French Kiss

Menurut hikayat, negeri Prancis atau France atau French, kerap dihubungkan dengan chic, smart, sexy, rude, racist, anggur, banyak libur, skandal politik, The da Vinci Code, dst.

Tapi apapun kata orang, Prancis tetaplah bangsa yang besar yang memiliki natural joie de vivre dan savoir faire selama berabad-abad.




Kebiasaan orang Prancis, yaitu selalu makan siang di jam 12.00 – 14.00. Mereka bilang itu penting. Mereka juga cuti 40 hari setahun, dan bekerja hanya 35 jam seminggu.

Semua orang sakit masuk rumah sakit, dan sakit apapun itu dan jam berapapun, akan langsung dirawat. Soal pembayaran, itu urusan asuransi, dan orang miskin urusan negara. Pengangguran di sini mendapat tunjangan, dan jika mereka pada saat tes kerja merasa tidak cocok dengan pekerjaan tersebut, berhak menolaknya. Sekolah TK dan SD di sini kelihatannya banyak sekali kegiatan mainnya.

Inilah hal-hal yang menjadi persoalan di Indonesia sekarang. Membuat sebuah bangsa yang besar rupanya bukan dengan rame-rame bicara soal ujian akhir nasional, sementara setiap hari memberi contoh yang tidak baik kepada anak-anak bangsa.

Di jalan-jalan kota Prancis, meski mobil bersliweran, tapi kalau kita hendak menyeberang di zebra cross, mobil-mobil itu akan langsung injak rem, berhenti.




Soal french kissing, sebetulnya itu tidak ada, tapi cium pipi adalah bagian dari kehidupan mereka terutama di Prancis Selatan, cium pipinya kadang-kadang malah lebih dari dua kali dan ditambah rangkulan hangat.

Oh ya, kami sempat pula ke Bordeaux, daerah penghasil anggur yang terkenal itu, selama tiga hari.

(DSP)

Fez

Ini adalah salah satu kota tertua, dan juga kota ketiga terbesar di Morocco. Di sana kami tinggal di Dar Roumana, sebuah rumah tua berumur ratusan tahun yang berada di kawasan tua Medina.





Alamat Dar Roumana:
30, Derb El Amer, Zkak Roumane, Fes Medina, Morocco 30200
Tel. +21235741637 Fax. +21235635524

Daerah di sini seluas kelurahan, dan dikelilingi bentengi dengan beberapa pintu gerbang besar yang disebut Bab. Pintu-pintu ini dinamai masing-masing sesuai dengan fungsi atau tanda-tanda lain. Yang terkenal adalah Bab Boujeloud (Pintu Biru).

Sejarah Fez atau Fès tak dapat dipisahkan dari Moulay Idris I. Cucu Nabi Muhammad SAW dari keturunan Ali dan Fatimah inilah yang menjadi pendiri kota Fez.

Pada tahun 789, Idris I lari dari Baghdad (Irak) karena persoalan politik. Saat itu telah terjadi pelbagai pemberontakan, di antaranya Al Khariji Kingdom di Maghreb, Berghouata di Atlantic dan Nekor di Rif.
Sedang di Baghdad, pada tahun 750, kelompok Abbasids merebut kekuasaan dan mengusir Umayyads serta menghukum pengikut Ali Alidas.

Maka Idris I pun mengungsi ke daratan Morocco dan memilih sungai Fez sebagai base-nya. Dengan cara damai, kemudian ia menjadi Imam dan mendirikan Madrasah tertua di Morocco. Lalu dikembangkannyalah industri kecil dan perdagangan (souk) dan tentu saja dibangun pula masjid-masjid.

Hingga tahun 791 Idris I pun wafat, konon karena diracun oleh utusan dari khalifah Abbasids dari Baghdad. Dua bulan setelah itu, lahirlah putranya, Idris II yang akan meneruskan kepemimpinannya di Fez. Idris II lalu menjadikan Fez sebuah pemerintahan yang basisnya bukan pasukan, melainkan agama, industri kecil, dan perdagangan.



(Bab Boujeloud / Pintu Biru)

Benteng pun dibangun di sekeliling Fez dengan beberapa pintu gerbang besar. Dan di tahun-tahun berikutnya Fez pun ramai dihuni para pendatang. Tahun 817, orang-orang Andalusis diusir dari Cordova, Spanyol, dan mendirikan Adouate al Andalus. Para Muslim juga diusir dari Kairouan, Tunisia pun mendirikan Adouate El Qarawiyah di sungai Fez.

