Cerita Hidangan Italia

 

Kekayaan Indonesia di bidang kuliner tentu tidak dapat kita ragukan lagi, perjalanannya diwarnai asimilasi yang juga beragam karena kedatangan bangsa-bangsa dari berbagai negara yang sempat singgah atau tinggal di Indonesia.

Sayapun menyukai cerita tentang ciri khas masakan dari berbagai daerah di Indonesia dan negara-negara dunia. Italia adalah salah satu negara yang kaya akan ragam menu dan teknik memasaknya. Pada Kompas, Minggu, 29 November 2020 saya membaca tentang Hidangan “Jelata” Italia yang ditulis oleh Wisnu Dewabrata. Di bawah ini ringkasannya.

***

Jejak perjalanan sejarah suatu bangsa ternyata juga bisa diikuti dan “dinikmati” lewat beragam kuliner khasnya. Hal itu setidaknya tergambar dari salah satu metode dan sekaligus cara penyajian hidangan ala “Negeri Pasta” Italia, “Cucina Pvera”.

“Cucina Pvera” bisa berarti makanan atau masakan orang jelata, bisa juga diartikan dengan metode memasak, yang mengolah bahan yang ada dan terjangkau. Dengan bahsa sederhana, pengolahannya tetap istimewa sehingga hasilnya terasa lezat. Italia memiliki tokoh kuliner Pellegrino Artusi yang beberapa waktu lalu diperingati dua abadnya dengan meluncurkan bukunya oleh Kedutaan Besar dan Institut Kebudayaan Italia di Jakarta, buku tersebut berjudul Science in the Kitchen and the Art of Eating Well. Artusi digelari sebagai Bapak Masakan Italia lantaran dianggap sangat berjasa meletakkan dasar-dasar kuliner Italia.

Italia punya daerah yang bernama Puglia, berada di pesisir selatan ujung semenanjung yang terbilang subur dan berhadapan langsung dengan perairan Laut Mediterania. Ciri khas utama hidangan di Puglia adalah jenis sayuran yang beragam, sehingga mereka memiliki kaldu yang yang digunakan untuk memasak hidangan berbahan utama protein hewani.

Puglia juga punya risotto dengan versi lain dari yang biaa ditemui yang lebih berkrim dan lembek lantaran ditambahkan dengan krim kentang. Rasanya lebih gurih dengan aroma dari laut yang berasal dari daging kerang kupang. Disajikan dengan irisan bawang bombai dan terong zucchini diiris tipis, yang keduanya digoreng rendam dalam minyak panas. Aroma manis dari bawang bombai goreng secara mengejutkan memberi kesan tersendiri saat berpadu dengan cita rasa asin dan gurih, terutama dari dua jenis keju di dalamnya.

Menarik sekali! Saya jadi terbayang risotto ini…

Saya berharap Intitut Kebudayaan Italia yang saat ini dipimpin oleh Ms. Maria Battaglia tetap menyelenggarakan acara tahunan yang memperkenalkan masakan Italia kepada warga Jakarta dan Indonesia secara umum.


Onno W. Purbo, Pakar Teknologi Informasi Indonesia


Perkembangan teknologi informasi saat ini, sangat mengagumkan, kita bisa berkomunikasi dengan rekan kerja, saudara, dari jarak jauh dengan dapat menyaksikan lingkungan sekitar. Pekerjaan dan tugas belajar membutuhkan kecepatan internet yang bagus, kemudahan akses informasi dapat dengan mudah kita peroleh dari internet. Apalagi, di masa pandemi ini, saat anak-anak sekolah, mahasiswa harus belajar jarak jauh. Indonesia, masih perlu pengembangan lebih lanjut agar dapat sama kemampuannya dengan negara maju. Dan, Indonesia memiliki Onno W. Purbo, sosok penting dan pakar bidang teknologi informasi saat ini. Onno meraih penghargaan dalam bidang ini, di bawah tulisan yang dimuat di Tempo, seperti di bawah ini:   

Pakar teknologi informasi ini meraih Jonathan B. Postel Service Award 2020 dari Internet Society karena dianggap berkontribusi terhadap komunitas Internet global pada Rabu, 18 November 2020. Selain beroleh piala, Onno bakal mendapat hadiah sebesar US$ 20 ribu dari organisasi nirlaba yang mendukung pengembangan serta penggunaan Internet terbuka (open source), terkoneksi global, dan aman tersebut. Jonathan B. Postel Service Award merupakan penghargaan bergengsi di dunia teknologi informasi bagi para visioner yang berkomitmen terhadap pengembangan internet di Indonesia melalui penggunaan teknologi nirkabel dan voice over Internet Protocol. Ia juga penggagas deregulasi frekuensi Wi-Fi dan memperkenalkan warung internet, jaringan RT/RW-Net, serta jaringan seluler komunitas.

Sumber: 29 November 2020 | TEMPO


 

Penghargaan Kesatria Tertinggi untuk Ananda Sukarlan


 

Di tengah persiapan penyelenggaraan konsernya  di situs Kerajaan Sriwijaya di Muaro Jambi, pada 22 Desember  2020, komponis asal Indonesia, Ananda Sukarlan (52), mendapat kabar gembira. Dia dianugerahi penghargaan Cavaliere Ordine della Stella d’Italia (Knight of the  Order of the Star of Italia) dari Presiden Italia Sergio Mattarella pada awal November.

Penyematan medali penghargaan itu dilaksanakan di Jakarta, Selasa (17/11/2020), di kantor Kedutaan Besar Italia di Jakarta oleh Dubes Italia untuk Indonesia Benedetto Latteri. “Ini semacam penghargaan atas kerja keras sepanjang karier yang telah saya lakukan. Bagi saya, ini adalah sebuah kehormatan besar,” kata Ananda.

Sejak tahun 2000-an, Ananda banyak melakukan kerja diplomasi budaya bagi Indonesia dan Italia. Dia memperkenalkan musik Italia ke Indonesia dan Spanyol, dan sebaliknya, memperkenalkan musik dan budaya Indonesia ke masyarakat Italia.

Kerja diplomasi budaya ini membuat hubungan kedua negara, Indonesia dan Italia. Lebih erat dalam bidang yang ditekuninya. Bahkan, sejumlah musikus Italia terinspirasi dengan musik Indonesia dalam karya-karyanya.

Penghargaan itu membuat Ananda semakin bersemangat untuk mempersiapkan diri menjelang konsernya akhir Desember nanti. Yang akan dimainkan salah satunya adalah karya baru, terinspirasi musik Ismail Marzuki dan Aria dari Opera Turandot karya Puccini, yaitu “I wish Pavarotti Had Known Marzuki”. (MDH) – Nama & Peristiwa, Kompas, Kamis, 19 November 2020.

