berutang kepada mereka. Apakah semangat juang mereka menyadarkan pemimpin sekarang? Entahlah kalau sudah mati rasa. Atau, jangan-jangan sekarang memang banyak “pahlawan kesiangan” yang merasa paling berjasa meskipun tak melakukan apa-apa.
Dikutip dari Kompas rubrik Politik dan Hukum edisi 11 November 2017



1 comment :

Unknown said...

mantap dah artikelnya kawan
http://berkah-walatra.com/walatra-gamat-emas-kapsul/