Maka ketika Fez Medina (kota tua) sudah terlalu sempit, dibangunlah kota baru di seberang sungai dengan nama Al Alia. Daerah Fez pun menjadi semakin maju dan menarik perhatian. Sehingga Fatimids di Ifriqiya dan Umayads dari Al Andalus pun bergabung untuk menguasai Fez sampai tahun 1069.

Kemudian pada abad ke-12 Almohads mulai menguasai dan memindahkan ibukota ke Marrakech. Selama beratus tahun ibukota Morocco memang kerap berpindah-pindah antara Fez dan Marrakech, tergantung penguasanya. Hingga saat Morocco meraih kemerdekaan pada 1956, akhirnya ibukota Morocco pun berpindah ke Rabat hingga kini.

Namun demikian, pusat peradaban Islam tidak pernah pindah dari Fez. Jadi bagi yang ingin mendalami sejarah Islam, kota Fez adalah tempat yang tepat. Apalagi konflik Syiah dan Sunni dapat ditelaah secara dingin di sini.

Selain pusat Islam, di Fez juga terdapat pusat industri dan perdagangan kulit, keramik, kayu, kuningan dan perak. Letaknya di dekat Bab Boujeloud (Pintu Biru). Di wilayah kota tua Fez Medina, hampir setiap sepuluh rumah ada pengrajin yang berjualan dan juga membuat benda-benda kerajinannya di situ. Persoalan besar adalah tidak adanya patokan harga di sana, jadi mesti rajin menawar. Kalau dilihat dari ceritera di atas, jelas kemampuan arts and crafts mereka merupakan gabungan dari Berber, Timur Tengah dan Spanyol.

Di dalam Medina tidak ada mobil, mayoritas alat transportasi di sana adalah keledai dan sedikit kuda.








Di dekat Dar Roumana, tempat kami tinggal, terdapat makam Moulay Idris, cucu Nabi Muhammad SAW tersebut. Letaknya dalam satu kompleks Masjid atau Madrasah yang dapat menampung 25 ribu orang. Kami pun berziarah kesana, dan ada perasaan yang tak dapat diungkapkan saat berada di dalamnya.

Baiklah, sekian dulu, siang ini kami akan menuju Meknes dengan kereta api. Sampai jumpa lagi.

(DSP)

Singgah di Lourdes



Pagi itu kami pun berangkat dari Pau menuju bandara di Toulouse untuk mengejar pesawat ke Morocco. Mala menyetir Polo-nya 130 km/jam, dan katanya itu sesuai speed limit. Di perjalanan menuju kota Toulouse itu, kami sempat mampir dulu di kota suci umat Katholik, Lourdes.

Kota Lourdes berada 400 m di atas laut dengan penduduk sekitar 16 ribu orang. Letaknya 43 km di arah timur laut dari kota Pau. Menurut cerita, kota Lourdes timbul setelah Bernadette Soubirous, seorang gadis 14 tahun, melihat penampakan Bunda Maria dalam 18 vision.

Hidup Bernadette cukup pendek, ia meninggal pada usia 35 tahun sebagai biarawati dan mendapat gelar dari Vatikan sebagai Santa Bernadette.

Tempat ziarah umat Katholik terbesar di Prancis ini tiap tahun dikunjungi 5 juta orang dari seluruh dunia. Sebagian dari mereka datang untuk meminta penyembuhan yang dipercaya ampuh dari mata air di sana.

Pada saat kami datang, antriannya kira-kira sepanjang 100 meter, sehingga kami memilih untuk mengambil foto dengan latar belakang gua penampakan Bunda Maria yang biasa disebut The Grotto of Lourdes.



Sambil berziarah, kami berdoa agar teman-teman kami yang beragama Nasrani: Luciana Dewi, Yuliana, Arita Pinem, dan lainnya dapat berziarah ke sini suatu hari nanti.

Segera selesai ziarah, Mala pun tancap gas lagi membawa kami menuju airport Toulouse. Kota Toulouse berpenduduk 389.500, yang 130 ribu di antaranya adalah mahasiswa. Sewaktu PT Dirgantara sedang aktif pada zaman BJ Habibie, banyak sekali mahasiswa dari Indonesia di kota ini, baik yang mengambil S1, S2 maupun S3.