Tentang Penjaga “Apotek” Hutan

Kekayaan hutan Indonesia sangat beragam, berjuta spesies tanaman dengan keunikan, ciri khas, dan manfaat yang berbeda pula. Salah satu sosok yang tekun keluar masuk hutan untuk mencari dan meramu tanaman menjadi obat herbal untuk meredakan berbagai penyakit adalah Sirun Herman Manan. Bagi Sirun hutan adalah surga tanaman obat yang mesti dijaga.

Dionisius Reynaldo Triwibowo, jurnalis yang menulis di kolom Sosok, Kompas, menceritakan lebih lanjut pada Kompas, edisi Selasa 27 Oktober 2020. Di bawah ini saya coba rangkumkan.

Sirun tinggal di Desa Tambak, di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Dari tempat tersebut fasilitas kesehatan sulit dijangkau. Sirun merasakannya sendiri. Pada 1986, ia sakit jantung dan tidak ada yang bisa mengobati, termasuk ayahnya yang dikenal sebagai tabib tradisional Dayak. Ketika sakit dan semua orang menganggap Sirun mati, Ia bermimpi bertemu dengan Gana, roh yang mendiami hutan atau di dalam pepohonan, yang dipercaya masyarakat Dayak Ngaju. Gana membawa Sirun ke dalam hutan dan menunjukan satu tanaman obat dengan akar menggantung.

Ketika pagi datang, Sirun bersama ayahnya menuju hutan yang jalannya belum pernah dilalui manusia, mereka menemukan pohon yang akarnya menggantung dan meminum air dari akar tersebut yang disebut hantuen oleh masyarakat sekitar. Tak sampai setahun Sirun sembuh dari penyakit jantungnya hingga sekarang. Kesembuhannya membuat ia berjanji untuk membantu orang sakit, ia memutuskan menjadi tabib. Pasiennya banyak, obat-obatannya berasal dari tanaman obat di kebun belakang rumah, tidak ada tariff atas jasa yang diberikan.

Sirun bersama anaknya kini mengumpulkan satu-persatu tanaman obat dari hutan. Ia menuliskan secara rinci, mencatat ramuan-ramuan lengkap dengan cara meraciknya. Pengetahuan ini akan ia bukukan agar bisa diturunkan kepada anaknya dan generasi berikutnya.

Untuk menjaga hutan dari ancaman aktivitas penambangan emas ilegal, Sirun dan Lembaga Pengelola Hutan Desa menginisiasi area di desanya menjadi habitat orangutan sebagai hutan desa. Hutan bagi Sirun telah lama menjadi surga tanaman obat dan tentu saja menjadi “apotek” bagi warga yang sakit. 


Membaca “Eksotika Ve” di Rubrik Figur Kompas

Ve Dhanito, sarjana Teknik Sipil, Universitas 11 Maret dan Magister Ilmu Teknik Sipil, Universitas Indonesia, bidang Manajemen Proyek dan peserta residensi seniman di LaSalle College of Art, Singapore memiliki hobi fotografi yang serius ditekuninya. Hingga, ia memutuskan untuk terjun penuh di dunia fotografi. Keputusan, pemikiran, hobi, dan karya Ve banyak diceritakan di kolom ini. Di bawah ini, ringkasannya.

Banyak karya fotonya yang dimuat majalah dari dalam dan luar negeri. Ia menekuni kerja fotografi konseptual, belakangan, ia mengeksplorasi konsep tentang otak , yang menelaah neurosains untuk merencanakan pembuatan karya-karya fotografinya. Untuk menunjang kerjanya di bidang fotografi, Ve memilih olahraga untuk kebugaran tubuhnya. Dari kecil Ve telah aktif berolahraga bulu tangkis, basket, crossfit, dan tinju.

Eksotika Ve karena ketertarikannya pada konseptualisasi ide eksplorasi ketubuhan otak terasa dalam karya fotografinya. Hal ini tercermin ketika pada 2018 di Taipei, Taiwan, Ve menyuguhkan karya-karya fotografi konseptual dalam karya seni instalasi yang diberi judul”Mind-Brain-Body”. Ia turut serta dalam pameran  dan lokakarya Wonderfotoday itu di Songshan Cultural an Creative Park, Taipei, 15-17 Maret 2018. Di tahun yang sama Ve juga menggelarPameran Bersama Astonishing Indonesia di Semarang.

Pertama kali, pameran yang diikutinya adalah Pameran Bersama Port of Call di Singapura pada 2014, tahun berikutnya 2015, Pameran Bersama Kaohsiung International  Photography di Kaohsiung City Culture, Taiwan. Kemudian di 2016, Ia merambah lokasi pameran di Eropa, dengan Pameran Bersama GELB di Luzern, Swiss.

Hampir tiap tahun Ve berpameran, 2017 Ia Pameran Bersama Pili Tjeng-Eksotika Rempah di Jakarta, Jakarta International Photography Festival (Jipfest) “Identity”, Jakarta dan Pameran Bersama “Creative Freedomto Heal The Nation” Intercovid-19 di Jakarta.

Selengkapnya mengenai sosok Ve Dhanito dapat dibaca pada harian Kompas, Minggu, 25 Oktober 2020, yang ditulis oleh Nawa Tunggal dengan baik. Selamat membaca.

Sejumlah Peristiwa hingga Sumpah Pemuda 1928



Rabu, 28 Oktober 2020, saya membaca Kompas edisi Sumpah Pemuda, mata saya terbuka, banyak peristiwa penting yang terjadi sebelum Sumpah Pemuda 1928, baik berhubungan langsung atau tidak. Dari situ saya melihat ada semangat yang terus hidup dalam dada pemuda Indonesia.

Kompas mencatat peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan sumber Pemberitaan Kompas, Kemendikbud RI, dan Ensiklopedia Kemendikbud RI, yang dirangkum oleh Litbang Kompas/AVN. Berikut keterangannya;

      1901

Pemerintah Belanda memberlakukan Politik Etis (Politik Balas Budi) untuk memajukan masyarakat Hindia Belanda

1902

Sekolah Dokter Jawa yang telah berdiri sejak 1851 berganti nama menjadi Sekolah Pendidikan Dokter Pribumi atau Stovia

1907

Surat kabar pribumi Medan Prijaji terbit menggunakan bahasa Melayu

1908

- Para Mahasiswa Indonesia di Belanda membentuk organisasi Indische Vereeniging. Kemudian berubah menjadi Indonesische Vereeniging dan pada 1925 menjadi Perhimpunan Indonesia yang menerbitkan majalah Hindia Putera.

- Organisasi Boedi Oetomo dibentuk pada 20 Mei 1908 oleh Dr Sutomo, Dr Tjipto Mangunkusumo, para mahasiswa kedokteran Stovia Jakarta, serta Dr Wahidin Soedirihusodo. Tanggal berdiri Boedi Oetomo diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

1910

Wabah kolera melanda Hindia Belanda dan merenggut 72.000 korban jiwa.

1911

- Kumpulan surat RA Kartini diterbitkan menjadi buku dengan Door Duisternist tot Licht. Pada 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.

- Penyakit sampar atau black death mulai mewabah di Hindia Belanda dan menyebabkan 120.000 orang meninggal.