Pada saat menunggu di ruang boarding bandara, tampak banyak pesawat Air Bus yang siap dikirimkan ke pemesannya, karena memang Toulouse adalah dapurnya Air Bus konsorsium pabrik pesawat negara Eropa, dan juga pesawat supersonic Concorde yang sudah pensiun. Sejak zaman Perang Dunia I, daerah ini memang telah menjadi pabrik senjata dan penerbangan. Di sini juga dibangun roket angkasa luar Ariane, sebagai pesaing industri yang sama dari Amerika, yang produk anyarnya adalah Atlas V dan Delta IV.

Dan kemudian pesawat Roy al Air yang akan membawa kami ke Morocco pun siap terbang.

(DSP)

Welcome to Pau

Tinggal landas dari Dubai, kami mendarat di Paris sore hari, dijemput oleh Yayan, seorang asal Garut yang sudah lama tinggal dan bekerja di sana.

Setelah ngopi sambil menghirup udara segar di awal musim semi di Paris, kami pun check in untuk terbang ke Pau, sebuah kota kecil di Prancis Selatan, dgn pesawat Air France yang sudah merger dgn KLM Belanda. Ini adalah tujuan utama perjalanan kami, yaitu mengunjungi anak gadis kami, Gita Kemala, yang tinggal di sana. Ia kini bekerja di perusahaan minyak Prancis, Total.

Setelah dua jam perjalanan udara, kami pun mendarat di Pau. Di sana Mala telah menjemput kami dengan penuh suka cita. Maklum ini adalah kali pertama kami mengunjunginya.

Kota Tua Pau

Pau adalah kota kecil yang hanya berpenduduk 85 ribu, namun indah dan teratur. Pau terkenal karena udaranya yang mild, penuh dgn taman kota dan bunga-bunga. Banyak jalan-jalannya berupa boulevard. Yang terbesar yaitu boulevard Pirenia, yaitu sebuah pegunungan yang indah di perbatasan Prancis dan Spanyol.


Pegunungan Pirenia
Lapangan Golf Tertua di Perancis

Kota yang merupakan bagian dari region Aquitaine ini adalah kota tua, yang pernah menjadi rumah Raja Henri IV. Pada abad ke-19, kota ini menjadi tempat favorit olah raga musim dingin bagi orang-orang kaya Amerika dan Inggris. Lapangan golf di kota ini adalah yang tertua di Prancis.

Sungai yang Membelah Kota Pau

Mala tinggal di apartemen dengan dua kamar tidur yang jaraknya 200 meter dari halte bus. Bus menjadi alat transportasi utama di sini. Mala sendiri sehari-hari mengendarai mobil Polo diesel 1 liter/20 km. Katanya ia mengisi bensin hanya sebulan sekali, wah... irit banget ya... Sayang selama jalan-jalan di sana saya tidak boleh menyetir, karena asuransinya atas nama Mala dan tidak berlaku untuk orang lain.

Kami makan malam pertama di restoran Le Berry dengan speciality bebek paha goreng dengan madu. Bebeknya besar sekali :-)

Di Pau kami hanya dua malam saja, karena 10 hari berikutnya kami akan tour ke Morocco. Adios Amigos!

(DSP)

Kehidupan Ekonomi di Dubai

Konon dulunya Dubai merupakan sebuah perkampungan nelayan, dengan mata pencarian memancing ikan, membudidayakan mutiara, dan juga menggembala kambing dan domba. Hingga pada tahun 1830 diambil alih oleh suku Bani Yan yang dipimpin oleh keluarga Maktoum yang masih memerintah sampai saat ini. Sheikh Mohammad bin Rashid Al Maktoum adalah salah satu dari tujuh Sheikh yang tergabung dalam United Arab Emirates (UAE).

Dubai kiranya pernah berada di bawah protektorat Inggris, yaitu sejak adanya Exclusive Agreement tahun 1892. Seperti kebiasaannya Inggris memungkinkan sistem manajemen yang baik di negeri ini, utamanya di bawah pemerintahan Sheikh Al-Maktoum, yang istananya berada di muara Dubai Creek dengan kemewahan yang jangan ditanya.

UAE yang berpenduduk sekitar dua juta orang ini, singkatnya, digerakkan dengan uang rizki dari Allah, yang dihasilkan dari minyak dan gas, dengan mesin uang modern Barat yang diperuntukkan bagi kepentingan segelintir Sheikh (tujuh keluarga), dan tentunya sisanya untuk 400 ribu penduduk asli dan 1,5 juta penduduk pendatang.