1912

- Indische Partij didirikan sebagai partai politik pertama di Hindia Belanda.

- Sarekat Islam (SI) dibentuk oleh HOS Cokroaminoto, Semula organisasi ini bernama Sarekat Dagang Islam.

1918

- Wabah flu Spanyol merenggut nyawa 1,5 juta rakyat Hindia Belanda.

KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah di Yogyakarta.

1920

Pemerintah colonial Belanda mendirikan pendidkan tinggi teknik Technische Hoogeschool te Bandoeng, saat ini dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung.

1922

Ki Hadjar Dewantara mendirikan lembaga pendidkan Taman Siswa di Yogyakarta.

1926

- Kongres Pemuda I digelar di Batavia pada 30 April -2 Mei 1926.

- Nahdlatul Utama didirikan di Surabaya

1927

Partai Nasional Indonesia (PNI) didirikan dengan sejumlah tokohnya, yaitu Ir Soekarno, Ir Anwari, Mr Sartono, Mr Iskaq, Mr Sunario, Mr Budiarto


1928

Kongres Pemuda II digelar pada 27-29 Oktober 1928 di Batavia menghasilkan ikrar Sumpah Pemuda.

Tentang Louise Gluck, penerima Nobel Sastra 2020

The Red Poppy

Louise Glück - 1943-


The great thing

is not having 

a mind. Feelings:

oh, I have those; they 

govern me. I have 

a lord in heaven 

called the sun, and open 

for him, showing him

the fire of my own heart, fire 

like his presence.

What could such glory be

if not a heart? Oh my brothers and sisters, 

were you like me once, long ago, 

before you were human? Did you 

permit yourselves

to open once, who would never 

open again? Because in truth 

I am speaking now 

the way you do. I speak 

because I am shattered.

***

Di atas adalah salah satu puisi karya Louise Gluck, penerima Nobel Sastra 2020.

***

Produktifitas tak memandang usia, sebuah kisah inspiratif yang saya baca di harian Kompas, Jumat, 9 Oktober 2020 oleh HEI.

Akademi Swedia menetapkan penyair asal Amerika Serikat, Louise Gluck (77), sebagai penerima hadiah nobel Sastra 2020, Kamis (8/10/2020) siang di Stokholm, Swedia. Kemenangan Gluck mengangkat kembali puisi ke panggung Nobel Sastra. Terakhir kali bidang puisi meraih penghargaan bergengsi ini pada 2011 lewat penyair Swedia, Tomas Transtomer.

Anders Olsson, anggota Akademi Swedia, menyampaikan pandangan komite di hadapan segelintir wartawan yang duduk saling berjauhan demi mematuhi protokol kesehatan karena pandemi Covid-19. "Suara puitiknya, tak bisa disangkal, mengubah hal individu menjadi universal, dengan cara yang sederhana," kata Olsson dalam pidato yang disiarkan melalui situs resmi, Nobelprize.org.

Kumpulan puisinya seperti The Triumph of Achilles (1985), The Wild Iris (1992), dan Faithful and Virtuous Night (2014) mengangkat tema individu seperti masa kanak-kanak dan keluarga, yang kerap diramu dengan bumbu mitologi Yunani dan Romawi. Gluck pernah menulis puisi panjang berjudul "October" (2004) sepanjang satu buku merespons serangan teroris di New York, 11 September 2001.

"Buku-buku kumpulan puisi Gluck selalu berusaha menggugat suatu perkara dengan gigitan humor yang cerdas tak ubahnya karya Emily Dickinson yang tak pernah mau menerima begitu saja ajaran atau keyakinan apa pun," tutur Olsson.

Kumpulan puisi pertama Gluck berjudul Firstborn (1968) menjadikan Gluck sebagai salah satu tokoh penting dalam literatur modern AS.

Ia juga menerima hadiah Pulitzer atas buku The Wild Iris pada 1993, Faithful and Virtuous Night (2014) meraih National Book Awards pada tahun yang sama. Presiden AS Barack Obama memberinya medali National Humanities di tahun 2016.

Gluck menjadi perempuan ke-16 yang mendapat hadiah Nobel Sastra. Sebelum Gluck, perempuan terakhir yang meraih Nobel Sastra adalah Olga Tokarczuk, sastrawan dari Polandia pada 2018.



Takdir Griya Kelahiran Putra Sang Fajar, di Jalan Pandean - Humaniora Kompas

Takdir Griya Kelahiran Putra Sang Fajar, di Jalan Pandean

Oleh  AMBROSIUS HARTO/AGNES SWETTA PANDIA

Kompas Cetak, 21 September 2020

 

 


Griya kuno warna krem itu memiliki enam jendela dan pintu kembar. Plakat di atas kusen pintu bertulis Jalan Pandean IV Nomor 40 RT 004 RW XIII Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya, kodep pos 60274.

 

Plakat lain kuning mengilap bertulis Rumah Kelahiran Bung Karno Jl Pandean IV/40, rumah tempat kelahiran dan masa kanak-kanak Bung Karno (Presiden Pertama RI), Bangunan Cagar Budaya sesuai SK Wali Kota Surabaya No. 188.45/321/436.1.2/2013.

 

Di dalam rumah, prasasti marmer tertanggal 29 Agustus 2010 ditandatangani Bambang Dwi Hartono, Wali Kota Surabaya, saat itu. Di sana tertulis "Di Sini Tempat Kelahiran Bapak Bangsa DR Is Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat, Proklamator, Presiden Pertama RI, Pemimpin Besar Revolusi". Juga ada foto Soekarno, yang dijuluki "Putra Sang Fajar", dengan tulisan Pandean IV/40 06 Juni 1901 (Kamis Pon)

 

Bertepatan peringatan HUT Kemerdekaan Ke-75 RI, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengumumkan, rumah kelahiran Soekarno telah dibeli, akan direnovasi, dan dijadikan museum untuk kepentingan edukasi.

 

Demi mendapatkan rumah bersejarah itu, tim pemerintah dan pemilik terakhir, Siti Jamilah, saling tarik ulur, termasuk harga. Di satu sisi, pemerintah ingin griya berukuran 6 meter x 14 meter persegi itu dijadikan museum. Di sisi lain, ahli waris berat melepas karena menempati rumah dua kamar itu 30 tahun. Ada kenangan dan kebanggaan.

 

Bertahun-tahun lalu, pemilik mengajukan angka Rp 400 juta. Pemerintah setuju dan menambahkan rumah susun. Namun, tak berlanjut. Belakangan, taksiran nilai properti tim independen Rp 1 miliar.

 

Angka ini disepakati. Pemkot Surabaya, kata Risma, menanggung Rp 500 juta dari APBD, sedangkan Rp 500 juta sumbangan banyak pihak.

 

Menurut Siti, keluarga membeli rumah itu pada 1990. Sebelumnya ganti kepemilikan tiga kali. Saat membeli, Siti tidak tahu bangunan itu amat bersejarah.