Memang cukup banyak pendatang yang memenuhi negeri ini, antara lain dari India, Pakistan, Iran, Irak, Bangladesh, Nepal, Filipina dan sedikit dari Indonesia. Mayoritas pendatang didominasi oleh India, tampak dari penerbangan pesawat tiap harinya dari Dubai ke India selalu fully booked.

Peluang bagi orang Indonesia bekerja di Dubai sebenarnya besar karena masalah agama. Terbukti di sini orang-orang dari Cina dan Jepang tidak favour, padahal Cina terbilang cukup aktif menawarkan investasi. Problem Indonesia hanya bahasa, sedikit keterampilan, dan perlu biro jasa yang dapat menawarkan jasa mereka.

Pendapatan dari hasil bumi minyak dan gas UAE ini oleh para Sheikh juga dipergunakan untuk membangun berbagai infrastruktur, sarana pariwisata, perbankan, IT, dan lain-lain. Mereka juga berusaha mendorong kesejahteraan pribumi dengan memberikan gaji lumayan. Sebagai contoh, petugas imigrasi gajinya US$ 10.000 atau 30.000 Dirham, dan mereka juga dapat mengangsur rumah dengan harga US$ 20.000 dengan tanah seluas 500 – 1000 m², tapi tidak boleh diperjualbelikan lagi.

Yang terkenal selain Dubai adalah Abu Dhabi, yang jaraknya sekitar 170 km dari Dubai. Abu Dhabi adalah tempat Sheikh kedua terbesar di antara UAE dengan kekayaan yang tidak lebih sedikit, namun kalah pamor oleh Dubai karena proyek-proyek gemerlapnya.



(Hotel Burj Al Arab Terlihat dari Medina Al Jumeira)

Proyek-proyek raksasa baru di Dubai antara lain Hotel Burj Al Arab, Souk Madinat Jumeirah, Mall of the Emirates, Time Square, Mercato Mall, Karama Little India, Wafi City, Dubai Festival City yang kesemuanya terletak bukan di creek, melainkan di tepi teluk Arab dan di sebagian besar reklamasi pantai putih.

Transportasi cukup menjadi masalah di Dubai ini. Taksi yang ada hanya berjumlah sekitar 10.000, padahal yang diperlukan adalah dua kali lipatnya. Jadi, jika kita hendak naik taksi, butuh waktu menunggu kira-kira satu sampai dua jam. Untunglah saya tidak perlu naik taksi, karena telah ikut bus city tour yang selama delapan jam nonstop berkeliling kota untuk singgah di objek-objek penting.

Keadaan di bandara internasional Dubai, airport Sheikh Rashid, sangat ramai seperti pasar. Mungkin karena faktor geografis di mana Dubai menghubungkan antara benua Eropa dan Asia. Juga faktor flight fare ticket bussiness class Emirates setengahnya SQ, dengan pesawat-pesawat Boeing 777 yang semuanya baru, tidak seperti pesawat-pesawat umumnya di Indonesia. Mereka juga telah memesan Airbus 380 untuk beroperasi tahun ini.

Demikianlah tentang Dubai, dari sini kami akan menuju Pau, Prancis.

(DSP)

Pesona Teluk Dubai



Pepatah tak kenal maka tak sayang, rupanya berlaku juga buat Dubai.

Hari Senin pagi, di penghujung bulan Maret 2008, saya mendarat di kota yang merupakan bagian dari United Arab Emirates (UAE) ini. Yang saya tuju untuk menginap adalah Deira, yang terletak di bantaran teluk Dubai. Deira ini merupakan sebuah daerah tua yang terkenal, yang mengingatkan kepada daerah Glodok atau Pasar Baru di Jakarta.

Setelah check in di hotel Al Khaleej, saya pun mengikuti city tour selama delapan jam, dengan maksud ingin menyelami kota Dubai dalam waktu singkat.

Ternyata Dubai adalah sebuah creek atau teluk kecil, dengan lebar hanya puluhan meter dengan panjang sekitar dua kilometer. Di teluk inilah hingga kini menjadi pusat perdagangan antar pulau dan negara.

Hotel tempat saya menginap sangat dekat pelabuhan lama yang masih dioperasikan. Yang menarik adalah bahwa kapal-kapal tua tradisional masih berfungsi sampai sekarang. Kapal-kapal itu mengangkut bermacam kebutuhan logistik seperti makanan dan minuman, juga membawa bahan-bahan bangunan dan sebagainya.

(Angkutan Tradisional di Dubai Creek)

Di sana juga ada pasar rempah yang terkenal, yaitu Spice Market, dan juga pasar emas, yaitu Gold Souk, yang suasananya seperti pasar ikan di Jakarta Kota. Tersedia di sana emas 18 hingga 22 karat yang harganya sekitar 10% lebih murah dari harga di Jakarta.

Objek penting lainnya di sekitar Dubai Creek adalah sebuah teluk alam yang lebarnya kira-kira 50 m dengan panjang sekitar 1 km yang dikeruk dan bisa dilalui kapal seberat 500 ton. Dapat dinikmati pula pameran dari deretan kapal pesiar mewah beserta puluhan restoran terapung. Kisaran dinner cruise di sana adalah sekitar US$ 50-100, atau sekitar 150-300 Dirham (biasa disebut AED).

Selama ini orang mengenal UAE karena hal-hal yang secara fisik terlihat, misalnya penerbangan Emirates, hotel tertinggi di dunia, yaitu Burj Al Arab, dan proyek reklamasi pantai dengan desain palm tampak dari udara sebanyak tiga buah yang habis dalam waktu 24 jam, berkat ikon David Beckham. Di dekat hotel super tinggi ini berdiri kompleks Souk Madinat Jumeira, atau Pasar Kota Jumeirah, yaitu sebuah kompleks baru dengan suasana Arab yang kental, dan tampak asri dengan danau buatan di sekelilingnya.

Soal kuliner, di hotel Al Khaleej yang bertarif US$ 100 semalam ini sebenarnya menyediakan breakfast, namun saya lebih suka mencari makanan khas Iran yang tersebar di sekitar hotel. Ada swarma kambing dan ayam, yang dimakan dengan roti khasnya, dan salad serta kopi yang kesemuanya seharga tak lebih dari 10 Dirham saja.

Dubai di waktu Maghrib hingga malam secara umum seperti suasana di Mekah atau Jeddah, hanya dengan nuansa keislaman yang tidak sekental kedua kota suci itu.

Inilah sekelumit sosok Dubai, kota di mana para Sheikh telah memerintah secara turun temurun.

(DSP)

Meniti Usaha di Bandung


Kembali dari pengungsian, kami menumpang di rumah buyut Hj. Siti Mutiah di Jl. Kebon Sirih No. 9 Bandung. Karena nenek kami meninggal dalam usia yang muda, maka buyut itulah yang menjadi panutan dalam keluarga. Beliau hidup seorang diri karena suaminya H. Hasan Arif telah meninggalkannya terlebih dulu. Ia dibesarkan di lingkungan di Pasar Baru dan sedari kecil berdagang kelontong di sana, bersama-sama dengan keluarga Uho, besan dari Mantan Gubernur DKI Ali Sadikin. Buyut kami itu hidup dengan penuh disiplin dan senantiasa memberikan contoh yang baik dalam segala hal.

Sedang Ayah, dalam perjalanannya berhenti mengajar dan mulai bekerja pada ayah mertuanya, M. Halim, pemilik Toko Batik Halim di Pasar Baru. Hingga beberapa tahun kemudian Ayah pun mendirikan Toko Harapan yang bertempat di sebuah ruko (rumah toko) di jalan Lengkong Besar No. 75 Bandung. Pada masa itu, ruko tidak bertingkat seperti sekarang, tetapi berderet horizontal: bila tokonya di depan, rumahnya di belakang. Ruko itu merupakan bantuan pinjaman dari seorang pengusaha pribumi, seorang produsen oncom Milo yang terkenal di Bandung. Di sana dijual berbagai keperluan rumah tangga dan dibuat pula kopiah-kopiah, meneruskan tradisi toko Batik Halim.

Perkembangan usaha Toko Harapan pun meningkat saat toko ayah diangkat menjadi penyalur resmi produk Phillips. Hal ini berkat kefasihan beliau berbahasa Belanda. Hingga beberapa tahun kemudian disewalah toko yang lebih besar, kali ini di jalan Braga No. 111. Saat itu saya dan saudara-saudara terlibat membantu Ayah menjaga toko. Kami membungkus, melayani pembeli, hingga menjadi kasir. Masa kecil kami jalani dengan menjadi urang pasar, sebutan bagi orang yang hidup dari perniagaan.

Kini, bangunan toko di jalan Braga tersebut telah menjadi sebuah sekolah pendidikan komputer untuk ibu dan anak bernama Ega Kineta, yang dikelola oleh satu-satunya adik perempuan saya, Yani Panigoro.