 

Polemik kelahiran

 

Penelusuran rumah kelahiran Soekarno intens sejak Institut Soekarno yang didirikan jurnalis senior Peter Apollonius Rohi pada 2007. Dari sana takdir rumah itu ditentukan.

 

Sejak 2009, rumah Siti kerap didatangi peneliti. Rumah kian sering disinggahi, terutama pasca-peletakan prasasti Agustus 2010 dan penetapan sebagai BCB pada 2013.

 

Semasa hidup, Peter yang meninggal 10 Juni 2020, pernah mengatakan, Soekarno lahir dan pernah tinggal di Pandean. Dari buku sejarah, Proklamator lahir di Blitar, Jatim.

 

Soekarno remaja, seperti banyak banyak diinformasikan, ada di Peneleh dan indekos di kediaman tokoh bangsa HOS Tjokroaminoto. Kegigihan Peter, mantan anggota Korps Komando/KKO, menggali dan mengonfirmasi cerita warga Pandean serta riset mendalam dari berbagai literatur, berujung kepastian rumah Pandean itu tempat kelahiran Soekarno.

 

Buku otobiografi Sukarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams yang diterjemahkan Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia memuat lahir saat Gunung Kelud meletus.

 

Lalu, tanggal lahir Soekarno? Harian Kompas terbitan 5 Oktober 1975 memuat berita "Ibu kandung dan Tanggal Kelahiran Ir Soekarno." Subjudulnya "Bukan Lahir Tanggal 6 Djuni Tapi Sebelum Tanggal 23 Mei 1901". Berita ini memuat informasi dari Sumodihardjo, paman Soekarno, di Surabaya. Saat itu berusia 85 tahun.

 

Catatan buku induk mahasiswa Technische Hoogeschool (sekarang Institut Teknologi Bandung) menyebut Soekarno lahir 6 Juni 1902 di Surabaya.

 

Pernyataan Sumodihardjo, saat Kelud meletus, ia yang belajar di Kweekschool (Desember 1988-November 1903) di Probolinggo, diliburkan.

 

Tiba di Surabaya petang hari, Sumadihardjo menuju rumah kakaknya, Raden Soekemi Sosrodihardjo (ayah Soekarno), guru di kampung Pandean. Di sana ia melihat kakak iparnya, Idaju (Ida Ayu Nyoman Rai), telah melahirkan anak kedua, laki-laki, usia bayinya 5-6 hari. Di rumah itu juga ada keponakan pertamanya, Soekarmini, 2,5 tahun.

 

Seabad lewat, griya itu kini dimiliki pemerintah. Mari cintai, rawat, dan maknai sejarah bangsa dengan bijaksana. 

Manusia dan Indonesia, Itulah Pergulatannya Mengenal Jakob Oetama melalui tulisan Ninok Leksono, sebuah perjalanan batin

 

Tulisan Ninok Leksono ini tayang di Harian Kompas edisi cetak, edisi Kamis, 10 September 2020. Di bawah ini saya sarikan tulisan kawan, Ninok Leksono, Redaktur Senior Harian Kompas.

 

 


***

 

“Partir c’est mourir un peu… Mais mourir… c’est une grande perte” (Pergi itu kematian kecil… Namun meninggal adalah satu kehilangan besar)

(Paruh awal kutipan sering diucapkan Jakob Oetama yang senang dengan ungkapan Latin dan Perancis)

 

Pak JO, bagi kami adalah guru dan empu dalam bidang komunikasi dan jurnalistik, dan cendekiawan dalam pemikiran, khususnya bidang humaniora, sosial, kebudayaan, dan politik.

 

Setelah Pak Ojong tiada, Pak JO secara alamiah identik dengan  Kompas. Pak JO itu Kompas dan Kompas itu Pak JO. Kehadirannya amat dirasakan.

 

Pak JO saat aktif hadir dalam rapat redaksi dan rapat pimpinan, sering berudar rasa yang menggugah pergulatan pemikiran dan menambah wawasan  para cantrik (reporter). Pemantik ulang dengan tradisi literasi yang sangat tinggi, membuatnya jadi individu yang gemar gagasan dan punya kepekaan instingtif terhadap masalah politik, tanpa sedikitpun tergiur untuk terjun dalam politik praktis.

  

Profesi wartawan, yang ia ikuti atas anjuran Pastor JW Oudejans OFM, yang pada tahun 1950-an menjadi Pemimpin Umum Majalah Penabur, tak menghilangkan nalurinya untuk terus menjadi guru, profesi yang semula ia inginkan. Sebenarnya, dengan sukses mengembangkan Kompas yang ia dirikan, tujuan pendidikan masyarakat pun sudah ia tunaikan karena media massa adalah juga institusi pendidikan dalam skala luas. Sementara visinya tentang pendidikan ia wujudkan dengan mendirikan Universitas Multimedia Nusantara.

 

Tahun 80-an, Pak JO sering meminta wartawannya menulis tentang lomba senjata nuklir, itu juga karena kerisauannya yang besar tentang ancaman perang nuklir bagi umat manusia. Beliau juga meminta liputan tentang perubahan iklim, itu juga karena ia menyadari betapa akan menderitanya nasib umat manusia karena perubahan iklim.

 

Beliau memiliki semangat belarasa yang juga tinggi, dengan memberikan ruang bagi warga Palmerah untuk bekerja di Kompas karena memperjuangkan amanat yang ia ikut menggemakannya “Menghibur yang papa, mengingatkan yang mapan”, sebuah slogan dari humoris dan penulis Amerika Finley Peter Dunne, “Comfort the afflicted, afflict the comfortable”

 

Pak JO mendorong liputan ekonomi modern, pasar modal, dan rintisan digital (dengan menyetujui pendirian Kompas Cyber Media), tetapi hatinya terus risau dengan nasib petani dan nelayan. Ia banyak terkenang pada sosok seperti mendiang Prof Mubyarto dari UGM yang banyak menggagas sistem ekonomi Pancasila.

 

Beliau banyak memberi namun masih merasa kurang karena belum seperti apa yang ddikatakan Ibu Teresa, kalau memberi, “Give, but give until it hurts    

Kawan Baru, Ana Mustamin

 

Pertama mengenal Ana Mustamin dari tulisan di kolom Sosok, Harian Kompas, yang bercerita tentang perjuangannya menghidupkan majalah sastra Majas. Saya tertarik untuk berlangganan dan menghubungi beliau.  

Beberapa waktu lalu saya berkesempatan bertemu dan kami berbincang mengenai banyak hal terkait sastra dan seni. Berikut saya tuliskan kesimpulan dari kolom Sosok, edisi Sabtu, 18 Juli 2020, yang ditulis oleh Nasrullah Nara.

Ana mengambil arah balik saat memutuskan untuk menghidupkan majalah sastra yang notabene pembacanya juga terbatas, Majas nama majalah tersebut. Menurut Ana, langkah ini ditempuh karena keyakinannya bahwa sastra pada dasarnya kultur penciptaan dan pembacaan berbasis huruf, dan huruf telah menjalani perjalanan kebudayaan yang berabad-abad. “Sastra lekat dengan tulisan, bila perlu tulisan tangan,” ujarnya.

Ia mendirikan majalah ini dengan menggandeng empat rekannya sesame sastrawan, yakni Kurnia Effendi, Agnes Majestika, Kurniawan Junaedhie, dan Valent Mustamin. Mereka bekerja tanpa digaji, untuk terus dapat memproduksi Majas dan membayar penulis Ana memutar otak dengan mencoba sistem modal penyertan (crowdfunding) yang dihimpun dari para calon pembaca Majas. Sistem ini juga tidak dapat sepenuhnya menutupi biaya produksi, namun usaha keras Ana membuat sebuah lembaga kebudayaan tergerak untuk memberikan suntikan dana.

Majalah ini dikelola dengan serius, walau menghadapi berbagai kesulitan. Majas menggunakan kurator independen untuk menilai karya mana yang layak muat. Kurator berganti di setiap edisi. Penunjukan kurator tak sembarang. Hanya yang punya rekam jejak memadai di dunia sastra yang dipilih, seperti Adek Alwi, Yanusa Nugroho, Agus Noor, Warih Wisatsana, Nirwan Dewanto, dan Damhuri Muhammad.  


Sri Hanuraga

Sri Hanuraga adalah sosok muda di dunia musik jazz yang pernah tampil di Gelanggang Indonesia, sebuah konser yang dipersembahkan untuk Pahlawan Olahraga Indonesia yang penyelenggaraannya berdekatan dengan Asian Games Jakarta Palembang 2018.

Gelanggang Indonesia digelar di Taman Ismail Marzuki, 12 Agustus 2018. Saat itu Aga, demikian nama kecil Sri Hanuraga memberikan kejutan berupa World Premiere Piano Concerto Bangun Pemudi Pemuda ciptaan Alfed Simanjuntak.

Profil Aga masuk dalam Harian Kompas, edisi Minggu, 26 Juli 2020, yang ditulis oleh Riana A Ibrahim dan Dwi AS Setianingsih, yang saya simpulkan seperti dibawah ini:

Keith Emerson, kibordis band rock progresif Emerson adalah sosok yang membuat Aga memutuskan untuk mau main musik. Saat itu Aga baru duduk di kelas II SMP tetapi telah memutuskan untuk serius belajar piano dengan memilih aliran jazz, sama seperti halnya Keith Emerson yang juga terpengaruh oleh musik jazz. Sekolah musik Farabi milik Dwiki Dharmawan dan sosok Indra Lesmana adalah tempat belajar Aga, sebelum berangkat ke Belanda untuk menempuh pendidikan di Berklee School of Music.

Musibah kebakaran yang menimpa rumahnya sempat membuat rencana masuk sekolah musiknya hilang, tetapi Aga tak menyerah, ia menyempatkan diri untuk mengikuti master class di Erasmus Huis, Jakarta dan usahanya membuahkan hasil, ia dapat memepuh pendidikan musik di Belanda selama 6 tahun, mulai dari jenjang strata pertama hingga magister dan memperoleh Cum Laude untuk S-1 di Conservatorium van Amsterdam dan Summa Cumlaude, 10 with distinction untuk jenjang S-2 juga di Conservatorium van Amsterdam.

Kembali ke Tanah Air, ia berkolaborasi dengan banyak musisi seperti gitaris Gerald Situmorang, Dira Sugandi. Bersama Dira, lahirlah album Indonesia Vol. 1 dan 2. Bagi Aga, musik adalah pemikiran yang disampaikan secara bunyi. Pandangan ini juga melahirkan metode pengajaran yang kini diterapkan pada mahasiswanya. Laiknya belajar bahasa, dilakukan pertama adalah meniru. Selama dua tahun pertama, dia memaksa mahasiswanya untuk hanya memainkan kosa bunyi jazz.


Zainab

Membaca “Wali Nusantara”

Tempo, 25-31 Mei 2020

Saya suka membaca dan kegiatan tersebut adalah vitamin yang cukup ampuh sebagai asupan bagi otak dan pikiran saya untuk terus bekerja. Majalah Tempo merupakan salah satu sumber bacaan yang saya suka. Pada edisi 25-31 Mei 2020, ada liputan khusus yang menarik, berjudul Wali Nusantara, ulama-ulama setelah era Wali Sanga yang mengembara menyebarkan Islam ke pelosok negeri berabad silam. Berikut, saya kutip untuk pembaca blog ini. Selamat membaca.

 

Zainab

Seorang wali perempuan terselip dalam sejarah penyebaran Islam di Pulau Bawean. Zainab, begitu namanya, meneruskan tugas dakwah suaminya yang tewas dalam pelayaran dari tanah Jawa. Zainab adalah putri Pangeran Geneng. Pengasuh Pesantren Luhur, Sidoarjo, Jawa Timur.

Dalam buku Waliyah Zainab, karya Dhiyauddin diterbitkan Yayasan Waliyah Zainab pada 2008. Menurut  buku itu, Zainab dewasa menikah dengan Pangeran Sedo Laut, cucu Sunan Giri 1, pendiri Kedatuan Giri, Gresik. Disebutkan juga bahwa Zainab adalah generasi keempat penerus ajaran Syekh Siti Jenar, pendiri tarekat Akmaliyah di Nusantara.

Dalam menunaikan tugas penyebaran Islam menuju Bawean, kapal Pangeran Sedo Laut karam, hanya Zainab dan Mbah Rambut, pembantunya yang selamat. Zainab selanjutnya mengambil alih tugas syiar suaminya. Menurut Jajat Burhanuddin pengajar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang banyak menulis tentang sejarah Islam di Indonesia, tampilnya Zainab sebagai penerus dakwah suaminya yang meninggal merupakan kelaziman.

Hubungan Zainab dengan Kedatuan Giri dan Sunan Sendang tampak erat dari corak menur Masjid Diponggo, Menur masjid itu berbentuk tiara, dikelilingi motif sayap-sayap burung dan gunung. Di puncaknya terdapat ragam hias burung rajawali dengan sayap mengembang. Sedangkan di bawahnya terdapat corak naga membelit bumi. Corak serupa bisa dijumpai di Masjid Sendang Duwur dan kompleks makam Sunan Giri.

Pengaruh lain yang menabalkan jejak Waliyah Zainab adalah puyahale di daratan Jawa yang lebih dikenal sebagai zikir mider alias doa keliling kampung meminta keselamatan seluruh isi desa. Peserta zikir, yang semuanya pria berkeliling kampung dengan mengarak pusaka peninggalan Zainab seperti kendi, tombak, cawan besar dari besi, piring keramik, entong, dan batok kelapa besar. Di tiap simpang desa, peserta zikir menyerukan azan.     