Kira-kira pada 1955, pada saat orang-orang Belanda diminta untuk meninggalkan Indonesia, ayah berhasil pindah ke rumah yang besar di Jalan Diponegoro No. 11A. Di situlah kami tinggal sampai tahun 1970. Di mana Arifin, saya, dan Ramdan telah menjadi mahasiswa, sedang Yani baru memasuki Perguruan Tinggi.

Tahun 1955-1965 usaha ayah saya sangat maju pesat. Tapi setelah peristiwa Gestapu rupanya ayah tidak dapat bertahan dengan perubahan. Sehingga pada tahun 1970 bangkrut dan menjual rumah di Jalan Diponegoro dan kemudian memperoleh izin tinggal (VB) di Jalan Wastukencana No. 79 Bandung seluas 1500 m² yang alhamdulillah rumah ini dapat dimiliki sampai sekarang.

(DSP)

Mengungsi ke Sumedang

Pada bulan Maret, enam puluh dua tahun yang lalu, telah terjadi peristiwa yang tak terlupakan oleh rakyat Priangan dan juga bangsa Indonesia, yaitu pembumihangusan kota Bandung oleh para pejuang yang kita kenal dengan peristiwa Bandung Lautan Api.

Menurut rencana, tak sejengkal pun wilayah Bandung yang akan disisakan untuk diduduki penjajah Belanda dan Sekutu. Maka, tak banyak pilihan, rakyat Bandung pun di hari-hari sebelumnya beramai-ramai mengungsi. Tak terkira hiruk pikuk yang terjadi pada hari itu, juga di bulan-bulan sebelum dan sesudahnya.

Saya dan keluarga sebagai penduduk asli Priangan memiliki cerita sendiri mengenai peristiwa tersebut. Keluarga kami waktu itu mengungsi ke Sumedang dan menjalani masa-masa yang sulit. Perjalanan ditempuh dengan naik pedati atau roda, dan sepanjang jalan Ibu menggendong kakak saya, Arifin, yang baru berumur setahun, sedang saya sendiri baru akan lahir di tahun berikutnya.

Menurut penuturan Ibunda, hari itu adalah perjalanan yang amat berat, naik turun melewati perbukitan, dan berlangsung dalam suasana tegang karena menghindari bahaya perang. Makanan saat itu hanya nasi yang kerap dicampur jagung untuk menghemat stok beras dan minum air tajin (air cucian beras) karena tidak ada susu.

Sesampainya di Sumedang, dengan surat dari Ibu Kartini, Ayah dan Ibu bertemu dengan keluarga Dr. Sanusi Galib yang menetap di sana. Istrinya, Basariah (kami memanggilnya Ete Bas) adalah adik dari Bung Hatta, sang Proklamator. Di sana juga tinggal Ibunda dari Ete Bas, yang kami sapa Mak Gaek, yang hingga akhir hayatnya menetap di Sumedang.

Setahun setelah peristiwa Bandung Lautan Api, saya pun lahir, tepatnya pada 18 Maret 1947. Dan hanya beberapa hari setelahnya lahirlah juga putri Bung Hatta, Meutia, yang kini menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan. Keluarga kami saat itu masih di Sumedang, menumpang tinggal di rumah Ibu Ihing, seorang pengurus kebun dan sawah keluarga Sanusi yang letaknya tak jauh dari rumah keluarga itu. Saat itu kami dikelilingi oleh keluarga Minangkabau dan dari merekalah saya mendapat nama tengah ‘Sjahrir’. Keluarga kami juga banyak dibantu oleh keluarga alm. Kartahadimadja yang kala itu menjabat Patih (Wakil Bupati) di Sumedang.

Sepanjang hidup di pengungsian, kami diliputi ketidakpastian. Untuk menyambung hidup, para pengungsi menjual apa saja yang bisa laku. Bahkan kasur untuk tidur dibongkar, gorden-gorden digunting, lalu dijahit menjadi celana untuk ditukarkan dengan beras, ayam, dan telur.

Cara bertahan seperti ini juga dilakukan pengungsi lainnya, karena tentu tak banyak perbekalan yang sempat dibawa. Ayah saya pun sempat menggelar dagangannya di perbatasan Sumedang-Bandung. Begitu mengharukannya perjuangan orang tua kami saat itu hingga saat ibunda menceritakan bagian ini, air mata saya pun bercucuran.

Akhirnya, setelah kurang lebih tiga tahun masa pengungsian, kami pun kembali ke Bandung. Di sana kehidupan kami berlanjut, dimulai dari perjuangan Ayah mendirikan berbagai usaha di berbagai tempat.

(DSP)