Sunan Prapen

Membaca “Wali Nusantara”

Tempo, 25-31 Mei 2020

Saya suka membaca dan kegiatan tersebut adalah vitamin yang cukup ampuh sebagai asupan bagi otak dan pikiran saya untuk terus bekerja. Majalah Tempo merupakan salah satu sumber bacaan yang saya suka. Pada edisi 25-31 Mei 2020, ada liputan khusus yang menarik, berjudul Wali Nusantara, ulama-ulama setelah era Wali Sanga yang mengembara menyebarkan Islam ke pelosok negeri berabad silam. Berikut, saya kutip untuk pembaca blog ini. Selamat membaca.

Sunan Prapen

Terletak di atas sebuah bukit di Kecamatan Kebomas, Gresik, Jawa Timur, makam Sunan Prapen berjarak sekitar 500 meter dari makam kakeknya, Sunan Giri. Sunan Prapen mewarisi kekuasaan kakeknya di Giri Kedaton, kini masuk wilayaj Gresik. Giri Kedaton adalah kerajaan yang menjadi salah satu pusat penyebaran Islam di Jawa bagian timur hingga ke wilayah Nusa Tenggara.

Sunan Prapen naik takhta menggantikan saudaranya yang bergelar Sunan Dalem pada 1548, setelah setahun berkuasa Sunan Prapen memerintahkan pembangunan keraton yang baru. Pengaruhnya di luar kerajaan tampak dari penahbisan Mas karebet alaias jaka Tingkir menjadi Raja Pajang.

Giri Kedaton cukup maju di bawah Sunan Prapen karena memiliki pelabuhan besar, yang menjadi pintu utama perdagangan ke wilayah timur. Pelabuhan Giri menggeser pelabuhan tradisional Majapahit di Tuban. Posisi kerajaan Giri strategis karena jalur darat dan lautnya menunjang, hingga melalui jalur laut tak sedikit santri dari Giri Kedaton yang dikirim berdakwah hingga ke kepulauan Nusa Tenggara.      

Dalam berdakwah, Sunan Prapen menggunakan pendekatan kebudayaan dengan menggunakan wayang kulit. Cerita Mahabharata dan Ramayana ia ubah menjadi wayang Lombok. Wayang Lombok berkisah tentang tokoh-tokoh Islam, seperti Amir Hamzah dan Umat bin Khattab. Ali bin Abi Thalib dilukiskan sebagai Selander Alam Dahur dan Abu Lahab sebagai Baktak. Bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa Kuna dan Kawi.

Pendekatan budaya yang dibawa Sunan Prapen dinilai efektif. Ia tak mengganti semua sistem kepercayaan setempat, tapi memodifikasinya dengan memasukkan unsur sufisme Islam, metode ini gampang diterima penduduk yang memiliki sistem kepercayaan lainnya. Pada abad 17, Islam tersebar ke seluruh Lombok.

Sunan Prapen dan rombongannya berperilaku lemah lembut dan tidak membuat perubahan yang ekstrem. Agama diajarkan sesuai dengan kemampuan mereka yang berpindah ke desa lain dengan meninggalkan seorang kiai untuk menyempurnakan ajaran.


Syekh Abdul Muhyi


Membaca “Wali Nusantara”

Tempo, 25-31 Mei 2020

Saya suka membaca dan kegiatan tersebut adalah vitamin yang cukup ampuh sebagai asupan bagi otak dan pikiran saya untuk terus bekerja. Majalah Tempo merupakan salah satu sumber bacaan yang saya suka. Pada edisi 25-31 Mei 2020, ada liputan khusus yang menarik, berjudul Wali Nusantara, ulama-ulama setelah era Wali Sanga yang mengembara menyebarkan Islam ke pelosok negeri berabad silam. Berikut, saya kutip untuk pembaca blog ini. Selamat membaca.

 

Syekh Abdul Muhyi

Syekh Abdul Muhyi dikenal sebagai penyebar agama Islam di Sunda bagian selatan  dan tokoh tarekat Sattariyah. Lahir di Surakarta, Jawa Tengah pada 1650 Masehi atau 1071 Hijriyah.

Pada usia 19 tahun, ia belajar agama kepada Syekh Abdurrauf al-Singkili, ulama terkenal di Singkil, Aceh. Saat berada di masjid Al-Haram, sang guru melihat cahaya dari arah Muhyi, Abdurrauf lalu memanggil Muhyi dan menyarankannya untuk mengembangkan Islam di Jawa Barat bagian selatan  dan mencari sebuah gua. Gua dalam hal ini adalah sebuah metafora dari tempat untuk mengembangkan dakwah.

Setelah setengah tahun di Mekah, Abdurrauf dan murid-muridnya pulang ke Aceh, Muhyi pulang ke Gresik dan memutuskan pergi ke wilayah selatan Jawa Barat, daerah yang saat itu lebih sulit aksesnya daripada sisi utara Jawa. Sebelum perjalanan Muhyi dimulai, orang tuanya menikahkannya dengan Ayu Bakta. Dia melalui beberapa daerah sebelum menemui lokasi baru yang diberi nama Safarwadi, tempat Muhyi membuka perkampungan dan menyebar Islam. Guanya dipakai untuk bersemadi dan tempat pendidikan.

Syekh Muhyi menggunakan sejumlah cara untuk mengajarkan Islam, dengan pendekatan dakwah model Wali Sanga, para wali yang juga penganut tarekat, yang menekankan pada aspek fikih, hukum Islam, tapi pada tauhid, eling atau zikir. Tarekat punya kecenderungan mudah mengakomodasi unsur-unsur lokal   

Syekh Muhyi juga terlibat dalam perlawanan terhadap penjajahan Belanda, misalnya dalam konflik Sultan Ageng Tirtayasa (1631-1695) dengan kongsi Belanda (VOC).

Gua Safarwadi terletak sekitar 600 meter dari makam Syekh Abdul Muhyi di desa Pamijahan, Kecamatan Bantarkalong, Tasikmalaya, Jawa Barat. Setelah Muhyi meninggal, tarekatnya dikembangkan oleh putra dari istri pertamanya, Sembah Dalem Bojong dan Emas Paqih Ibrahim.


Muhammad Falak bin Abbas

Membaca “Wali Nusantara”

Tempo, 25-31 Mei 2020

 

Saya suka membaca dan kegiatan tersebut adalah vitamin yang cukup ampuh sebagai asupan bagi otak dan pikiran saya untuk terus bekerja. Majalah Tempo merupakan salah satu sumber bacaan yang saya suka. Pada edisi 25-31 Mei 2020, ada liputan khusus yang menarik, berjudul Wali Nusantara, ulama-ulama setelah era Wali Sanga yang mengembara menyebarkan Islam ke pelosok negeri berabad silam. Berikut, saya kutip untuk pembaca blog ini. Selamat membaca.

 

 

Muhammad Falak bin Abbas

 

Muhammad Falak bin Abbas lahir di Sabi, Pandeglang, Banten, pada 1842 dan meninggal saat berusia 130 tahun. Falak adalah pemimpin tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah di Indonesia yang kharismatik. Tarekat itu satu dari 27 ilmu yang beliau pelajari di Mekah, Arab Saudi. Ia belajar di sana sejak usia 15 tahun dan mempelajari banyak ilmu seperti tafsir Al-Quran dan fikih, hadis, astronomi, dan ilmu lainnya.

 

Berbekal ilmu utama tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah dan berbagai ilmu lain yang didalami di Saudi, Falak mendirikan pondok pesantren. Ia menyebarkan Islam di Bogoro melalui pendekatan ilmu kanuragan dan kesaktian lainnya. Falak juga disebut sebagai guru pendiri Nahdlatul Wathan Lombok, Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid.

 

Dalam buku Berangkat dari Pesantren karya Kiai Haji Saifuddin Jufri, disebutkan bahwa Falak bersama Kiai Haji Wahab Hasbullah Jombang, Kiai Haji Abbas Buntet Cirebon, dan Kiai Haji Mustofa Singaparna Tasikmalaya menjadi pemimpin rohani Laskar Hizbullah, laskar rakyat pada masa perjuangan kemerdekaan.

 

Zikir rutin malam Jumat merupakan wasiat Falak sebelum ia meninggal pada 19 Juli 1972, sedangkan pada Jumat, bada asar menggelar khatam Al-Quran. Falak juga menerima warisan teks manakib Badar, cerita tentang 313 tentara yang meninggal dalam perang Badar yang dipimpin Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Ia juga mewarisi sebuah bacaan yang berdasarkan tujuh ayat Al-Quran. Namun tak ada cerita detail mengenai warisan tersebut.

 

Perjuangan Falak membangun perguruan tidak mudah, banyak jawara yang kerap menggangu penduduk dan penduduk rajin menyiapkan sesaji agar hasil panen melimpah. Lalu Falak yang memiliki sawah luas membagikan hasil panen kepada masyarakat dengan maksud untuk mengikis budaya sesaji. Falak juga meredam amarah para jawara yang tidak menyukai kehadirannya di Bogor dengan beradu kekuatan.  “Siapa yang bisa mengambil kelapa dari pohon tanpa menyentuhnya, dia menang,” dan Falak menang. Falak juga belajar ilmu tib atau kesehatan dan obat-obatan sehingga banyak yang berobat ke beliau, hal ini menyebabkan para dukun di Bogor juga tidak menyenangi Falak.

Pesan Falak kepada murid-muridnya adalah jangan sampai meninggalkan zikir, serta agar membangun fondasi Islam yang ramah, santun, dan penuh toleransi, juga tawaduk.


Syekh Burhanudin Ulakan

Membaca “Wali Nusantara”

Tempo, 25-31 Mei 2020

 

Saya suka membaca dan kegiatan tersebut adalah vitamin yang cukup ampuh sebagai asupan bagi otak dan pikiran saya untuk terus bekerja. Majalah Tempo merupakan salah satu sumber bacaan yang saya suka. Pada edisi 25-31 Mei 2020, ada liputan khusus yang menarik, berjudul Wali Nusantara, ulama-ulama setelah era Wali Sanga yang mengembara menyebarkan Islam ke pelosok negeri berabad silam. Berikut, saya kutip untuk pembaca blog ini. Selamat membaca.

 

 

Syekh Burhanudin Ulakan

 

Syekh Burhanuddin Ulakan lahir dengan nama Pono pada 1646. Pendidikan agama dipelajari Pono dari Syekh Abdullah Arif, pengembara Arab yang menetap di Nagari Tapakis, tak jauh dari Ulakan. Abdullah adalah murid Syekh Ahmad al-Qusyasyi, guru tarekat Syattariyah terkenal di madinah, Arab Saudi. Setelah Abdullah wafat, Pono belajar kepada Syekh Abdurrauf al-Singkili di Singkil, Aceh.

 

Guru Besar Universitas Islam Negeri Jakarta, Oman Fathurahman memperkirakan Burhanuddin; nama yang diberikan oleh Abdurrauf al Singkili untuk Pono, berguru di Singkil selama 18 tahun atau setidaknya kurang dari 30 tahun. Abdurrauf menyeruhnya kembali ke Ulakan untuk menyebarkan agama Islam. Ia memulai pengajarannya dengan mendirikan sebuah surau di Tanjung Medan, yang sekarang dikenal dengan nama Surau Gadang, bentuk awal pendidikan pesantren. Selaian ilmu agama, Burhanuddin juga meramaikan kegiatan di Surau gadang dengan melatih kecakapan muridnya dalam ilmu beladiri. Kesuksesan Syekh Burhanuddin dalam menyebarkan Islam disebabkan oleh dakwahnya yang persuasive. Ia, misalnya, mengajak anak-anak bermain sambil menyisipkan ajaran agama.

 

Ajaran yang disebarluaskan oleh Syekh Burhanuddin mengikuti ajaran tarekat Sattariyah, yang mengenalkan pemahaman agama dan interaksi dengan Tuhan melalui tingkatan ilmu kebatinan. Di dalamnya ada ritual zikir. Sejak diperkenalkan kepada masyarakat Ulakan, ajaran ini masih bertahan hingga kini. Hari wafat beliau diperingati hingga saat ini, setiap 10 Safar dan dikenal sebagai “Basapa” atau Bersafar.

Abdurrauf al-Singkili a.k.a Syiah Kuala

Membaca “Wali Nusantara”

Tempo, 25-31 Mei 2020

 

Saya suka membaca dan kegiatan tersebut adalah vitamin yang cukup ampuh sebagai asupan bagi otak dan pikiran saya untuk terus bekerja. Majalah Tempo merupakan salah satu sumber bacaan yang saya suka. Pada edisi 25-31 Mei 2020, ada liputan khusus yang menarik, berjudul Wali Nusantara, ulama-ulama setelah era Wali Sanga yang mengembara menyebarkan Islam ke pelosok negeri berabad silam. Berikut, saya kutip untuk pembaca blog ini. Selamat membaca.

 

Abdurrauf al-Singkili a.k.a Syiah Kuala

Dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah karya Azyumardi Azra disebutkan, Syiah Kuala menempuh pendidikan selama 19 tahun di Timur Tengah dan sempat berinteraksi dengan 19 guru dari berbagai disiplin ilmu belajar di Timur Tengah. Salah satu guru yang paling intens berkomunikasi dengannya adalah Syekh Ahmad al-Qusyasyi, ulama sufi pemimpin tarekat Syattariyah yang menggabungkan disiplin syariah dengan ajaran tasawuf. Kemudian beliau menjadi perintis ajaran tarekat Syattariya di Nusantara. Dua muridnya yang ikut menyebarkan tarekat ini adalah Syekh Burhanuddin Ulakan di Pariaman dan Syakh Abdul Muyhi di Tasikmalaya.

 

Beliau juga sempat berkelana ke berbagai wilayah Kesultanan Aceh sebelum menetap di Pantai Kuala Krueng, Aceh. Kawasan itu merupakan pusat perdagangan dan tempat menetap bangsa asing. Di sana terdapat Gampong Biduen, yang oleh Muhammad Yunus Jamil dalam bukunya, Gerak Kebangkitan Aceh, dikenal sebagai kompleks pelacuran. SejarawanAceh, Muhammad Adli Abdullah menjelaskan, Syiah Kuala tak serta-merta mengajarkan Islam di kawasan tersebut. Dia pernah menyamar sebagai orang yang memiliki kesaktian untuk menyebarkan dakwahnya dan menghilangkan pelacuran, pernah juga berperan sebagai tabib yang bisa menyembuhkan penyakit. Cara-cara tersebut berhasil mengubah kondisi sosial-budaya masyarakat Aceh.

 

Pernah ada satu masa dimana dua mazhab; Wahdatus Syuhud dan Wahdatul Wujud bertikai karena perbedaan konsep mengenal diri dan Allah terkait dengan ritual ibadah dan interaksi sosial. Syaih Kuala mendamaikan keduanya dengan pendekatan kompromistis, mengajak untuk tidak mudah melabeli orang lain sesat dan kafir hanya karena perbedaan mahzab. Ia menggunakan kata-kata yang samar dan bersifat umum dalam mengemas kritik dan masyarakat menilai pernyataan Syiah Kuala sebagai bentuk sopan santun dan toleransi tinggi.

 

Syiah Kuala juga membuat sejumlah karya tulis yang mengulas berbagai topik keagamaan seperti fikih, tafsir, kalam, dan ilmu tasawuf. Salah satu karyanya Mir’atuttullab berisi tentang muamalah, politik, sosial, ekonomi, sampai keagamaan. Salah satu yang juga menarik dalam kitab tersebut adalah bahwa Syiah Kuala tak membahas kepemimpinan perempuan secara gamblang namun tetap membuka ruang bagi kepemimpinan perempuan dalam Islam.

 

Syiah Kuala meninggal pada 1696. Dimakamkan di hilir sungai Aceh, sekitar 8 kilometer dari pusat Kota Banda Aceh.  


Didi Kempot yang Mulia


Banyak artis mengganti nama agar terdengar lebih trendi jika hendak menancapkan popularitas di tengah khalayak pendengar. Namun tidak dengan penyanyi satu ini, ia bahkan tetap membawa nama kelompoknya ketika masih menjadi pengamen jalanan. 

Dialah Didi Kempot yang adalah kependekan dari “Kelompok Penyanyi Trotoar”. 

Sumber foto: Wikimedia Commons

Ungkapan “from zero to hero” sepertinya layak disematkan kepada penyanyi bernama lengkap Dionisus Prasetyo ini. Didi Kempot bukanlah sosok penyanyi karbitan yang melesat sesaat seperti mainan baling-baling berlampu di tengah pasar malam. 

Didi memulai karirnya dari panggung kendaraan umum antarkota antarprovinsi yang tak menyediakan lampu sorot atau efek asap dan semburan api. Dapat dibayangkan Didi berlari-lari di antara semburan asap knalpot. Lagu “Bis Kota” Franky Sahilatua sepertinya dapat memberi gambaran tentang itu. Perihal debu-debu yang ramai beterbangan, serta tentang sang pengamen yang terjepit di sela-sela ketiak para penumpang yang bergantungan. 

Ciri khas penyanyi jalanan melekat pada lagu-lagu ciptaan Didi Kempot. Lagu-lagu yang ia perdengarkan kepada para penempuh perjalanan yang melalui stasiun kereta api, pelabuhan, serta terminal. Lagu-lagu yang mengingatkan pada perjalanan orang-orang biasa. Lagu-lagunya tak pernah menyebut kata bandara yang mengisyaratkan kelas sosial tertentu yang memilih perjalanan di atas angin. 

Ya, kebersahajaan itulah yang membuat Didi Kempot berakar di hati para pendengar. Genre musik Campur Sari yang ia pilih pun menunjukkan keberpihakannya untuk menghibur orang banyak yang menjadi bagian dari masyarakat akar rumput. 

Berdiri di atas akar yang teguh menghunjam bumi, Didi Kempot perlahan-lahan menjulang bagai pohon beringin yang teduh. Tempat bernaung bagi mereka yang butuh merenungkan nasib sepanjang perjalanan yang berkali-kali harus menginjak duri dan kerikil tajam. 

Sastrawan Martin Aleida menulis di lini masa media sosialnya: “Banyak yang menyesali tema Didi Kempot cuma patah hati. Mereka lupa ekspresi keindahan itu selalu memihak yang luka, tertindas.” 

Ketika menerima penghargaan Lifetime Achievement Award dari Billboard Indonesia Music Awards 2020 pada 26 Februari 2020, Didi Kempot berucap, “Terimakasih Sobat Ambyar! Penghargaan ini untuk para seniman tradisional di seluruh Indonesia karena Indonesia kaya dengan budaya.” 

Sama sekali tak ada kesan ia menepuk dadanya sendiri. Pernyataan itu ibarat tepukan di punggung untuk membesarkan hati para seniman tradisional yang tentu ia paham manis-getirnya menempuh jalur itu. 

Didi Kempot adalah “hero”, ia bahkan memperoleh julukan mentereng “godfather” dan “lord” yang barangkali tak pernah dibayangkan oleh penyanyi trotoar mendapat julukan yang mulia semacam itu. Dalam hal ini, Didi Kempot pantas disejajarkan dengan Virgiawan Listanto alias Iwan Fals yang juga memulai karir sebagai pengamen hingga dianggap seolah manusia setengah dewa oleh para penggemar fanatiknya. 

Kesederhanaan Didi Kempot adalah adiluhung. Rest in peace!

-- Dedi Sjahrir Panigoro

Didi Kempot berpulang ke Rahmatullah pada Selasa (5/5/2020) dalam usia 53 tahun. Ia yang lahir di Surakarta pada 31 Desember 1966 ini dikebumikan di Ngawi, Jawa Timur. Ia meninggalkan dunia yang sedang dilanda wabah virus Corona. Namun ia bukanlah korban, ia justru pahlawan di tengah wabah lewat Konser Amal dari Rumah yang berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp. 7,6 miliar untuk masyarakat yang terdampak wabah virus Covid-19. Ia telah membuktikan kemuliaan hatinya. Tunailah peran sosialnya sebagai seniman yang merakyat. 

Apakah kematian seorang Didi Kempot akan menambah patah hati para penggemarnya? 

Mari simak kata-kata Didi Kempot tentang patah hati: 

“Patah hati itu enggak usah dibawa terlalu jauh-jauh, jangan ngelamun terlalu panjang. Dibawa untuk hal-hal positif."  

Maka ada baiknya mengingat terjemahan selarik lirik lagu Didi Kempot berikut ini: 

“Seandainya kau telah pada posisi mulia, rela aku rela.” 

Ya, Didi Kempot telah berada di posisi mulia selama di dunia, semoga juga di alam baka.